My Dear Norlorn!

Giovani Alvar
Chapter #15

14. Before Wedding

Melembak dabat idiosinkratis berhimpun di udara, sosok mereka tak kalah ajaib dari karangan imajinasi komidi gambar. Banyak mirakel belum berburai dalam keelokan num sarwa. Sungguh agung gubahan-Nya nan Dia wujudkan. Norlorn kembali mengunjukkan kemahiran mengendalikan simurgh. Sang simurgh patuh mengekor lagam, merendah, santak merabung sesuai komando.

 “Kamu hebat.”

“Terima kasih untuk pujianmu. Keterampilan memandu simurgh sudah dilatih sejak kanak-kanak di kerajaan,” Norlorn menceritakan pengetahuannya.

“Keren.”

“Terima kasih.” Norlorn tersenyum.

Lansekap cakrawala menjelma jadi vista adiwarna. Rimba fantasi terlihat dari atas. Flora berpoleng hijau berpadu serta bersama tanaman bercorak fidah. Deraian angin bertumbukan menerpa paras kami, merumrum rambut ikal dan rambut berwarna perak milik Norlorn. Segar saat mengenai muka. Rok pakaianku ikut bergelebar. 

“Pegang tali kemudi yang erat! Sebentar lagi kita sampai di wilayah barat.” Norlorn menuntun.

Tangan berpegang remi kemudi amat kuat dibantu bimbingan Norlorn. Kemudian, simurgh melanting melontarkan deram seraya mengangkasa merejang bongkahan mega putih. Kepermaian makrokosmos dunia Norlorn membuatku bersyukur pada kebesaran-Nya, berdampingan dengan bangsa peri, makhluk surealisme bersanggit dalam satu dunia.

Radai Simurgh merambak, melebar menjajari bagian kanan dan kiri. Norlorn kian persisten beriringan tali lagam. Sang media tunduk menghunjam ringan pertanda pengembaraan telah sampai tujuan. Keempat cakar gagah telah membumi di suatu tempat.

“Kita telah sampai, Gigi.” sahut Norlorn.

Simurgh menunduk dan menurunkan salah satu sayap untuk injakan melungsur. Norlorn mencopot tali kendali dari moncong sambil turun pelan-pelan menandu badanku. Sesaat kami turun kepak simurgh mengatup diiringi auman lunak pada telinga.

Norlorn mengelus leher Simurgh dengan akrab, kibasan ekornya bak gestur bahwa kewajiban membawa Tuan Muda dan (calon) pendampingnya selesai. 

Dia mirip anjing lucu berbadan raksasa.

Norlorn menutur salam perpisahan. Terlihat sikap Simurgh yang manja. Sang simurgh meninggalkan kami di gerbang teritori.

“Ayo,” Norlorn mengajakku berjalan.

“Siapa nama Simurgh temanmu?”

“Itu tidak penting.” Norlorn menjawab datar.

Ada penjaga gerbang bertubuh tegap dan bertampang galak di gapura. Dadaku berdegap-degap memandang raut tak bersahabat pada pengawal. Akan tetapi, wajah para pengawal mendadak ramah setelah Norlorn mendekat. Semua memberi hormat dan mempersilakan kami masuk. Kenapa bisa? 

Tangan Norlorn mengganjur tanganku agar menyertai dia memasuki distrik. Lansekap wilayah ini lebih arkais sekaligus adiluhung. Bertema sama, era pertengahan. Hanya berbeda dalam rancang bangunannya. Di sini, arsitektur bernuansa Eropa lebih menghayati daripada kawasan kusinggahi. Penduduknya juga berkostum ortodoks. 

Menawan!

Perwakilan ketakjuban singkat untuk potret zona barat. 

“Noey,”

“Ada apa?” Dia menengok.

“Di sini lebih terasa luhur bangunan dan suasananya,” Aku mengemukakan anggapan.

“Tepat sekali.” Norlorn membenarkan.

“Kayak sentral sejarah deh. Betul nggak?” tanyaku menerka.

“Kau memang layak disebut peramal.” Norlorn bersuara. Matanya mengedip sebelah disertai senyum.

“Kamu tuh mirip penguntit. Tahu dari mana?”

“Bagaimana aku tidak tahu, Nona? Kau menyimpan semua alat ramal di kamarmu.” Dia mencibir.

“Astaga, kukira kau betul-betul tahu aku pembaca Tarot.” kataku menepuk dahi.

“Alatmu mencolok. Siapa yang tidak tahu?”

“Iya juga,”

“Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan. Nanti kau bisa bertanya pada Erlan, temanku.” Norlorn melenggang santai menjejaki jalan.

“Noey tunggu!” Aku menyusul dengan langkah lebar.

Gelagatnya, Norlorn akan bertandang ke suatu tempat. Kaki dia sudah menggegas jauh. Sekuat tenaga aku bercempera menggabai tubuh tinggi Norlorn dalam kerumunan penduduk. Rupa masyarakat terlihat puspawarna, tak hanya berwujud manusia atau makhluk bertelinga cerucup mirip Norlorn. Ada juga gerombolan pak belang berjalan dengan dua kaki memakai kostum sebagaimana mualim. 

Dari tengka dua meter aku melihat Norlorn bersama gerombolan harimau kulihat tadi. Mereka tampak akrab. Jadi ingin tahu hubungan Norlorn dengan para gerombolan macan itu. Segera kulanjut langkah agar tak kehilangan jejak. 

Jisim Norlorn berotasi ke belakang. Dia mengernyit dahi saat melihat diriku tergabas. Aku meringis melihat tilikan mata birunya. Tangan Norlorn menggandeng membuat para harimau bertanya-tanya.

 “Wer ist diese frau?” tanya salah satunya, harimau tutul bermata pekat tajam melirikku.

“Er ist mein geliebter, Giovani.” jawab Norlorn.

“Diese Frau ist dein geliebter?” 

“Ja. Deshalb bringe ich ihn hierher.”  Norlorn bereaksi. Rona merah muda membura di pipi dia.

“Anscheinend, der Liebhaber, den du verwirrt bist. Diese Frau kann Queenderenia Sprache oder Deutschland sprechen?” tanya macan lain menunjuk kebingungan terpampang di wajahku.

“Mein geliebter kann nicht Queenderenia oder Deutschland sprechen.” 

“Dann?” 

“Kann nur in Indonesien sprechen.” 

“Kalau begitu sesuai asal kekasihmu.” jawab salah satu macan yang berbincang dengan Norlorn.

“Gigi, mereka adalah guruku dulu sewaktu di sekolah,” tunjuk Norlorn pada keempat macan yang tampak santun. 

“Selamat siang.” tuturku mengatakan salam.

“Salam kenal. Aku Geleof.” ucap salah satu sosok harimau membawa buku.

“Salam kenal juga, Tuan Geleof.” 

Lihat selengkapnya