Gigi,” Norlorn memagas ucapan sesaat setelah aksinya selesai, bersambung mengantarkan interogasi, “pernah tidak kau berpikir akan mempunyai keluarga sendiri?”
“Pernah. Waktu itu nggak berpikir dalam waktu dekat.” Aku menggeleng.
“Lalu, bagaimana persepsimu mengenai diriku?” Norlorn melanjutkan diskusi.
“Menurutku kamu itu humoris, lumayan kaku namun sedikit romantis walau bukan manusia.” Aku menyungging.
“Paling tidak, aku lawan jenismu ‘kan Gigi?” ucap Norlorn cengar-cengir.
“Itu juga salah satunya,” balasku masem.
“Tenang, aku masih normal. Justru bangsamu yang terkadang mempunyai kecenderungan aneh.” Bibir Norlorn lekas tersimpul.
“Namanya juga manusia. Manusia mempunyai perasaan sedemikian rumit.” ujarku memblokade kicauan.
Norlorn bangkit dari kolam menyudahi kegiatan sambil membopong tubuhku keluar kamar mandi. Dia mendatangi ranjang, menempatkan diriku dalam keadaan setengah basah. Kemudian, dia kembali berjalan masuk kamar mandi. Tampaknya, Norlorn mengambil handuk dan pakaiannya yang tertinggal.
Aku bangun melangkah ke kamar mandi merawa busana tergeletak depan pintu. Tungkai bergerak kembali ke ranjang untuk memakai baju berikut sepatu. Tak lama setelah aku selesai, Norlorn keluar dengan pakaian lengkap bersama lencana di dada kiri dia yang sedari tadi ingin kutanyakan.
“Lambang apa itu?” tunjukku ke dadanya.
“Ini?” tanya dia menunjuk insinye miliknya.
“Iya,”
“Lencana ini menandakan bagian dari keluarga kerajaan.” ucap dia.
“Semacam identitas?”
“Ya. Karena di sini merupakan pusat pemerintahan.” Norlorn membalas.
“Berarti wilayah lain berbeda?”
“Tentu saja.” Norlorn mengangguk.
“Baru tahu aku,”
“Kerajaan ini bernama Etchaland. Tempat segala pembuatan dan pengesahan undang-undang dilakukan oleh para raja.” jelas Norlorn.
“Raja nggak cuma satu?”
“Tentu tidak. Kau pikir duniaku dongeng?” Norlorn mencebik.
“Justru aku bertanya karena tidak tahu.”
“Peraturan negeri juga dibuat di kerajaan ini.” Sambung Norlorn.
“Nggak jauh beda dengan dunia manusia,”
“Kau sudah paham?”
Aku mengangguk untuk menandakan kepahaman penjelasan. Namun, ada rasa kurioritas menyatroni otak lantaran perjalanan kulakukan.
“Bagaimana dengan wilayah lain?”
“Kau tahu wilayah barat?”
“Aku tahu,”
“Wilayah barat merupakan pusat sejarah dan pendidikan.”
“Berarti kamu bersekolah di sana?”
“Ya. Walau di wilayah ini ada lembaga pendidikan.”
“Apa yang membedakan instansi pendidikan di barat dengan wilayah lain?”
“Dari fasilitas dan tenaga pengajarnya.” Norlorn bersemangat.
“Kayaknya aku memahami deh. Semua wilayah ada aspek masing-masing, ‘kan?”
“Tepat sekali.”
“Di Utara, merupakan daerah dingin dan bersalju. Portal di Hutan Cahaya dan Hutan Delta Experimental cukup mudah di akses.” Norlorn mengganjur napas.
“Maksudnya?”
“Dulu, daerah utara merupakan daerah rawan penculikan penduduk negeri oleh para oknum manusia biadab.” Norlorn membuka mulut.
“Begitulah manusia kalau dibutakan oleh dunia. mencari jalan pintas menculik makhluk lain.”
“Sekarang tidak lagi. Kalau ada, itu hanya penduduk nakal yang ingin lepas dari negeri ini,”
“Lepas?”
“Iya, ingin keluar pindah negeri tapi tidak mau izin ke sini.”
“Kupikir penduduk negeri ini semuanya taat peraturan.” kataku mengangkat bahu.
“Tidak juga. Semua itu dari kesadaran diri.” ujar Norlorn.
“Aku terkadang melanggar peraturan di negeriku.” Aku menjulur lidah.
“Aku juga iya.” Norlorn cekikikan.
“Sama rupanya.”
“Sesekali peraturan itu dibuat untuk dilanggar.” Norlorn nyengir.
“Bisa banget kamu ngomongnya,”
“Sesekali boleh dilakukan supaya tidak kaku.” Dia terkekeh. Kalimat menyerupai impresi kalau keluarga kerajaan tidak harus sempurna dalam dongeng.
“Betul juga ya,” Aku responsif.
“Aku hidup di alam ini, bukan di alam khurafat.” tuding Norlorn tertawa.
“Noey,”
“Ya?”
“Ngomong-ngomong, boleh aku keluar?”
“Kau ingin keluar ke mana?”
“Berkeliling istana. Boleh?”
“Boleh saja. Hati-hati ya.” Mata Norlorn mengedip satu sekejap. Pertanda jawaban telah disetujui.
“Aku akan hati-hati. Ada apa?”
“Ada…” ucapan Norlorn manggantung, wajah dia tampak histeria. Sekelebat, tengkuk menjadi rinding. Kenapa wajah Norlorn ketakutan? Mungkinkah istana ini ada mambang menakutkan?
Jika iya tamatlah aku. Istana sebesar ini ada hantu menyeramkan, dan aku akan menjadi calon keluarga kerajaan.
“Ada apa?” Suaraku menggetar.
“Ada para pangeran, pelayan, Kakakku dan Yang Mulia.” Norlorn tersungging. Pelupuk mata dia turun satu sisi beriringan pengecapnya mengelelot.
“Kamu ini!” Tanganku secara alamiah menjewer telinga Norlorn. Mengagetkan saja, kukira istana ini ada hantu.
“Kenapa aku dijewer lagi?” Norlorn menentang.
“Kamu mau jahilin aku ya?”
“Siapa yang menjahilimu?”
“Kukira ada hantu!” Aku mengelus dada. setidaknya, lega tak ada wujud menakutkan.
“Hantu?”
“Iya,”
“Ada kok,” Norlorn tergelak.
“NORLORN…!!”
“Kau tanya hantu bukan? Di sini ada,”
“Jangan bohong!”
“Kau pikir aku termasuk bangsa manusia?” tunjuk Norlorn tergelak.
“Ah iya juga. Aku lupa.”
Sial! Pandai sekali Norlorn bermain kata-kata. Aku juga hampir lupa dia bukan manusia, melainkan lelembut bukan dari negaraku.
“Tapi….”
“Tapi apa?”
“Hantu lain juga ada kok selain penghuni kerajaan.” Dia tersenyum.
“Kamu bercanda ‘kan?”
“Tidak. Pergi saja kau ke menara istana,” Norlorn menggeleng, pernyataannya serasa memintaku untuk pergi ke tempat yang belum dikunjungi.
“Untuk apa aku pergi ke sana?”
“Supaya kau tahu di sini juga luas. Berjalan-jalanlah di dalam istana.”
“Ya memang itu rencanaku. Bagaimana kamu ini?”
“Maksudku, kau bisa menjelajahi sendiri tanpa ditemani aku.” sahut dia.
“Memangnya nggak apa-apa aku sendiri?”
“Tenang, pelayan sudah tahu kau ada sini.”
“Yang lain?”
“Sepertinya belum.” Norlorn nyengir. Sekali lalu, tangan kanan dia membuat lambang perdamaian.
“Kalau aku dikira pencuri?”
“Tidak akan. Sebut namaku jika ada penjaga yang menanyakanmu.” Norlorn berkata, dia bagai penanggung diriku akan baik-baik saja selama di istana.
“Kamu yakin?”
“Sudah sana. Ingin berjalan-jalan ‘kan?”
“Aku pergi dulu.”
Terdengar bunyi jentikan dari jemari Norlorn. Sulit dipercaya, pintu kamar terbuka pelan setelah ada binar berwarna biru benhur menerpa gagang pintu. Aku tak mimpi ‘kan?
“Kok bisa?”
Norlorn hening. Hanya tersenyum lebar di sebelahku.
Aku baru menyadari bahwa Norlorn menggunakan magi untuk membuka pintu. Tak seperti tadi membuka pintu dengan kunci. Seharusnya dia pakai saja kemampuannya untuk melakukan apa pun. Kenapa memilih cara lama?
“Kau baru sadar?”
“Kenapa nggak dari tadi kamu buka pintu waktu kita pulang?”
“Kau tidak bertanya padaku.”
“Iya juga.”
“Kau bisa sihir?”
“Sudah lihat ‘kan?”
“Kenapa kamu nggak menggunakannya selama bersamaku?”
“Sihir hanya akan membuat malas bergerak. Akan kupakai jika memang perlu.” Norlorn menangkis.
“Kamu benar. Aku pergi dulu.” Aku bangun dari ranjang, berjalan keluar kamar.
“Pergilah ke mana pun kau suka. Lorong istana yang akan menuntun kakimu.”
Suara Norlorn mulai terdengar lamat-lamat sesaat kaki melangkah menyusuri lorong. Tak dapat kupercaya, semua barang tetap kelihatan berkelas dan mahal. Mulai dari guci hingga hiasan dinding. Aku melihat sebuah lukisan ukuran cukup besar di dinding sebelah kiri bergambar perempuan berambut ikal berwarna cokelat muda memakai baju zirah. Siapa dia?
Waktu Norlorn menunjukkan reka adegan pesta dansa sepertinya tak ada lukisan dinding? Mungkin, aku saja yang tak memperhatikan.
Kulanjut perjalanan menapak jejak lorong. Ada beberapa lukisan lagi selain perempuan tadi. Salah satunya, lukisan Ayah Norlorn menggendong sosok anak laki-laki berambut perak memakai kostum kerajaan. Aku mengenal anak itu, dia adalah Norlorn kecil. Diri kecil dia amat menggemaskan. Sekarang telah menjadi laki-laki matang berwajah tampan. Sebanding dengan pertumbuhannya ‘kan? Di samping Tuan Nyvorlas ada sosok anak kecil perempuan memakai gaun hitam berambut ikal sebahu berkelir argentum, berpupil mata biru bulan, mirip sosok perempuan berambut cokelat yang kulihat pertama kali di dinding. Dalam lukisan lain juga ada, tetapi wajah perempuan itu lebih muda dari lukisan pertama dan tak memakai baju zirah. Hanya gaun biasa namun elegan.
Jika dipikir kembali, anak perempuan berambut ikal berwarna perak dan versi dia dewasa sangat mirip dengan perempuan berambut ikal cokelat muda. Kurasa, perempuan itu adalah kakak Norlorn yang akan diberitahu perihal pernikahanku nanti.
Semoga saja dia baik. Bukan seperti bayanganku, sosok perempuan bawel dan judes layaknya tokoh antagonis sinetron yang setiap hari ditonton si Mbok.
Kedua tungkai tak dapat menghentikan perjalanan, laksana hendak memberitahu sedikit silsilah keluarga kerajaan ini padaku. Banyak sekali lukisan di tembok sampai lukisan Tavin dan Adome terpampang. Letaknya di sisi kanan dinding. Lukisan Tavin mengapit sebuah lukisan besar seluruh pelayan kerajaan di sisi kanan sedangkan Adome di sisi kiri. Pelayan perempuan juga ada walau hanya dua, rata-rata laki-laki di dalam lukisan. Pelayan perempuan pertama berambut hitam bersanggul khas pelayan berwajah mirip manusia di negeriku. Pelayan perempuan ke dua berambut kuning gading seperti Erlan dan bermuka oriental. Hampir mirip dengan para pelayan laki-laki yang mempunyai wajah bak karakter komik serial cantik kubaca semasa sekolah.
Kurang lebih, di lukisan ada dua puluh sosok pelayan termasuk Adome dan Tavin. Dominan berambut cokelat keemasan bercampur pelayan berambut warna cokelat tua dan hitam.
Sejujurnya, aku malah membayangkan mereka semua adalah hosuto di dunia manusia. Lalu, pelayan perempuan antara cosplayer atau bekerja di maid café. Begitulah khayalan seorang mantan weaboo yang telah kembali ke jalan lurus.
Sekonyong-konyong, pengamatan berbelot ke sisi kiri dinding bagai menyambung cerita singkat tergambar dalam pemerian. Ada tujuh lukisan lain setelah lukisan keluarga Norlorn. Sebuah lukisan keluarga. Sosok pria berambut hitam memakai mahkota dengan kostum bertatahkan berlian diiringi 3 sosok remaja laki-laki berpakaian glamour dan seorang wanita bergaun ungu memakai tiara merangkul sosok anak kecil laki-laki berpakaian tak kalah mewah. Mereka sama seperti keluarga Norlorn, bangsa bertelinga runcing. Terkecuali para pelayan yang lebih manusiawi perwujudannya dibanding keluarga kerajaan. Apakah itu adalah lukisan raja dan istrinya? Sedangkan keempat anak laki-laki dalam lukisan adalah pangeran? Bisa jadi ‘kan? Jika dilihat dari representasi gambar lain yang menunjukkan versi dewasa empat laki-laki kecil di lukisan sebelumnya.
Menarik juga.
Ulang kumenyelusuri koridor istana sebagaimana panduan Norlorn di kamar. Di mana akhir dari jalur ini? Akankah ada tempat lain atau berakhir pada jalan buntu? Selangkah demi selangkah menjejaki sampai semuanya berganti menjadi lorong gelap minim penerangan. Hanya ada obor kecil menyala di beberapa sisi dinding.