My Dear Norlorn!

Giovani Alvar
Chapter #19

18. Jarak Bagaikan Hilang Bercerai Serasa Mati

“Kau meminta maaf untuk apa?” Suara pangeran Taeglyn menggegar, dia tampak nanar. Melalui matanya aku sedikit tahu mengapa si putra mahkota lebih banyak diam.

“Saya meminta maaf karena salah sangka pada Anda.” 

“Tidak perlu meminta maaf. Seharusnya aku,” Sirah dia menggeleng.

“Apa pun keadaan pangeran aku akan bersama Anda.”

Entah bagaimana kalimat itu keluar. Sang putra mahkota terpegun, mengimplikasikan rasa tidak percaya dengan sosok manusia yang telah dia jadikan bonekanya.

“Bagaimana dengan Norlorn?”

”Pangeran, aku pernah bilang cinta nggak bisa dipaksa ‘kan?”

“Kau tidak terpaksa memilih Norlorn, aku tahu itu.” Laksana ada rasa putus harapan dari tutur kata pangeran Taeglyn.

“Iya. Di sisi lain, aku juga belum bisa meninggalkan Anda, pangeran.”

Kupeluk tubuh dia erat, membelai pungkur gagah dari luar namun di dalamnya tak sanggup menopang beban masa lalu. 

Seandainya aku tahu soal ibunya terlebih dahulu, mungkin akan kupikir ulang pernikahan dengan Norlorn. Hanya saja, mereka sama-sama kehilangan sosok Ibu. Tapi kurasa, Norlorn lebih kuat sedangkan pangeran Taeglyn tidak. Apa yang harus kulakukan agar senyuman seterang bulan dia terpancar lagi?

“Kau bersungguh-sungguh?” tanya dia.

“Ya,”

“Aku tidak mau menjalani hubungan melalui rasa kasihan.”

“Bagaimana dengan calon anak Anda yang dititipkan padaku?”

“Aku akan meminta tabib untuk memusnahkan anak itu!” tunjuk dia pada peranakanku.

“Kenapa harus dimusnahkan? Anak ini nggak bersalah.”

“Anak itu hasil dari hubungan paksa.” Irama kekecewaan seakan terkatakan oleh dia. Rasa terpukul dan bersalah seakan-akan mengusik pendirian sang pangeran muda.

“Anak ini,m bahkan nggak tahu akan menjadi calon penerus negeri.”

“Tapi….”

“Sudahlah jangan bersedih. Ada aku bersamamu,” 

“Kenapa kau begitu perhatian padaku? Bukankah aku sudah….”

Ku tutup mulut dia melalui kecupan pendek. Pangeran Taeglyn membelalang, dia tersengut-sengut. 

“Pangeran, aku sudah memaafkan Anda,” 

“Kau….”

“Nggak perlu pangeran pikirkan. Aku lebih suka melihat pangeran tersenyum.” 

Tanganku iseng membentuk cekungan di bibir dia. Raut pangeran Taeglyn kemalu-maluan. Tersurat dari rona ahmar muda di pipi lampas miliknya, sang putra mahkota sudah terlihat lebih ceria. Setidaknya itu lebih baik daripada calon pemimpin kerajaan mengingat kejadian lalu. 

“Dirimu….”

“Ada apa, pangeran?”

“Aku telah salah menilaimu, Nona mungil.”

“Maksud Anda?”

“Aku kira, kau hanya perempuan pengacau istana.” 

“Pangeran, semua telah di atur oleh-Nya. Kita tidak tahu kapan kejadian itu datang.”

“Aku sudah jahat padamu, bagaimana bisa kau masih mau menerimaku?”

“Apa pesakitan nggak boleh menerima kesempatan kedua untuk memperbaiki?”

“Aku tidak pantas mendapatkan itu,” ucap dia lirih.

“Tuhan saja memberi kesempatan umat-Nya untuk bertobat. Kenapa saya nggak boleh memberikan kesempatan?”

“Aku sudah melukai bahkan menodai perempuan sebaik dirimu!” 

“Ayolah pangeran, jangan membahas itu lagi,”

“Aku menyesal,”

“Anda mau ‘kan memaafkan diri Anda sendiri?”

“Untuk apa? Aku telah gagal!”

“Maafkanlah diri Anda, pangeran agar hati Anda lapang.”

“Jujur, aku belum bisa.”

“Nggak perlu buru-buru, pelan-pelan pasti bisa.”

“Bagaimana caranya?”

“Mari kita bersama-sama memaafkan diri masing-masing, setuju?”

Pangeran Taeglyn tersenyum tipis, sepasang tangan kokoh dia memagut tubuhku. Dekapan paling terbuka yang pernah ada. 

Apakah pelukan ini adalah sisi lain dari pangeran Taeglyn yang baru terlihat? Sosok laki-laki penyayang, rapuh sekaligus romantik?

“Terima kasih, Nona mungil.” ungkapnya di telingaku.

“Berterima kasihlah pada Tuhan, pangeran.” 

“Seandainya Tuhan tidak mengirim dirimu kemari, mungkin saja aku….”

“Pangeran jangan sedih lagi, ya.”

“Nona mungil,”

“Panggil aku Giovani, pangeran.”

“Namamu lumayan,” ganduh dia.

“Bagaimana pangeran? Anda bisa memanggilku Giovani?”

“Aku tidak ingin memanggilmu Giovani, Nona mungil.” balas pangeran Taeglyn. Bibir biram dia tersimpul.

“Kenapa pangeran?”

“Nama itu kurang menarik bagiku, Nona mungil.”

“Maksud Anda ingin mengganti namaku, begitu?”

“Hanya untukku. Tidak boleh dipakai yang lain.” Mata kiri dia mengedip sedetik.

“Dari kapan Anda memikirkan itu?

“Sejak kau berhasil mengubah pandanganku sedikit demi sedikit.”

“Semua itu nggak terlepas dari kuasa-Nya, pangeran.”

“Kuasa Tuhan sungguh ajaib.”

“Begitulah.Tuhan lebih tahu apa yang terbaik untuk pengikut setia-Nya.” 

Kelihatannya, pangeran Taeglyn mulai mampu membuka diri padaku. Mudah-mudahan, langkahku tak meleset sesuai harapan agar sang putra mahkota kembali nirmala dan lebih menoleransi dirinya sendiri.

“Aku akan memanggilmu, Soora. Bagiamana?”

“Soora? Menarik. Saya suka. Kira-kira, apa artinya?”

“Soora berasal dari bahasa Queenderenia yang berarti berjiwa petualang, mandiri dan mampu membuatku berubah tentunya.” jawab pangeran Taeglyn antusiasme. Manik netra hijau terang kepunyaan dia berkilauan bak adiratna.

“Mirip nama orang Jepang.” Diriku menyerobot.

“Hanya ada di negeri ini. Yaitu kau, Nona mungil.”

“Mungkin serupa namun nggak sama, pangeran.”

“Kau tidak perlu memanggil aku pangeran lagi, Soora.”

“Lalu?”

“Panggil aku Taeglyn, Nona mungil.”

“Mohon maaf, aku belum bisa.”

“Tidak apa-apa. Kau adalah satu-satunya perempuan yang telah mengubahku.”

“Bukan maksud saya menolak. Namun, Anda tetaplah pangeran.”

“Aku belum layak disebut pangeran, Soora.” cakap dia.

“Baiklah jika itu mau Anda.”

“Tidak perlu kaku untuk kali ini, Soora.”

“Sebetulnya, aku hanya sedang bingung.”

“Ada apa denganmu?”

“Cuma bingung ada sosok pangeran yang tiba-tiba berubah. Hehehe....”

“Kau ini bisa saja,” Pipinya merah padam.

Maafkan aku pangeran Taeglyn, bukan maksudku berbohong. Aku hanya tak ingin kau teringat apa yang dilakukan dirimu padaku.

“Pangeran,” Aku menyeru. Alis pangeran mengemuka menyimpai di parasnya.

“Sudah kubilang kau tidak perlu memanggilku pangeran lagi,”

“Haruskah aku menyebut nama?”

“Itu lebih baik bukan?”

“Jika itu membuat lebih akrab aku setuju.” cakapku sepakat.

“Terima kasih,”

“Sama-sama, Taeglyn.” 

“Soora, pakaianmu basah.” Dia mengaru tatkala sepasang mata hijau mengamati secara menghilir dan ke atas padaku.

“Nggak apa-apa, Taeglyn.” 

“Bagaimana kalau kau sakit?” 

Sorotan sesetel manik mata hijau jernih tersirat kekhawatiran. Apakah dia telah sungguh-sungguh berubah? Dilihat dari aksen suara dan tuturan kepedulian mengenai busana lembap yang mematri di badan terdengar senjang.

“Nanti juga kering,”

“Pakaian basah itu tidak enak dipakai.”

“Sampai jangka waktu yang nggak ditentukan.”

“Aku tidak mau kau sakit, Soora. Sebaiknya ganti bajumu.” Dia menyuruh sambil mengarak diriku dari ribaannya ke tilam.

“Aku nggak punya pakaian selain ini.”

“Jangan canggung denganku,”

“Aku nggak ingin merepotkanmu, Taeglyn.”

“Kau tidak merepotkan. Justru diriku yang membuatmu kerepotan.” Dia menampik.

“Nggak perlu repot-repot, Taeglyn.”

Lihat selengkapnya