“Aku kayak hidup di film fantasi.” ucap diriku mengeloskan pegangan tangan pada Tavin dan Adome.
“Di sini bukan film, Nona Giovani.” Adome menggeleng bak tak suka nagari mereka disamakan dengan dongengan.
“Aku minta maaf, soalnya di tempatku nggak ada yang bisa kayak kalian.” Aku meringis kanyar.
“Itulah negeri kami. Tidak ada yang tidak mungkin di sini.” jawab Tavin.
“Tavin, bajunya biar aku yang bawa. Boleh nggak?”
“Jangan Nona, nanti saya dimarahi pangeran.” Tavin menolak halus.
“Pangeran nggak akan marahi kamu, aku jamin itu.” Aku menyambut, menepuk punggung Tavin yang sedikit regang.
“Tapi Nona….”
“Tenang. Nggak akan ada yang marah hari ini,”
“Nona yakin dapat menjamin keselamatan saya dihadapan pangeran?”
Perbahasan Tavin condong pada kewaswasan. Dia laksana menyangsikan kalimat tadi. Dari rautnya amat jelas Tavin terlihat ada tekanan jiwa saat aku meminta pakaian padanya. Apakah Tavin pernah kena masalah dengan pangeran Taeglyn?
“Aku bisa jamin keselamatan kamu, Tavin.”
“Saya ragu dan itu tidak mungkin, Nona.”
“Kamu bilang di sini nggak ada yang nggak mungkin, begitu ‘kan?”
“Iya tapi….”
“Aku bisa jamin, pangeran nggak akan memarahi kamu.”
“Benarkah, Nona?”
“Aku bersumpah.”
“Tavin, aku rasa ada benarnya perkataan Nona Giovani tadi.” Adome menyebat perkataan.
“Apa maksudmu, Adome?”
“Kau lihat sikap pangeran saat kita datang?”
“Iya. Kenapa?”
“Apa kau tidak merasa ada yang berbeda dengan sikapnya hari ini?”
“Hmmm….” Tavin kelihatan sedang merenung.
“Kau sudah menyadari, Tavin?”
“Aku menyadarinya. Biasanya jika kita terlambat datang satu menit saja, ya ampun….” Tavin menimbuk kening.
“Memang pangeran kenapa, Tavin?”
“Sebetulnya tidak ingin membicarakan pangeran. Tapi, kami juga penasaran dengan sikap pangeran tadi.” jawab Adome panjang.
“Kami semua jika terlambat walau semenit saja, dia akan marah berjam-jam.” Tavin mengirik.
“Astaga,” Aku garuk kepala.
“Ada lagi selain itu, Nona.” Adome menimpali.
“Apa lagi?”
“Banyak. Membicarakan pangeran Taeglyn satu buku tidak akan habis.”
“Lalu apanya yang selain itu?”
“Yang pasti membuat kami pening kepala.”
“Oh ya?”
“Iya, Nona.”
“Contohnya?”
“Kami akan dipaksa menuruti permintaannya yang aneh-aneh.”
“Seperti apa itu?”
“Misalnya, menghitung jumlah sisik ular peliharannya.”
“Ular penjaga menara berkepala enam itu, peliharaan pangeran?”
“Nona Giovani tahu?” Tavin dan Adome berpandangan.
“Tentu aku tahu. Siang tadi ke menara bersama pangeran.”
“Oh begitu.” Adome mengangguk.
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Nona Giovani adalah perempuan paling beruntung.”
“Maksudnya beruntung itu apa, Adome?”
“Selama ini belum pernah ada sosok dari luar istana pergi ke menara diajak pangeran.”
“Oh ya?”
“Iya. Itu baru Nona Giovani di hari ini.”
“Kok begitu, Tavin?” Dahiku keremot.
“Sepertinya, pangeran sedang jatuh cinta.” respons Adome.
“Jatuh cinta?”
“Tidak seperti biasanya pangeran bersikap begitu baik pada kami. Dia juga membelikan pakaian mahal di toko untuk Nona.”
Adome menyadari perubahan sikap pangeran pada dia dan pelayan lain. Apa yang dilakukan pangeran selagi dulu?
“Ya sih dia tadi menyuruhku membeli pakaian baru karena basah.”
“Jarang-jarang pangeran mempergunakan hartanya untuk membelikan pakaian sosok baru dia kenal.” Tavin meracau berkelanjutan.
“Memang selama ini nggak ada perempuan yang dekati dia?”
“Setahu kami belum ada.”
“Oh ya? Dia itu kan tampan.”
“Memang benar, pangeran Taeglyn menjadi salah satu idaman wanita negeri.” Adome mengangguk.