“Noey, ada apa?”
“Aku cuma tidak ingin kehilanganmu,” sahut Norlorn. Netra dia mengeruh.
“Kamu pikir aku nggak merasakan hal sama?”
“Bukankah kau ingin bersama pangeran?” Dia balik bertanya.
“Sebenarnya aku nggak maksud begitu, kupikir dia bisa saja menyadari kesalahannya.”
“Kesalahan apa?” Keningnya berkerut.
“Dia mengambil kebahagiaan salah satu saudaranya sendiri.”
“Dia tidak akan menyadarinya, Gigi.”
“Kita nggak akan tahu sebelum mencoba. Kalau dia bersamaku mungkin saja bisa berubah.”
“Kenapa kau yakin sekali dia bisa berubah, Gigi?” tanya Norlorn, agaknya dia menyangsikan.
“Dilihat dari sikap dia ke aku,”
“Bisa jadi hanya sandiwara untuk menarik perhatianmu!”
“Aku pikir nggak, Noey.”
“Kau tampak seperti peramal saja,”
“Aku memang pewacana kartu tarot. Kamu lupa?”
“Iya ya. Baru sadar aku.” Wajah dia langsung kesipuan.
“Semua kelihatan dari mata ‘kan?”
“Memangnya kau mempunyai kemampuan seperti kami?”
“Nggak punya. Kamu nggak usah kuatir, aku cukup tahu mana mata bohong mana nggak.”
“Jika kau yakin, aku berharap dia tidak mengecewakanmu.” Rangkulan Norlorn melandung. Dia mengeloskan dekapan miliknya dari tubuhku. Pandangan mata dia tengah pirau, laksana putus akal.
“Aku akan berusaha semampunya.”
“Semoga berhasil, Nona mungil!” seru Norlorn mesem.
“Loh, panggilan itu ‘kan...”
“Kenapa?”
“Panggilan pangeran kepadamu. Aku tahu,”
“Jangan-jangan, kamu…”
“Aku sudah lihat semua, Gigi.”
“Semuanya?”
Norlorn melihat semuanya? Apakah dia juga melihat adegan diriku berseranjang dengan Taeglyn?
“Awalnya aku curiga kenapa kau tidak kembali. Akhirnya, terpaksa kupakai sihir untuk mencarimu.” Norlorn bercerita.
“Lihat apa kamu?”
“Semuanya,”
“Jangan-jangan….”
“Ternyata Nona mungil yang satu ini sedang asyik melayani pangeran di ranjang!” sembur Norlorn membentuk tanda kutip dengan jarinya.
“Tapi ‘kan….”
“Ya, memang tidak sengaja. Namun ekspresimu amat menikmati serangan pangeran. Bukan begitu?”
“Aku malu tahu!”
“Lebih enak dari aku ya? Aku tahu itu.”
“Setop, Noey!”
“Kalau kau lebih suka dengannya kenapa menolak dia?”
“Noey, cukup! Aku muak,”
“Dia jauh lebih kaya dan dapat membahagiakanmu.” Norlorn mencebik, bibir bawah dia menurun.
“Dia bilang begitu. Cuma, aku belum tentu nggak bisa atau nggak? Omongan sama praktik bisa berlawanan.”
“Kalau hanya memenuhi kebutuhan untuk membalaskan dendam saudaramu, dia lebih pantas bersanding denganmu.” celoteh Norlorn.
“Noey, bisa nggak kamu diam sebentar?!”
“Jika kau mencari sosok yang dapat mencintaimu hingga darah terakhir, akulah sosok itu.”
Mata Norlorn tampak menajam. Tak lama, mutiara semerawang merembah. Dia menangis. Apakah itu sisi Norlorn yang selama ini tak terlihat? Aku bingung harus melilih siapa. Bagai dua mata logam. Aku mencintai Norlorn dan sudah menerima lamarannya, tapi bagaimana dengan nasib calon anak tak bersalah akibat kecerobohanku?
“Noey,”
Norlorn menggagu.
“Noey, aku minta maaf. Karena diriku kamu kecewa.”
“Lebih baik jangan dibahas lagi.”
“Kenapa?”
“Aku tidak ingin ada yang terluka, Gigi.” Kepala Norlorn menggeleng.
“Aku bingung, terus terang saja,”
“Memang harus dibicarakan waktu makan malam,”
“Semoga ada jalan keluarnya.” kataku singkat.
“Sebaiknya kau ganti bajumu, Gigi.” perintah Norlorn menunjuk ke bungkusan ku bawa.
“Kamu nggak marah aku pakai baju dari pangeran?”
“Untuk apa aku marah?”
“Aku buat kamu kecewa hari ini.”
“Setidaknya dia memberimu pakaian secara gratis. Betul?”
Senyum Norlorn merengkah. Jari dia memitas hidungku, padahal aku sudah melakukan kesalahan. Mengapa dia masih tetap baik? Adakah laki-laki di duniaku yang mempunyai sifat mirip Norlorn?
Norlorn….
Sebuah nama singkat pengubah hidup seorang manusia dalam kisahnya. Seandainya Norlorn manusia apakah akan sama rasanya? Aku harap iya, dia tak akan berubah. Seharusnya diri ini tahu, tak seharusnya keluar kamar. Semua telah menjadi bubur tanpa bumbu. Siapa tahu ada rencana Tuhan dan semesta dalam kejadian ini. Semua akan terbukti setelah aku menjalani.
“Noey, terima kasih ya.”
“Terima kasih untuk apa?”
“Kamu mau mengerti aku.”