My Dear Norlorn!

Giovani Alvar
Chapter #22

21. Adat Lama Pusaka Usang (2)

Aku sebenarnya tak ingin tahu penjelasan mengapa tamu dilarang turun ke ruang makan sebelum dipanggil. Namun, kalau menetap di kamar ini mau sampai kapan? Terpaksa menjalankan gerakan nekat. Aku harus turun melalui balkon kamar. Melalui pintu tak akan bisa. Norlorn sudah mengunci dengan pelintuh, karena timbul cahaya ungu pada bagian kenop. 

Ini disebut terjebak dalam kesialan bukan terjebak dalam nostalgia. Memang niat Norlorn wajar supaya aku mematuhi peraturan, tapi dia malah membuat tambah ingin tahu.

Aku akan memeriksa jendela sebelum pergi. Rasanya dia hanya memantrai pintu agar aku tak keluar. Mari beranjak!

1…2…3…

Sial! Jendela juga sudah dimantrai tanpa kulihat! Benar-benar menyebalkan! Bagaimana caranya keluar? Mau sampai kapan aku di sini? Di luar, angkasa sudah penyap tiada bintang seperti kulihat sewaktu bersama Norlorn.

Kapan makan malam dimulai? Waktu jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam. 

Rasanya seperti pingit. Kenapa di mana pun selalu ada aturan pengekangan? Kuakui di sini lebih enak dari segi fasilitas daripada rumahku.

Mondar-mandir tak tentu arah laksana setrika. Kenapa tak ada panggilan? Kondisi sekarang memiliki pilihan sulit. Bukan kegeeran, bisa saja tak mendapatkan salah satu atau keduanya.

Aku sadar, rakyat jelata mana bisa mendapatkan keluarga kerajaan? Memangnya dongeng? Realistis saja, apalagi berbeda dimensi!

Paling-paling, pangeran atau Norlorn sama saja. Suka mencari pelampiasan saat mereka bosan. Bagaimana dengan anak dalam tubuhku ini? Apa memang ada atau pura-pura supaya pangeran tetap bisa “mencicipi”? 

Bagaimana dengan Norlorn? Tak menutup kemungkinan bekerja sama dengan pangeran. Siapa yang tahu? 

Jika benar, brengsek mereka! Tak ada bedanya dengan pria buaya buntung dan mata ke ranjang. Aku salah termakan rayuan murahan dari mereka. Laknatlah diriku terperdaya paras cakap baik pangeran dan Norlorn sendiri.

Giovani, kenapa kau selalu mengulang kesalahan sama berkali-kali? Menggelikan!

Dasar otak sialan! Bisa-bisanya ada pikiran begitu. 

Yang aku inginkan sangat jelas, keluar dari sini secepatnya! Sekarang hanya dapat menunggu ada panggilan ke ruang makan. Jarum jam tetap membunyikan sekon begitu cergas bagai perasaan tak sabar diriku.

Waktu di sini sangat ajaib. Baru menoleh ke belakang, angka jarum panjang menunjuk ke pukul tujuh malam lewat lima belas menit. Secara normal, makan malam seharusnya telah selesai. Paling, aku tak diundang makan malam bersama para pangeran dengan raja, pelayan dan keluarga Norlorn.

Tak apa-apa. Diriku tak terlalu berharap untuk makan malam bersama mereka. Jika diundang aku senang, tak diundang aku tak akan sedih. Masih ada rasa penasaran tinggi mengapa tak boleh keluar sebelum dipanggil. Itu saja.

Beraneka macam mantik meretas otak tak tahu harus memulai jawaban dari mana. Sebelum menemukan jawaban, pintu kamar terbuka pelan. Seekor pinguin berbulu hitam dengan perut berbulu putih masuk. Bulu bagian atasnya jabrik, persis kulihat di reka adegan pesta dansa dan pertama kali dia datang ke rumah secara samar.

“Nona Giovani….” 

Suara pinguin itu cempreng. Mengingatkan aku pada kartun sulih suara tv nasional. Pinguin gemuk nan imut membungkuk padaku.

“Ya,” Aku mengikuti caranya.

“Perkenalkan, saya Maximillian pengawas istana ini. Anda dipanggil untuk menghadap keluarga kerajaan di ruang makan.” ujar dia merentangkan salah satu sayapnya ke depan. 

“Mohon bantuannya Maximillian.” 

Aku mengikuti arahan dari Maximillian sampai ke ruang makan. Di sana, sudah pada menunggu termasuk Norlorn dan Ayahnya. Ada juga sosok perempuan berwarna rambut persis seperti tuan Nyvorlas. Rambut panjang ikal sedada bergaun tanpa lengan semata kaki. Mungkinkah dia Nueleth, kakak perempuan Norlorn? Tatapan sosok itu kelihatan kurang ramah dari meja makan. Seakan tak suka ada manusia asing di sini. Sajian makan malam masih belum tersentuh. Selama lima belas menit mereka melakukan apa? Apakah makan malamnya belum dimulai?

Ruang makan berdesain eropa klasik yang megah. Kursi berlapis emas berikut mejanya membuatku kagum. Ingin berteriak takut menganggu. Terlebih melihat tatapan dingin perempuan cantik dari salah satu kursi keluarga kerajaan.

“Yang Mulia, Nona Giovani sudah datang,” ujar Maximillian membungkuk.

“Tolong kau ajak dia ke kursi sebelah anakku, Taeglyn.” tunjuk raja mengarahkan Maximillian pada sebuah kursi kosong bagian kanan, tempat para pangeran duduk. Taeglyn kelihatan sumringah begitu diriku menduduki kursi sebelahnya.

“Giovani calon istriku, Ayah.” ujar Taeglyn menunjukku.

Tetiba, perempuan berambut panjang ikal berwarna abu kepekerakan berdiri dari kursi makan. Tangannya menunjuk Taeglyn bersama tatapan kemarahan.

“Apa-apaan kau ini, Taeglyn!” seru dia.

“Nueleth, berani kau bicara begitu pada pangeran?!” Taeglyn ikut tersulut.

“Kau memang pangeran di luar tapi tidak di dalam istana. Paham!?”

“Beraninya kau!” Taeglyn memelotot, tangannya mengepal seakan ingin memberi bogem mentah.

“Taeglyn, Nueleth cukup!” Tuan Nyvorlas menginterupsi.

“Dia yang memulai, Ayah!” 

“Paman, aku tidak memulainya. Dia yang memulai!”

“Bisakah kalian tidak bertengkar sebentar saja?!” Tuan Nyvorlas memerintah. 

“Ayahmu benar Nueleth. Bisakah kau tidak bertengkar sehari saja dengan putraku?” 

“Maafkan diriku, paman.” Nueleth menunduk.

“Betul apa yang dibilang Ayah. Kalian sudah dewasa, tidak baik bertengkar di depan tamu.” sambung pemuda gondrong berwarna rambut krem, berpupil mata ungu dan beranting permata seperti Norlorn. 

“Adikmu yang memulai, Ruvyn!” Nada suara Nueleth mencerminkan kekesalan. 

“Kakak berhentilah. Aku muak dengan keributan kalian.” Norlorn menengahi, menatap Nueleth sebal.

“Kau sebagai Adik seharusnya membelaku!”

“Bukan begitu maksudku, Kak. Ada baiknya kalian tidak bertengkar. Apa kau tidak malu bertengkar di depan calon istriku juga?” Norlorn melirikku yang bingung.

“Ada-ada saja,” 

Dua pangeran lain menggeleng kepala, para pelayan dan Maximillian kompak mengangkat bahu dari kursi masing-masing.

Kenapa mereka?

“Sudah saatnya, aku sebagai pemimpin kerajaan Etchaland akan memberitahukan solusi dari permasalahan yang menimpa putraku dan keponakanku.” Raja menyapu pandangan seluruh penghuni ruang makan termasuk diriku. 

Sang raja kembali menatap Norlorn, Taeglyn dan aku. Kemudia dia maneruskan pembicaraan, “Sudah ribuan tahun usia negeri ini, baru kali kedua diriku menemukan permasalahan yang sama. Tentang perebutan dua hati pada satu hati.”

Raut wajah semua keluarga kerajaan di kursi menegang, masih menunggu narapati bersuara lagi. 

“Cinta, kasih memang tidak dapat dipaksakan. Namun, sudikah kalian untuk bersaing dalam turnamen yang kuadakan?”

“Turnamen?” Nueleth tercengang.

“Ayah, turnamen apa itu?!” sahut Taeglyn.

“Pertarungan sejauh mana kemampuan ilmu pedangmu dan Norlorn, putraku.” 

Lihat selengkapnya