Semua keluarga kerajaan menikmati makan malam yang tersedia. Tak berbeda jauh peraturan dari duniaku dengan alam ini, semua tertib tanpa bicara selain menyantap sajian di tiap-tiap lopak.
Sajian terlezat yang pernah kusantap. Kalau terus begini, jiwaku bisa menjadi gemuk dan bahagia. Meski pun menyenangkan, ini bukan alamku. Kalau saja dapat hidup selamanya di sini, aku bisa bebas dari masalah bertubi-tubi yang datang mengganggu.
“Giovani, kenapa kau melamun?” tanya Taeglyn tiba-tiba.Dia memberaikan bayanganku.
“Nggak apa-apa.” Aku menggeleng.
“Betulkah kau baik-baik saja?” Taeglyn terlihat tak puas pada sahutanku.
“Ya.”
“Syukurlah. Silakan kau lanjut makan malamnya.”
Aku meneruskan sorongan sendok berisi makaroni pilin bercampur krim kental dan sayuran. Entah apa namanya. Pastinya amat lezat. Hanya di sini, aku bisa mencoba makanan mahal. Santapan yang hanya bisa dibeli oleh sosok berlimpah harta macam karakter dalam tonil televisi.
Hidup di sini ada dua sisi, setidaknya bagiku. Apakah si Mbok menyadari bahwa jiwa anak asuh dia sedang tidak ada di tempatnya? Sisi lainnya, inilah kehidupan aku cari. Di sekitarku melembak sosok baik di istana. Urusan terkungkung atau tidak belakangan saja. Aku pernah berkata kalau ingin bebas... terbang bagai kukila ke langit.
Pengecualian di sini, aku akan lebih senang diriku jika melanglang tak sendirian. Serasa lebih aman. Rasa berkata, mereka adalah makhluk baik. Baik dalam artian aku tak pernah mengganggu kedamaian para bangsa mitos itu.
Seandainya aku mengganggu, bisa jadi tak ada kejadian seperti tadi. Norlorn dan pangeran Taeglyn harus ikut turnamen pedang. Untuk orang seperti aku jelas tak masuk akal. Kejadian ini bukan komidi bangsawan bukan?
“Giovani!” seru Taeglyn sedikit keras.
“Taeglyn, kau bisa diam tidak?!” Nueleth memelotot.
“Ya?”
Suara kedua makhluk yang sedari tadi bergaduh kembali memberantakkan angan-agan. Pertengkaran Nueleth dan pangeran Taeglyn belum selesai? Ada-ada saja!
“Ada apa denganmu, Giovani? Kenapa kau terus-menerus melamun?”
“Tidak usah sok perhatian, Taeglyn!” Bibir berwarna merah jambu milik Nueleth maju, mengambal Taeglyn dari seberang piring.
“Apa urusanmu? Giovani calon istriku!” Suara Taeglyn melaung pada Nueleth.
“Enak saja! Dasar perebut kekasih!”