”Karena itulah tercipta yang namanya waktu.” tuturku.
“Aku setuju. Ngomong-ngomong, kau tidak merindukan Kakakmu?”
“Amat rindu. Dia mungkin sebentar lagi sampai.”
“Dia akan sampai. Aku tahu Norlorn sempat marah, namun tidak dengan paman Nyvorlas.” kata Taeglyn.
“Iya ya. Norlorn harus tetap menjemput karena cuma dia yang tahu keberadaan Reira dan Kak Karisma.” Aku menimpali ujaran Taeglyn.
“Aku juga ingin tahu seperti apa wujud sebenarnya dari Reira,”
“Bagiku dia menarik.”
“Oh ya?” Mata Taeglyn mencelang.
“Iya.”
“Kau mengenal dia?”
“Amat mengenalnya. Dia memang teman Kak Karisma sewaktu jadi hosuto dulu.”
“Satu tempat bekerja?”
“Dulu. Sekarang nggak lagi. Kak Hikaru ikut bergabung dengan Group Dandy.”
“Sekilas, di matamu ada sosok laki-laki lain. Rasanya dia tidak asing di mataku,”
“Seperti apa ciri laki-laki Anda lihat?”
“Ciri paling menonjol dia mirip penduduk wilayah timur. Berambut warna blonda bercampur putih meta.” jawab Taeglyn.
“Ciri lain?”
“Berkulit langsat putih, alisnya berwarna cokelat bersamaan manik matanya.” Taeglyn mengelus dagunya.
“Itu Reira, Taeglyn.”
“Reira?!”
“Betul.”
“Jadi dia anak angkat…” Taeglyn terguncang sesaat.
“Sepertinya Yang Mulia nggak bohong dia mempunyai putra angkat.”
“Astaga,”
“Ada apa, Taeglyn?”
“Dia adalah teman sekolahku dulu. Aku baru ingat sekarang!” Taeglyn terkesiap.
“Teman sekolah?”
“Aku tidak tahu nama dia adalah Reira. Di sekolah lebih dikenal dengan julukannya.”
“Julukan?”
“Dia mempunyai julukan bernama sang penyegel.”
“Maaf, di mana Anda bersekolah?”
“Wilayah barat.”
“Satu sekolah dengan Norlorn?”
“Tentu saja.”
“Reira?”
“Awalnya, aku tidak tahu dia berasal dari mana. Aku hanya berpikir dia penduduk wilayah timur biasa dan bisa bersekolah dengan darma siswa.” balas Taeglyn mencacau.
“Darma siswa? Apa itu?”
“Dia bersekolah dengan cuma-cuma berkat keahlian dan kepandaiannya.”
“Maksud Anda dia dapat beasiswa?”
“Mungkin. Aku tidak paham istilah dari duniamu. Yang jelas, dia tidak membayar sepeser pun hingga lulus sekolah.” jawab Taeglyn menyunggi bahu.
“Hebat.”
“Rakyat biasa tidak akan bisa bersekolah di wilayah barat.”
“Kenapa tidak bisa?”
“Biaya yang mahal. Jika tidak ada keahlian, kau tidak akan bisa menjadi murid.”
“Aku pun nggak akan bisa berkuliah lagi.” Aku kalut ketika mengenang masa lektur belum selesai tetapi sudah harus pergi meninggalkannya.
“Pendidikan akhir maksudmu?”
“Mungkin iya jika di sini.”
“Kau ingin meneruskannya?”
“Sejujurnya aku ingin tapi belum mempunyai dana cukup.”
“Kau tidak perlu khawatir. Aku akan membiayai semuanya jika kau mau.”
“Nggak usah repot-repot pangeran. Biaya kuliah di duniaku itu mahal,” Aku menggeleng.
“Atau begini, bagaimana kalau kau menempuh pendidikan akhir di negeri ini?
“Caranya?”
“Nanti kau akan mengikuti tes sesuai keahlianmu.”
“Aku nggak punya keahlian apa-apa.”
“Menulis cerita?”