Kamar Taeglyn, pukul 8.30 malam waktu setempat
Taeglyn mengajak kami duduk di resbang kamar. Sofa berdesain Eropa klasik itu terasa lunak. Sedari tadi, penasaran dengan sofa berwarna putih susu terletak dekat jendela. Jadi ini rasanya? Sofa putih empuk membuat kantuk?
“Dik, lo kok diam?” tanya Kak Karisma agak menyurai lamunan.
“Hah?
“Tumben bengong saja,” timpal Kak Reira.
“Gue bingung mau ngomong apa.”
“Kayak bukan Giovani yang gue kenal deh,” ucap Kak Karisma.
“Bingung gue.” Aku garuk kepala.
“Kalian santai saja.” Taeglyn merarai dari sofa sebelah kiri.
“Aku nggak menduga bisa bertemu Anda lagi setelah sekian lama.” cakap Kak Reira membuka topik.
“Betul.” Taeglyn mengangguk.
“Pangeran dan temanku yang narsis ini saling kenal?” Kak Karisma celingukan.
“Seperti yang sudah kukatakan, Reira adalah teman sekolahku.”
“Kok bisa sih Reira sekolah di sini?”
“Biar gue jelasin. Sebelum gue jadi conjurer kayak sekarang, gue nggak sengaja meraga sukma,” Kak Reira menyambung.
“Kenapa lo yang jawab?” Kak Karisma mengangkat alis.
“Gue jelasin dulu sebelum pangeran yang jawab.” celetuk Kak Reira.
“Ayo lanjut dong, Kak. Mau tahu juga kenapa kalian saling kenal.” Aku menanggapi tuturan Kak Reira dengan rasa kemelitan.
“Trus?” Kak Karisma memelotot.Dia amat kelihatan tertarik mendengar cerita.
“Mau tahu banget atau tahu saja?” Mata Kak Reira mengerdip sebelah.
“Kak Reira nyebelin banget!”
“Tahu lo, Rei. Masih saja bercanda,”
“Iya gue lanjutin. Sabar dong!” kata Kak Reira senderut.
“Lama banget lo! Mending nggak usah lanjut!” seru Kak Karisma tak kalah gregetan. Akhirnya, dia serta-merta mereguk segelas wine jamuan dari pangeran sampai habis dalam satu kali teguk.
“Buset dah. Pangeran juga belum minum, lo sudah habis.” kata Kak Reira tergeleng-geleng.
“Lo kelamaan sih. Jadi bete duluan,”
“Tidak masalah jika ada yang minum terlebih dahulu.” Taeglyn mengantarai.
“Maaf untuk kelakuan temanku,pangeran. Maklum, dia agak-agak…”
“Apa lo bilang?!”
“Maksud gue, lo agak-agak haus. Begitu,” ucap Kak Reira. Taksiranku, tubuh dia beringsut ke sebelah kanan sofa..
“Hmmm,”
“Bagaimana kalau ganti topik?” Taeglyn mengusulkan.
“Betul,” Angguk diriku.
“Setuju,” Kak Reira ikut sepakat.
“Omong-omong, kalian pasti lapar ‘kan?”
“Kebetulan belum makan malah dijemput ke sini.” jawab Kak Karisma semaunya.
Tidak ragu-ragu aku bangun dari sofa untuk menjinjit telinga beranting dia, mengingatkan dia harus sopan sebagai tamu. Lebih-lebih lagi, dia sekarang sedang berhadapan dengan salah satu pangeran kerajaan. Kalau dia begitu, bukan dia saja masuk bui tetapi aku juga.
“Kak, bisa nggak sih lo sopan sebagai tamu?!”
Kak Karisma melaung pelan. Tangan dia menjangkau tanganku dari telinganya, “Ampun, iya gue salah. Lepasin jeweran lo!”
“Minta maaf sana sama pangeran!”
“Ya, gue bakalan minta maaf. Tapi lepas dulu jeweran lo.” Kak Karisma bicara, tangan dia masih berusaha membebaskan tarikan tanganku di telinga.
“Oke gue lepasin. Lo harus minta maaf.”
“Iya-iya,”
“Cepetan sana!”
“Pangeran, aku meminta maaf jika kelakuanku kurang berkenan di sini.” Kak Karisma berdiri dan membungkuk empat puluh lima derajat pada Taeglyn. Ah, rupanya kebisaan Ojigi tetap mendarah daging pada diri dia. Begitu juga dengan Kak Reira, ikut melakukan ojigi setelah Kak Karisma. Mereka melaksanakan Saikeirei. Sehingga, aku harus mengikuti mereka berdua walau bungkuk belum sempurna secara aturan. Bungkukan diriku sedikit lebih tinggi dibanding Kak Hikaru dan Kak Reira.
“Sudah-sudah, tidak apa-apa.” kata Taeglyn menahan tawa melihat sikap kami pada dia.
“Maaf, kami tidak dapat melupakan budaya dari salah satu negara tempat tinggal kami.” Kepalaku sedikit mendongak untuk menakwilkan.
“Baiklah, aku menghargai sikap kalian padaku,” kata dia ikut menirukan sikap Kak Karisma dan Kak Reira.
Sepertinya Taeglyn membungkuk sekitar tiga puluh derajat. Itu artinya apa ya? Terus terang saja, aku tidak sepenuhnya paham dengan tradisi ojigi ini.
Buru-buru kusenggol siku Kak Karisma sesaat setelah dia selesai melakukan ojigi bersama Kak Reira. Dia menoleh sambil merisik, “Ada apa?”
“Gue mau tanya, kok Taeglyn membungkuk sampai tiga puluh derajat?” bisikku.
“Dia melakukan Keirei, padahal seharusnya nggak perlu,”
“Kenapa nggak perlu?”
“Anggukan kepala lima derajat harusnya sudah cukup. Soalnya status pangeran lebih tinggi dari kita.” jawab Kak Karisma lirih.
“Aku tahu apa yang kalian bicarakan dari tadi.” cakap Taeglyn tersenyum simpul pada kami. Kedia tangannya terlipat di dada.
“Maaf pangeran, bukan kami bermaksud lancang. Tapi....” ujaran Kak Karisma menggantung di punca lidah.
“Anggap saja undangan dariku mempersilakan kalian masuk ke kamar,” tuturnya ramah.
“Terima kasih, pangeran.” Kak Reira kembali melakukan keirei seperti Taeglyn.
Kurang lebih lima belas menit perbincangan kami, suara derit pintu terdengar. Maximillian dan beberapa pelayan laki-laki sudah datang membawakan jamuan. Adome dan Tavin lagi? Sudah hampir seharian ini mereka hadir. Bedanya malam ini mereka bersama beberapa pelayan lain.
Kalau begini, bisa-bisa aku obesitas mendadak. Setidaknya untuk jiwaku. Hihihi....
Belum ada setengah jam makan malam selesai, aku disuguhkan lagi makanan penutup penggugah selera meski dari rasa lebih dominan manis. Sedangkan, untuk Kak Karisma dan Kak Reira lebih mendominasi daging dan pasta.
“Silakan dinikmati hidangannya.” ucap Maximillian.
“Terima kasih, Maximillian dan semuanya.” Pangeran tersenyum lebar.
“Hamba pamit undur diri paduka pangeran.” Maximillian membungkuk seraya melangkah mundur diikuti para pelayan.
“Tunggu Maximillian, apakah tidak ada lagi selain ini?” tanya Taeglyn.
“Mohon maaf pangeran. Hampir saja hamba lupa menyampaikan pesan dari Yang Mulia.”
“Pesan? Apa itu”
“Selesai menikmati jamuan, paduka pangeran dan tuan muda Reira diperintah menghadap Yang Mulia.” jawab Maximillian.