Dari cermin piyama kupakai kelihatan lebih cocok di badan. Padahal tadinya tidak yakin apakah piyama ini kebesaran atau tidak. Berwarna biru muda kesukaanku dan berbahan sejuk di tubuh. Lucu dan bagus sekali piyama ini
Pasti piyama ini bernilai garib. Tentu saja keluarga kerajaan tidak akan membeli piyama murahan untuk tamu-tamu yang menginap ‘kan? Seandainya harga ekonomis aku juga tidak dapat membelinya. Aku berjalan keluar kamar mandi sambil menenteng baju dan sepatu. Kak Karisma masih berdiri di tengah kamar dengan ekspresi bingung. Selagi dia tercenung sesekali aku kerjai saja. Jahat? Memang iya. Hehe....
1… 2… 3….
“Doorrr…!!”
Kuusili dia dengan cara menampuk punggungnya. Seketika itu juga Kak Karisma langsung melaung, “Enam belas… dua puluh lima… tiga puluh… delapan belas… dua puluh tiga...!!” Aku terbahak mengindahkan teriakan Kak Karisma yang eksentrik itu. Dipikir-pikir, kasihan juga dia terkesiap sampai segitunya karena perbuatanku. Cuma, daripada dia melamun, ada baiknya disadarkan. Betul?”
“Siake lo, Dik. Ngagetin gue aja!” Kak Karisma menoleh padaku.
“Maaf deh. Lagian lo kenapa bengong di tengah-tengah?” tanya diriku tersungging.
“Gue bingung harus ngapain.”
“Daripada lo bingung mendingan ganti baju trus tidur. Beres ‘kan?”
“Iya juga.” Dia nyengir,
“Ngomong-ngomong, kapan ya gue bisa jadi kaya?”
“Dik, kita ‘kan... kaya,”
“Kaya dari mana? Masih bagus gue bisa ngungsi di Mbok dan nitip Akshita sama lo.”
“Kita punya dua mata, dua telinga, satu hidung, bibir dan anggota tubuh yang lengkap. Mikir ke sana nggak lo?”
“Oh iya, benar banget. Kalau gue jual ginjal mahal pasti nih.” Aku menjawab dengan kereseng.
“Yang ada dipikiran lo duit mulu!” seru Kak Hikaru.
“Mau apa lagi? Gue butuh duit banyak buat beli apa yang gue mau.”
“Ya gue tahu. Nggak sampai segitunya juga kali.” Kak Hikaru menggeleng.
“Kadang gue iri sama orang yang kayaknya uangnya gampang banget dan ngalir kayak air, Kak.”
“Rejeki, jodoh, semua sudah diatur sama Tuhan. Jangan takut nggak kebagian.”
“Bukan takut. Gue kayak berasa mampet rejeki.”
“Nah ini, sikap kayak gini yang buat rejeki lo mampet!”
“Maksudnya?”
“Lo kurang bersyukur sama apa lo punya.”
“Masa iya?”
“Lo setiap hari bisa makan, minum, nggak kepanasan dan kehujanan ‘kan?”
“Iya sih. ‘Kan gue ngungsi di rumah si Mbok.”
“Itu juga rejeki. Lo harusnya bersyukur nggak jadi gelandangan di jalan.”
“Benar juga.”
“Hidup itu keras tapi jangan mau kalah!”
Apa yang Kak Karisma katakan ada benarnya. Aku tidak boleh kalah dengan kerasnya hidup. Harus tetap berjuang untuk mewujudkan impian serta cita-cita. Memang tak salah Tuhan menjadikan Kak Karisma menjadi kakak tiriku. Dia lebih baik dan dewasa dibanding kedua kakak kandungku. Bukan membandingkan, tapi itulah yang diterima sebelum ibuku menikah dengan Ayah Karisma.
“Kak…”
“Ada apa?”
“Terima kasih ya lo menyadarkan gue.”
“Terima kasihnya sama Tuhan karena Dia kita jadi Kakak dan Adik.”
“Lo bisa saja,”
“Yap. Gue ganti baju dulu ya.”
Kak Karisma menarik langkah ke lemari untuk mengambil piyama ganti. Setelah sampai, dia membuka pintu almari dan tangannya aktif bergiat memilih piyama. Kurasa, Kak Karisma ukurannya tak terlalu berjarak dengan Norlorn atau Taeglyn. Tinggi badan mereka tak begitu berbeda. Lain hal dengan tinggi badanku pada Taeglyn dan Norlorn, jangkanya terlampau jauh. Jangankan mereka, tinggi badan dengan Tavin atau Adome saja terasa jauh.
Kak Karisma memutuskan mengambil piyama berwarna aswad. Desain piyama itu minimalis tapi kelihatan anggun.
Bagus juga selera Kak Karisma. Mungkin, inilah sifat dan bakat terpendam belum aku ketahui selama ini. Selera berpakaian dia elegan. Apa pengaruh paling besar berhubungan dengan pekerjaannya?
Hawa kamar berganti beringsang selama Kak Karisma menyalin pakaian. Apa sebaiknya aku buka jendela? Kakiku memintas ke jendela untuk membuang rasa panas dalam kamar. Baru saja menyinggir jendela, hadir panorama memesona. Bintang sapu bersilih menjeru di angkasa.
Menawan sekali pemandangan ini. Kak Karisma harus lihat sebelum semua bintang hilang.
Lekas aku pergi ke kamar mandi memanggil Kak Karisma, “Kak buruan! Ada pemandangan keren nih!”
Dia membuka pintu kamar mandi sembari mengegah ke jendela. Indra penglihat Kak Karisma terlihat takjub pada pemandangan bintang sapu bertitikan laksana adiratna. “Gila, keren banget! Baru di sini gue lihat pemandangan kayak gini,”
“Keren ‘kan?”
“K-ke-ren banget!”
“Gue semakin betah di sini, Kak.”
“Gue ngerti. Tapi lo juga harus tetap pulang, Dik.”
“Andai aja bisa lebih lama,”
“Kita nggak perlu terlalu lama. Pasti ke sini lagi bisa. Tenang dong,” Kak Karisma menenangkanku.
“Kalau bisa lebih lama tanpa balik!” seruku.
“Hush… jangan bilang begitu.”
“Tt-ap-i…”
“Lo harus sadar dunia kita bukan di sini.”
“Iya sih. Gue juga harus tahu diri.”
“Reira kok belum ke sini ya?” ucap Kak Karisma melirik jam dinding.
“Tumben. Ke mana dia?”
“Masih ngobrol mungkin?” Kak Karisma mengangkat bahu.
“Bisa jadi. Gue nggak nyangka Kak Reira anak angkat dari keluarga ini.”
“Sama. Gue juga nggak sangka dia ternyata keluarga kerajaan,”
“By the way, gue masih penasaran soal Kak Reira dijuluki sang penyegel.”
“Maksudnya?”
“Tadi Kak Reira mau cerita tentang dia bisa kenal pangeran tapi lo potong.”
“Kelamaan sih,”
“Lo yang nggak sabaran. Kalau lo nggak potong omongan Kak Reira pasti jadi cerita!”
“Lo nyalahin gue?”
“Bukan begitu. Lain kali kalau orang lagi cerita jangan dipotong supaya gue tahu.”
“Iya deh. Maaf,”
“Ya gue maafin.”
Tak ingin melanjutkan pembahasan, diriku langsung menempati tilam. Di mana-mana, aku selalu merindukan kasur seandainya mata mulai turun. Bisa tidur di mana saja termasuk motor. Menghenyakkan tubuh kemudian memejamkan mata. Belum ada sepuluh detik mata terpejam sebuah ketukan pintu terdengar. Siapa yang mengetuk pintu malam-malam begini?
Kak Karisma berjalan ke pintu sambil membukanya. Ternyata Kak Reira yang datang dengan tatapn mata mengangut.
“Rei, kenapa lo datang macam orang teler begitu?”
“Berisik lo!” Kak Reira tak acuh lalu melangkah ke lemari. Dia mengambil piyama kemudian berlalu di kamar mandi.
“Dih, kenapa tuh bocah?! Datang-datang mata segaris macam orang teler.”
“Entah,” Aku mengangkat bahu.
“Gue jadi kepo. Kenapa dia begitu?”
“Tanya sendirilah. Masa tanya gue?”
“Yang mau tanya lo juga siapa? Gue akan tanya setelah dia keluar dari kamar mandi.”
Cuma gemercik air yang terdengar dari kamar mandi. Aku tak tahu sedang apa Kak Reira di dalam? Biarlah dia menuntaskan semua di kamar mandi. Bisa jadi Kak Reira memang ingin mandi sebelum tidur supaya lebih segar. Bukan begitu?
“Kalau lo tanya gue, gue juga nggak tahu.”
“Gue biarin Reira tenang dulu deh. Mungkin lagi capek tadi.” Kak Karisma berbahasa. Dia berjalan ke sofa terus duduk. Sekali lalu, tungkai dia menganjur di pinggir sofa.
“Enak benar lo selonjoran,” kataku dari ranjang.
“Hidup itu harus dinikmati. Kapan lagi gue bisa selonjoran di sofa mewah begini?”
“Lo tajir tapi udik.”
“Sama kayak lo!” Dia mencebik.
“Ya gue tahu, gue juga norak. Tapi kira-kira juga kali, Kak.”
“Terserah lo deh. Yang penting gue senang.” celoteh Kak Karisma dari sofa.
“Gue tidur duluan ya, ngantuk.”
“Tidur sana,”
“Selamat tidur….”
Baru dua detik mata terpejam bunyi derit pintu kamar mandi terdengar. Kumenjeling sejemang. Kak Reira sudah keluar dari kamar mandi sambil membawa pakaian dan sepatu. Kemudian, dia meletakkan bajunya di sebuah keranjang besar sebelah lemari.
Itu keranjang baju kotor? Ternyata aku salah meletakkan pakaian di bawah ranjang bersama dengan pakaian Kak Karisma.
Sepemakan sirih, diriku bangun dari ranjang dan meletakkan pakaian kotor milikku bersama pakaian Kak Karisma di keranjang seperti Kak Reira lakukan. Kak Reira tengah membungkam sedari tadi. Apa yang terjadi padanya?
“Kak?” panggilku.
“Hm?””
“Kak Reira kenapa sih?”
“Nggak apa-apa,” Dia menjawab ringkas.
“Beneran?”
“Aku cuma mengantuk.”
“Sama. Mending tidur sekarang daripada besok kesiangan. Takutnya ada yang penting,”
“Aku tidur duluan ya, Gi.” Kak Reira langsung melompat ke ranjang. Aku mengakui ranjangnya memang tinggi, tetapi mudah dipanjat.
Tunggu… kalau Kak Reira tidur di ranjang, aku tidur di mana?”
“Kakak tidur di kasur?”
“Hmmm,”
“Aku tidur di mana?”
“Bareng saja.” jawab dia.
“APA LO BILANG?!”
Teriakan Kak Karisma mendegam-degam dari sofa. Suara dia membuat telinga kami pekak. Kak Reira terlonjak, dia nyaris jatuh seandainya tak memegang pinggir ranjang.
“Lo apa-apaan sih teriak-teriak?!” Kak Reira menyalang.
“Lo mau seranjang sama Giovani? Sembarangan!”
“Trus Giovani mau tidur di mana kalau nggak sama gue di kasur?”
“Pindah lo di sofa. Gue tidur sama Giovani!”
“Apa-apaan? Lo cuma abang tiri.”
“Tetap Giovani itu adik gue. Weee….”
“Ya nggak bisalah. Ngaco lo!”
“Seenggaknya gue masih Kakaknya. Lo bukan.”
“Berisik ya lo berdua! Gini deh, gue tidur di tengah. Kak Reira tidur sebelah kiri dan Kak Karisma tidur sebelah kanan.”
“Tt-api....”
“Nggak mau? Nggak masalah. Gue bisa tidur sendiri di kasur kalian tidur di lantai!”
“Ya… ya, kita berdua tidur deh.” ujar Kak Karisma dan Kak Reira kompak.
“Makanya jangan ribut! Gue super ngantuk dari tadi. Capek gue layanin Taeglyn.”
“Hah!?” Kak Reira dan Kak Karisma terbelalak.
“Kenapa kalian berdua?”
“Layanin? Maksudnya?” Kak Reira bertanya.
“Nggak usah pura-pura oon,”
“Aku itu nggak tahu. Kalau tahu ngapain tanya?”
“Di ranjang!”
“Lo gila, Dik?”
“Lo bilang gila? Selama ini apa bedanya perlakuan lo ke gue?”
“Maafin gue, Dik.”
“Ooo…,” Kak Reira meng-o. Dia seperti baru paham apa yang menyebabkan aku mengantuk berat.
“Gue mau tidur. Jangan banyak cingcong.”
“Tidur deh lo, Dik. Gue mau tutup jendela dulu.”
Kak Karisma bangun, dia menarik langkah ke jendela sambil menggerendel penggait. Setelah menutup jendela, dia kembali merebahkan diri di sebelah kanan ranjang lalu terlelap. Kak Reira juga serupa. Dia sudah tertidur sepuluh detik lebih dulu dibanding Kak Karisma Akhirnya bisa tidur juga setelah apa yang kulakukan hampir seharian di istana megah ini. Tuhan sudah mengabulkan doa kecilku. Dia mempertemukan aku lagi dengan Kak Karisma