“Dik!” panggil Kak Karisma dari sofa. Visibel dia membuntang ke arahku.
“Ya?”
“Lo senang nggak?”
“Senang gimana?”
“Senang karena sebentar lagi nggak sendiri,”
“Karena gue sebentar lagi jadi ganti status?”
“Iya jadi istri,”
“Buat gue bisa jadi bahagia bisa jadi sumber masalah.”
“Masalahnya?”
“Gue nggak bisa masak.”
“Jadi istri harus banget bisa masak tanpa belajar? Isu dari mana?”
“Bukannya itu aturan wajib ya kalau perempuan harus bisa masak?”
“Kayaknya tergantung siapa pasangan lo deh.”
“Contohnya?”
“Kalau dapat yang nggak bisa bayar pembantu ya bukan jadi istri lagi itu mah. Tapi lo dibudakin,”
“Kayaknya betul deh. Tergantung pasangan dan bujet.”
“Kalian tuh dari tadi ngomongin apa sih?”
“Dari tadi nggak nyimak, Rei?”
“Gue nggak paham kalian ngomongin apaan,”
“Giovani tuh nggak pede katanya.”
“Nggak pede kenapa?”
“Sebentar lagi jadi istri tapi nggak bisa masak.”
“Masa sih nggak bisa masak?” Kak Reira mengerutkan kening.
“Nggak bisa,”
“Waktu di kelab apa namanya kamu buat hidangan pasta buat aku dan yang lain?”
“Masak,” kataku.
“Nah, itu bisa masak.” Kak Reira terbahak.
“Masalahnya adalah nggak bisa masak selain resep pasta. Belum coba dan belum tentu enak,”
“Harusnya sih nggak masalah.”
“Suami yang baik selalu suka apa pun masakan istrinya,”
“Betul Reira bilang,”
“Kalau tiba-tiba masakan gue hangus apa masih mau dimakan?”
“Kalau suami lo baik dan menghargai istri sih....” Kak Karisma menjagal lidahnya.
“Itu dia masalahnya,”
“Masalah mulu lo. Solusinya kapan?”
“Nanti kalau gue dimarahi gimana?”
“Saranku kamu jangan berpikir terlalu jauh dulu, Gi.”
“Iya sih Kak Rei. Harusnya aku nggak berpikiran aneh-aneh dulu. Nikah juga belum.”
“Tapi ada benarnya juga Giovani bilang, Rei.”
“Benarnya?”
“Kita ini belum tahu ‘kan karakter lebih lanjut dari pangeran atau Norlorn?”
“Kalau itu memang belum pasti. Gue yakin pangeran atau Norlorn bukan laki-laki yang seenaknya dengan perempuan.” Kak Reira berkata. Nada suaranya seperti meyakinkan aku dan Kak Karisma.
“Lo yakin?”
“Yakin,”
“Dari segi apa bisa yakin?”
“Ada banyak kemungkinan yang membuat gue yakin kalau salah satu atau dua-duanya termasuk sosok yang tepat buat Giovani.” reaksi Kak Reira kukuh.
“Kemungkinannya apa Rei?”
“Norlorn dan pangeran sama-sama satu istana dan keluarga kerajaan.”
“Trus?”
“Lo kebiasaan. Gue lagi ngomong dipotong!”
“Maaf… maaf. Lanjutin deh,”
“Sedari kecil pasti diajari cara menghargai wanita.”
”Kalau iya, kok dia melakukan ‘itu’ ke Giovani?” pertanyaan Kak Karisma seolah menyangsikan dari cara dia membentuk tanda kutip dengan jarinya.
“Maksud gue, soal hubungan seks atau nggak sebetulnya bukan dari ajaran menghargai wanitanya.”
“Gue nggak ngerti maksud lo, Rei.”
“Semuanya tergantung mereka bisa atau nggak jaga pandangan?”
“Kak Rei, aku agak kurang setuju soal jaga pandangan.”
“Kurang setuju dari aspek apa?”
“Kayaknya keluarga kerajaan nggak bisa deh sembarangan melakukan kalau memang mereka nggak tertarik. Bisa nggak dibilang begitu?”
“Bisa juga sih apa yang kamu bilang.”
“Soalnya Yang Mulia bilang begitu dan minta maaf ke aku.”
“Oh ya?”
“Iya waktu makan malam sebelum Kak Reira sama Kak Karisma datang.”
“Ya, aku ngerti.”
“Kak Rei, aku kagum deh sama Kakak.”
“Kagum?”
“Pengetahuannya banyak kalau soal ginian.”
“Reira gitu. Iya nggak?” Kak Karisma menyahut.
“Cuma pengetahuan umum,”
“Gur lapar.”
“Lo makan mulu, Kak!”
“Biarin,”
“Lo makan terus gemuk nggakl.”
“Apa bedanya sama lo, Dik?”
“Gue mah faktor stres.”
“Alasan.”
“Mau gemuk atau kurus yang penting sehat.” Kak Reira menimbrung.
“Sehat pikiran juga.”
“Apa sih yang lo pikirin, Dik?”
“Gitu deh,”
“Cerita lah sama gue, gue ‘kan Kakak lo,”
“Gue mau cerita apaan lagi? Semua sudah gue ceritain.”
“Bohong,”
“Sumpah, gue nggak bohong.”
“Ya kalau lo belum siap cerita nggak apa-apa. Cuma kalau ada apa-apa bilang gue ya, Dik.”
“Iya. Kalau ada apa-apa bilang. Jangan diam-diam apalagi rahasia-rahasiaan,”
“Pasti aku bilang kok.”
“Kenapa sih lo nggak mau cerita langsung ke gue soal Akshita?”
“Gue nggak mau ngerepotin lo waktu itu.”
“Harusnya lo cerita. Lo nggak sendiri. Masih ada gue, kakak lo.”
“Gue cuma takut kalau Akshita semakin parah,”
“Justru Akshita akan semakin parah kalau lo nggak cerita ke gue.”
“Maaf ya, Kak.”
“Lain kali kalau ada masalah bisa cerita ke gue Dik.”
“Ke aku juga bisa, Gi.” Kak Reira menimpali.
“Iya deh nanti. Sekarang lagi giat-giatnya nulis jurnal,”
“Jurnal apa?”
“Jurnal tarot,”
“Kayak apa tuh?”
“Iya setiap hari menulis kartu yang keambil dari deck.”
“Menulis tarot harian gitu ya, Gi?”
“Betul Kak Reira.” jawabku.
“Lo banyak berubah ternyata. Sejak kapan lo mulai nulis?”
“Belum lama, Kak.”
“Baguslah. Nanti juga perjalanan spiritual lo akan bertambah, Dik.”
“Aamiin,”
“Aku juga sama kayak kamu, menulis jurnal tarot.”
“Oh ya?”
“Iya. Bedanya aku bulanan. Maklum di kelab susah cari waktu menulis.”
“Aku harian buat menghilangkan rasa malas gerak.”
“Wah… wah….” Kak Karisma tersenyum.
“Kenapa Kak?”
“Lo berdua hebat. Masih sempat berurusan sama kartu tarot.”
“Supaya gue nggak makin stres, Kak.”
“Kalau gue biar lebih mendekatkan diri ke semesta secara spiritual,”
“Gue jadi mau ikutan nulis,”
“Tulis dong. Belum telat kok Kak.”
“Tapi kartu tarot gue cuma satu?”
“Bisa kalau buat menulis jurnal. Kecuali lo kayak gue, koleksi kartu.”