My Dear Norlorn!

Giovani Alvar
Chapter #30

29. Pertandingan Untuk Satu Hati

Hari pertandingan, bulan Februari waktu setempat

Telah tiba hari yang ditunggu oleh seluruh kerajaan dan semua penduduk negeri alam ini. Turnamen langka terjadi ribuan tahun sekali di mana ada dua sosok memperebutkan satu hati dengan mengadakan turnamen pedang. Pertandingan untuk satu hati.

Di alam ini ada yang rela memperjuangkan sosok beda dunia? Padahal mereka bisa dengan mudah mencari sosok yang lebih sesuai tipe masing-masing. Kenapa harus yang berbeda?

Lalu di duniaku? Sudah kubilang aku terlalu banyak ditolak laki-laki muda dengan alasan aku bukan tipe atau ada beberapa bagian tubuh kurang besar ukurannya. Seperti bokong misalnya. 

Andai bisa memilih aku juga ingin mempunyai tuhuh seksi menggoda setiap mata laki-laki memandang. Wajah secantik bidadari, tinggi ssmampai, bukan tubuh terlalu mini untuk umur hampir tiga puluh tahun.

Walau kurang percaya diri dengan ukuran tubuh kutilang dara (baca: kurus, tinggi, langsing, dada rata) bukan berarti tak bersyukur. Diri ini tetap menganggap Tuhan menciptakan setiap manusia ada gunanya. Yang sering aku alami adalahsaat menaiki kendaraan umum selain ojek daring, taksi daring, atau bus Transjakarta biaya lebih murah.

Kenapa bisa?

Kondektur kadang tak memperhatikanku sehingga bisa jadi gratis karena dianggap anak orang lain. Maaf, aku tak bermaksud curang. Keberuntungan tetiba menghampiri.

Banyak kejadian kualami karena ukuran tubuh yang mini. Senang dan sedihnya pernah aku rasakan. Contohnya, jika ada laki-laki menjalin hubungan denganku pasti dia merasa malu berjalan bersama karena dikira membawa anak di bawah umur atau seperti om-om dengan kelinci peliharaannya”. Padahal, dari segi usia lebih tua diriku dibanding laki-laki itu. 

Sejujurnya aku kurang setuju peraturan dengan bertarung, tapi tak ada pilihan lain. Aku menyayangi keduanya. Baik sang panglima muda kerajaan dan putra mahkota ternuda.

Kalian pasti berpikir aku serakah ‘kan?

 Aku bukan tipe perempuan penyuka poligami atau poliandri, suatu kondisi menikah dengan sosok lebih dari satu. 

Empat jam lagi turnamen pedang akan di mulai. Kulirik dari jendela kamar. Jam dinding kamar tamu menunjukkan pukul sembilan pagi. Kak Karisma dan Kak Reira tak bersamaku kali ini. Mereka sedang berjalan-jalan keluar istana entah ke mana.

Pemandangan pagi ini cerah. Banyak gerombolan Griffin terbang melintas horizon lazuardi. Tampaknya, para Griffin itu sedang melakukan imigrasi ke suatu tempat ke bagian lain dari alam ini. Bukankah setiap hewan ada masa-masa perpindahan dari satu daerah ke daerah lain?

Baiklah, mari lupakan para Griffin sejenak. Banyak yang tak percaya dengan alam samar karena belum bisa dijelaskan secara ilmiah. Tetapi aku percaya alam ini memang ada dan amat indah. Tak menyangka, diriku diizinkan Tuhan dan semesta mengunjungi suatu tempat belum tentu orang lain diizinkan masuk. 

Kian mata menonton, tambah terlihat mirakel alam ini. Makhluk-makhluk polisemis hampir memenuhi langit seolah-olah baru berangkat untuk aktivitas harian layaknya manusia berhimpitan pada gerbong kereta api hingga halte bus Transjakarta. Sungguh kehidupan cakrawala yang padat seperti kota besar. Bukan main! 

Pemandangan dirgantara silih berganti sampai ada suara ketukan dari arah luar pintu mengalihkan pandangan sejenak. Siapa yang mengetuk pintu jam segini? Apa mungkin Kak Karisma dan Kak Reira sudah pulang? Daripada menebak-nebak lebih baik buka langsung tanpa berlama-lama.

Suara boots marunku mengiringi langkah nyaring di lantai. Lantai kayu terdengar agak bising oleh hak sepatu. Siapa sosok di balik pintu? Kuturunkan kenop pintu untuk memastikan siapa di luar. Rupanya Adome dan Tavin yang mengetuk pintu. Apakah ada sesuatu yang penting?

“Selamat pagi, Nona.” ucap Adome menyoja, kemudian Tavin menyusul.

“Selamat pagi, Adome dan Tavin.”

“Maaf jika kedatangan kami mengganggu. Kami hanya menjalankan perintah dari pangeran.”

“Pangeran?”

“Benar, Nona.” sahut Adome.

“Pangeran siapa?” 

“Pangeran Tarathiel.” Tavin berujar.

“Apa perintah pangeran pada kalian?”

“Pangeran memerintah kami membawa Nona ke hadapannya.” timpal Adome. Dia meyakinkan bahwa perintah pangeran merupakan suatu hal harus disampaikan.

“Aku nggak akan diapa-apain ‘kan?”

“Tentu tidak. Pangeran berpesan pada kami agar mengurus rambut Nona Giovani.” Suara Tavin seperti menjamin bahwa tak perlu takut dengan pesan disampaikan.

“Aku nggak salah dengar?”

“Tidak.”

“Untuk apa?”

“Itu semua di luar kapasitas kami sebagai pelayan.” 

“Baiklah.” Diriku keluar kamar sembari menutup pintu.

“Mari kami antar,” 

Adome dan Tavin menggiring aku ke kamar pangeran. Istana terasa kosong. Pada ke mana seluruh penghuni istana? 

“Kenapa istana begitu sepi? Di mana yang lain?”

“Yang lain sudah menuju ke Xenomorph Coliseum.”

“Tempat apa itu?”

“Arena pertandingan terbesar di negeri ini. Xenomorph Coliseum ada di wilayah barat.” Tavin berperi cepat. 

“Biasanya digunakan untuk apa?”

“Segala macam kompetisi seperti turnamen pedang dan lainnya selalu diadakan di Xenomorph Coliseum,” timpal Adome.

“Keren!”

“Bagaimana rasanya diperebutkan oleh dua hati, Nona?” Tiba-tiba Tavin menyela. Pertanyaan dia mencerminkan penasaran tinggi pada peristiwa kualami.

“Tavin, kau tidak sopan pada Nona Giovani!” tegur Adome.

“Rasanya diperebutkan dua hati ya?”

“Iya, Nona. Maaf jika saya lancang.”

“Rasanya kayak tokoh protagonis dalam tonil.”

“Maksud Nona?”

“Di tempat tinggalku cerita-cerita tonil pasti berjenis picisan. Antara perebutan harta, perebutan dua hati, atau kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin.”

Penjelasan cukup panjang mungkin sudah menjawab penasaran Tavin padaku. Perebutan dua hati? Mustahil kedengarannya. Di sini, aku malah menghadapi. Jangankan dua hati, satu hati saja terkadang pergi di tengah jalan bagaimana dengan dua hati?

“Untung saja di negeri ini tidak seperti negeri Nona.” Tavin nyengir, lalu dia menyambung kalimatnya, “Jika iya, tamatlah saya seumur hidup tidak mempunyai kekasih karena diri ini cuma pelayan.” Tangan dia mengelus dada. Keringatnya menetes seperti ketakutan mengalami kisah cerita picisan.

“Tenang Tavin, semua sudah diatur Tuhan. Tetap semangat, ya.” 

“Terima kasih untuk semangatnya, Nona.”

“Kau ini Tavin, selalu saja mengurusi asmara.”

“Memangnya kenapa?!” 

“Hidup ini bukan hanya cinta saja, ‘kan?”

“Bukan urusanmu, Adome!”

“Jangan bertengkar!” 

“Maafkan kami,” Adome dan Tavin menundukkan kepala.

“Kalimat Adome ada benarnya. Memikirkan asmara boleh namun jangan sampai menyiksa dirimu, Tavin.”

“Tuh dengar ‘kan, Tavin!”

“Apa sih kau ini?” 

“Jika cinta menyiksa itu bukanlah cinta.”

“Bukan cinta?”

“Iya. Hanya sekadar pikiran dan obsesi, Tavin.” Aku berangguk.

“Terima kasih Nona Giovani atas sarannya.” Tavin tersenyum. Cakap dia kelihatan lebih lunak dibanding sebelumnya.

 “Kita sudah sampai di kamar pangeran, Nona.” Adome menanggapi sebentar. Lengan dia menunjuk kamar yang tertutup. Aksen viktoria dan rococo begitu lekat pada rancangan anaglif di pintu.

Adome mengetuk pintu memberi isyarat bahwa kami sudah sampai di kamar putra mahkota ketiga di kerajaan. Selintas, pintu kamar terbuka. Aku terpukau memandang penampilan pangeran hari ini. Berbeda 180 derajat saat pertama bertemu. Dia amat fashionable, tak berpakaian fantasi lagi.

“Tidak usah berlama-lama lagi. Adome, kau panggil Glonia, Ren, dan Rei.” Pangeran Tarathiel memerintah.

“Baik, pangeran.”

“Kau Tavin... panggil Yura, Juno, dan Syo Ri.”

“Baik pangeran, hamba akan memanggil mereka.” Tavin menunduk hormat bersama Adome kemudian bergegas pergi memanggil pelayan yang dimaksud.

Sebenarnya mau apa pangeran? Mengapa dia memanggil banyak pelayan?

“Tidak perlu curiga begitu, Nona.” kata dia mesem.

Aku kelu karena perkataan pangeran. Bagaimana dia bisa tahu pikiranku? Aku lupa di sini tak dapat menyembunyikan apa saja termasuk rasa.

“Aku tahu pikiranmu. Kita ini calon saudara. Mengapa kau masih kaku padaku?”

“Bukan begitu pangeran.”

“Lalu?”

“Karena dipanggil ke sini tiba-tiba.” 

“Tenang, aku tidak akan menyakitimu. Justru aku ingin membantu,”

“Membantu apa?”

“Penampilanmu.”

“Ada apa dengan penampilanku?”

“Rambutmu lebih cocok ditata daripada digerai saja.”

“Masalah ini selalu kualami,” Aku menganggut.

“Oleh karena itu aku memanggilmu.” jawab pangeran.

“Oh, aku kira….”

“Memang kau pikir aku akan melakukan hal sama seperti Norlorn atau Taeglyn?”

Dia menyindir. Tapi memang benar sih, Norlorn dan pangeran bungsu itu melakukan hal terlampau jauh denganku.

“Maaf pangeran, aku tidak bermaksud….”

“Sudah kumaafkan. Lebih baik, kau cepat masuk selagi ada waktu sebelum turnamen mulai di Xenomorph Coliseum,”

“Baik pangeran.”

Aku mengikuti pangeran masuk ke dalam seraya duduk di sebuah kursi dengan meja dan cemin yang ditunjuk oleh pangeran. Apa pangeran sungguh-sungguh mau mengurus rambutku? 

“Rambutmu cantik tapi kau tidak pandai merawatnya!” seru dia memegang ujung rambutku.

“Aku nggak sanggup, pangeran.”

“Apa sebabnya?”

“Susah diatur dan seperti rambut singa.”

“Siapa bilang?”

“Aku.”

“Tidak juga. Rambutmu cantik dan cukup bagus. Hanya salah penanganan.”

“Maksud Anda?”

“Seharusnya, rambut ikalmu ini dapat terlihat lebih indah lagi.” 

“Memangnya bisa?” Dahiku berkerut.

“Tentu saja bisa. Kau ingin rambut cantik ‘kan?”

“Itu pasti, pangeran.”

“Rambut ikal itu anugerah. Jangan kau sia-siakan.”

“Susah diatur dan megar, pangeran.”

“Itu tidak akan terjadi. Mau kuberitahu rahasia?”

“Rahasia apa?”

“Rambutku sama sepertimu. Kau lihat ini?” tanya pangeran. Dia melepas ikat rambut miliknya dan membiarkan rambut ikal blonda es tergerai. 

Bagus sekali rambutnya! Kelihatan lemas meski ikal. Padahal panjangnya sedada.

“Kau ingin?”

“Banget!”

“Akan kuberi tahu salah satu rahasia rambut ikal impianmu.”

Lihat selengkapnya