Tak ada satu pemain yang mengalah. Saling membalas serangan. Suara pedang beradu terdengar keras. Posisi Norlorn dan putra mahkota bungsu sama-sama kuat. Kekuatan mereka seimbang. Wasit dan juri tampaknya ikut bingung dengan Norlorn atau pangeran.
Dari jarak beberapa meter terlihat ekspresi juri memandang satu sama lain. Mungkin, mereka masih putus akal menentukan siapa pemenangnya.
“Norlorn dan Taeglyn hebat juga.” sahut pangeran kerajaan barat. Keluarga kerajaan lain tampak berbisik-bisik dari belakang.
“Keduanya sama-sama keras kepala.” Pangeran Tarathiel menyetujui.
“Apa hasilnya?”
“Semuanya tergantung juri.”
“Bukan Yang Mulia?”
“Bukan.” Pangeran Tarathiel menggeleng.
Jika tak ada pemenang berarti seri. Apa ini pertanda aku tak mendapatkan salah satu atau malah keduanya?
“Pasti akan ada pemenangnya. Kau tidak perlu risau, Nona kecil.”
“Mereka terlalu kuat.” Aku mengomong.
“Itulah.” Angguk pangeran.
“Mungkin akan ada babak penentuan.”
“Bisa iya bisa tidak.” Pangeran Tarathiel mengangkat bahu.
Aku belum yakin apakah akan ada ronde penentuan atau tidak. Melihat keadaan seperti ini, kemungkinan besar ada babak penentuan. Peluit terdengar dari tengah lapangan. Wasit mengumumkan akan ada babak kedua. Babak yang berfungsi sebagai penentuan akhir.
Peluit kembali berbunyi, isyarat babak kedua di mulai. Norlorn dan pangeran kembali mengambil posisi. Wasit mengangkat kain kuning dan meninggalkan arena. Sama dengan babak awal, keduanya begitu kuat.
Pertarungan semakin sengit dan seru. Sorak penonton semakin memekakkan telinga dan menggema. Sebelah kanan mendukung sang panglima muda, sebelah kiri mendukung pangeran. Baik Norlorn atau pangeran, keduanya sama-sama hebat. Kuakui itu. Kemampuan pedang mereka tak bisa diremehkan begitu saja.
Belum ada satu jam pertarungan sengit itu terhenti. Semua mata di koleseum memandang serius. Pedang milik Norlorn terjatuh. Mataku ikut membeliak. Bagaimana bisa? Mereka sama-sama hebat. Mengapa pedang Norlorn terjatuh?
Dari arena pertandingan pangeran mendongkan pedangnya pada leher si panglima muda. Sangat jelas senyumnya. Senyum kepuasan.
“Ini tidak bisa dibiarkan!” Pangeran Tarathiel beranjak menuju arena.
“Tunggu!” Yang Mulia berseru.
“Kenapa Ayah? Bagaimana jika Taeglyn berbuat suatu hal mengancam keselamatan Norlorn?”
“Percaya padaku. Adikmu tidak akan melakukan hal yang tidak baik.”
“Tapi Yah?” Pangeran Taredd, sang putra tertua menyela.
“Percaya padanya.” kata Yang Mulia tegas.
“Baik Ayah. Semoga Taeglyn tidak meminta sesuatu yang membahayakan keselamatan Norlorn.” Pangeran Taredd kembali diam.
“Semoga saja, Taeglyn dapat berpikir waras.” Pangeran Ruvyn berujar.
“Bagaimana jadinya?” tanyaku gugup.
“Satu-satunya cara untuk mengetahui jawaban pertanyaanmu hanya pada saat pernikahan.” jawaban pangeran nomer tiga membuat bulu roma berdiri. Bukan apokaliptis, gamam dengan jawaban saat pertalian keluarga baru.
“Astaga…”
Pendukung sang putra mahkota bungsu bersorak. Semua memadati arena pertandingan. Gegap gempita bertala-tala memeriahkan keberhasilan pangeran. Satu persatu pendukung memberikan ucapan selamat untuk kemenangan turnamen. Pangeran bungsu merah muka. Dari raut wajah, dia tampak sukacita.
Hal itu bertumbukan dengan pendukung panglima muda. Mereka menundukkan kepala seakan berduka pada kekalahan. Tak ada selamat ataupun sorak dari kursi penonton. Hanya ada sang Ayah dan Kak Nueleth menggiring Norlorn keluar dari arena pertandingan.
Haruskah aku ikut memberi ucapan selamat pada pemenang?
Norlorn sudah pergi meninggalkan arena. Aku harus menyusulnya. Di mana dan ke mana harus kucari? Xenomorph Coliseum begitu luas. Tak mudah mencari Norlorn dari lorong-lorong panjang di dalam.
Aku harus meminta bantuan siapa untuk mencari Norlorn? Kebanyakan penonton memenuhi arena pertandingan tak terkecuali Kak Karisma dan Kak Reira. Kursi keluarga kerajaan sudah sepi. Ada satu sosok lain yang masih duduk di salah satu kursi penonton. Sosok itu bertelinga runcing, berambut merah jingga bergaya acak bagian belakang. Memakai t-shirt, jeans berwarna navy, dan sepatu sedang memainkan gawainya. Bentuk gawai laki-laki itu mirip kepunyaan Adome namun terlihat lebih tipis dan mahal.
Itu bukannya Erlan teman Norlorn? Kenapa dia tak turun ke arena? Haruskah aku minta bantuannya? Pikirku.
Urusan dibantu atau tidak belakangan saja. Yang penting usaha dulu. Aku hanya ingin mencari Norlorn bukan meminta aneh-aneh. Siapa tahu Erlan memang dapat membantu. Aku menaiki tangga menuju tempat Erlan duduk. Melangkah stabil hingga berdiri tepat di sisi dia.
“Permisi,”
Sosok itu menoleh. Dia berujar, “Jika kau ingin mencari Norlorn turunlah ke arena dan masuk pintu pada saat Norlorn memasuki arena pertandingan.”
“Terima kasih.”
Erlan kembali menatap gawainya. Dia tidak membalas ucapan. Jari-jari tangannya menyentuh papan ketik gawai sangat cepat. Kelihatannya, dia sedang mengobrol daring dengan sosok lain entah siapa. Erlan sudah memberi tahu di mana Norlorn. Aku merasa Norlorn belum pulang ke istana. Pasti masih di dalam.
Aku menuruni tangga sampai ke arena tapi sang putra mahkota bungsu memanggil agar segera bergabung ke tengah arena. Oh tidak! Diriku tak punya waktu untuk bergabung dengan pemenang saat ini. Aku segera berlari ke bagian tengah memasuki pintu kiri.
Pintu masih terbuka dengan keadaan cukup gelap meski ada sinar matahari masuk dari jendela-jendela lorong bagian dalam koloseum. Suara boots berdebum di lantai koloseum mencari di mana Norlorn berada.
Aku berjalan menyusuri lorong-lorong memperhatikan pintu-pintu tertutup. Di mana Norlorn? Apakah dia sudah pulang? Semoga belum. Di dalam sini sepi dan terlalu gelap untuk ukuran siang hari.
Langkahku semakin keras beradu dengan lantai kayu. Sudah cukup lama menelusuri koridor koloseum tak ada tanda Norlorn masih di sini. Jangan-jangan, dia dan keluarganya sudah pulang. Jika iya, mau tidak mau aku harus kembali ke tengah arena dan bergabung. Baru ingin membalikkan badan, ada keributan di salah satu ruangan. Pintunya sedikit terbuka.
Aku mengendap-endap ke ruangan untuk melihat siapa yang ribut. Suara-suara kukenal terdengar dari dalam. Memakai bahasa asing tak aku tahu. Sepertinya masalah serius. Apakah memang berhubungan dengan pertandingan?
Aku mengintip dari samping. Benar dugaanku, ada Kak Nueleth dan ayah mereka berusaha melerai pertengkaran antara kedua anaknya. Apa yang sebenarnya mereka bicarakan?
Tiba-tiba suara Norlorn mengeras, “Tidak! Giovani bukan sosok seperti itu!”
“Jika bukan mana buktinya? Apakah dia menemuimu hari ini? Tidak ‘kan!”
“Nueleth, jangan tekan Norlorn terus!” Tuan Nyvorlas memotong.
“Lalu bagaimana?”
“Percaya padaku, anak manusia keturunan matahari itu bukan seperti pikiranmu.” Tuan Nyvorlas mengusap bahu Kak Nueleth.
“Jaminannya?”
“Ayah berani jamin.”
“Baiklah, aku mempercayai Ayah. Tapi jika iya, aku tidak akan memaafkan anak manusia itu dan Taeglyn sialan!” seru Kak Nueleth berapi-api.
“Sudahlah Nueleth, biarkan Norlorn sendiri dulu. Lebih baik kita pulang sekarang.”
“Aku turuti permintaan Ayah.” Suara Kak Nueleth terdengar tidak senang dengan keadaan.
“Nanti akan Ayah jemput lagi setelah Norlorn tenang.” ucapnya.
Aku panik. Segera bersembunyi di balik pintu. Semoga tidak ketahuan. Aku bergumam.
Braakk…!!
Pintu kayu mengenai kening dengan keras. Membuat kepala sakit. Sebentar lagi jidatku akan benjol karena hantaman keras Kak Nueleth membuka pintu. Seharusnya aku tak bersembunyi dari balik pintu kalau tak ingin terkena pukulan maut.
Mataku berkunang-kunang. Aku seperti melihat Kak Nueleth dan ayahnya kembar identik berjalan keluar dari lorong. Kemudian, tak terlihat apa pun lagi.
***
“Gigi, bangun.”
Suara itu terdengar sayup. Suara kukenal, suara pengubah hidupku beberapa waktu lalu. Memanggil namaku berulang-ulang. Aku berusaha membuka mata melihat sosok yang ingin kutemui. Susah payah membuka dalam keadaan masih agak pening akibat benturan.
“Gigi,” Norlorn bergumam pelan. Manik mata seterang biru langit tersebut menatap sedih.
“Kepalaku sakit.”
“Maafkan Kak Nueleth, Gigi.” ucap Norlorn memijat dahiku di pangkuannya.
“Nggak apa-apa. Kak Nueleth nggak sengaja.” Aku berusaha tersenyum. Rasa sakit terkena pintu sudah berkurang dibanding sebelumnya.
“Aku sudah merasakan kehadiranmu dari tadi, Gigi.”
“Terima kasih.”
“Aku tahu semua dari Erlan.” Norlorn berkata. Tangan dia masih memijat bagian yang sakit.
“Oh ya?”
“Dia mengabariku sesaat setelah Kak Nueleth dan Ayah pulang.” Norlorn mengeluarkan gawainya dan menujukkan obrolan dia dengan Erlan. Norlorn punya gawai? Sepertinya gawai itu memang gawai pintar layaknya di duniaku.
Bentuk gawai Norlorn mirip produk buatan perusahaan Steve Jobs keluaran paling baru. Tidak ada tombol. Hanya layar dan ukurannya begitu tipis. Aku khawatir, jika tertekuk apakah akan bengkok?
“Kenapa Gigi? Kau kaget aku punya gawai seperti dirimu?”
“Nggak terlalu. Pangeran Tarathiel sudah menjelaskan sebelum aku berangkat.”
“Aku juga sudah bilang padamu kalau sihir hanya digunakan untuk keadaan terdesak.”
“Aku sudah mendengar itu berkali-kali.” sahutku bangun dari pangkuan Norlorn.
“Sudah lebih baik?”
“Lumayan.”
“Terima kasih untuk semua.”
“Terima kasih?”
“Hari ini aku kalah tanding.” Manik mata turkuois dia mengembang. Dia menahan tangis.
Aku harus melakukan apa? Aku belum pernah menangani laki-laki menangis.
“Noey, boleh aku ngomong sebentar?”
Norlorn mengangguk. Hidungnya mulai berwarna berma. Mudah-mudahan, setelah aku bicara dia jadi lebih tenang.
“Secara simbolik kamu memang kalah pertandingan. Aku merasa kamulah pemenang sesungguhnya.”
“Dari mana?”
“Kamu ingat tentang benang merah?”
“Aku ingat. Apakah benang itu tetap berlaku untuk aku yang sudah kalah?” Mata dia basah.
“Kamu sendiri pernah bilang setiap makhluk ciptaan Tuhan mempunyai benang merah yang sangat panjang untuk menemukan pasangannya.”
“Ya, memang.”
“Jika aku ditakdirkan bersamamu, benang merah itu akan tetap terhubung seberapa pun jauh jaraknya dan ada yang berusaha memutusnya.” Aku berceloteh tanpa jeda.
“Kenyataannya lain.”
“Aku percaya,”
“Sebenarnya, aku sulit untuk percaya saat ini.”
“Ke mana Norlorn yang aku kenal?”
“Maaf…”
“Pasrahkan pada Tuhan dan Semesta, Noey.”
“Aku percaya pada kehendak Tuhan.”
“Aku juga ragu. Apakah aku juga siap menikah dengan pangeran?”
“Hanya dirimu yang mengerti.” Norlorn mengangkat bahu.
“Bagaimana dengan anak tidak bersalah di sini?” tunjukku di perut.
Norlorn tersenyum lebar. Dia terkikik. “Kamu panik sekali, ya?”
“Hah?”
“Aku tahu dia bohong.” jawab Norlorn.
“Bohong? Apa-apaan?!”
“Dia terlalu menyukaimu dan mencoba membuat kau panik, Gigi.”
“Yang benar?”
“Aku serius. Aku juga sudah memberi tahu, dia menggunakan kekuasaan untuk egonya.”
Ya ampun! Jadi sebenarnya begitu. Pintar juga akting putra mahkota bungsu. Sampai aku benar-benar percaya ada calon bayi di tubuh ini. Dia lebih pantas menjadi pemain sinetron daripada penerus tahta.
“Aku benar-benar percaya sampai….”
“Ssst....”
Norlorn menekan telunjuknya ke bibirku. Kerling mata dia memberi tahu bahwa dirinya sudah lebih tenang. Seandainya aku tak panik pasti pertandingan tak akan terjadi. Ditonton seluruh penduduk negeri hanya untuk menyaksikan turnamen diklaim langka.
“Apakah aku harus memenuhi janji dan menaati peraturan menikah dengan pangeran?”
“Sepertinya begitu.” Norlorn mangangguk.
“Aku memang percaya awalnya. Setelah kamu bilang begitu jadi ragu.”
“Terkadang kenyataan memang pahit, Gigi.”
“Sekarang aku yang pusing.”
“Kau akan mengetahui jawaban pertanyaanmu nanti.”
“Dari acara pernikahan?”
“Ya.”
“Bagaimana dong?”
“Itu sudah peraturan, Gigi.”
“Aku akan tunggu kalau memang harus menunggu sampai acara tiba.” Aku menarik napas sesaat, lantas meninggalkan ruangan.
“Mau ke mana, Gigi?”
“Mau pulang ke istana.”
“Kau tidak berjalan kaki ke istana, ‘kan?”
Norlorn bilang benar. Aku tak berpikiran persoalan itu. Belum tahu aku pulang ke istana bersama siapa. Memang sih tadi berangkat bersama pangeran. Bagaimana dengan pulang? Siapa yang mengantar?
“Nggak sih.”
“Bagaimana kalau pulang bersama?” Norlorn menawarkan.
“Bukannya ayah kamu mau menjemput lagi?”
“Itu soal mudah. Aku akan mengirim pesan daring pada Ayah.” Norlorn segera membuka gawai miliknya yang terkunci. Gawai Norlorn memakai sensor mata. Sedangkan di duniaku paling populer memakai fitur wajah.
“Noey, apa sensor mata itu aman?”
“Pasti. Walaupun mata berwarna sama tetapi tetap berbeda.”
“Contohnya?”
“Setiap mata berfungsi sebagai identitas.”
“Kira-kira apa yang membedakan? Di duniaku paling populer cuma fitur wajah.”
“Pupil mata kita seperti sidik jari. Khas dan tidak memiliki corak yang sama.” Norlorn menunjukkan.
“Aku baru tahu ada teknologi begitu.”
“Di sini sensor mata sudah lama. Barangkali di duniamu ada tapi belum populer.”
“Sepertinya begitu.” Aku mengangguk.
“Sensor mata juga berguna untuk masuk secara cepat pada akun media sosial.” Norlorn melanjutkan penjelasan.
“Canggih.”
“Cuma teknologi biasa yang memudahkan penduduk negeri ini.” Norlorn mengedip jenaka.
“Iya ya.”
“Aku sudah mengirim pesan ke Ayah agar tidak usah menjemputku.”
“Kapan?”