My Destiny is You

Almayna
Chapter #13

Tetangga Sebelah

“Siapa, Wan?” tanya seseorang dari dalam. Aleena sedikit melongoskan kepala ketika mendengar derap langkah yang mungkin berjalan ke arah mereka.

“Ada Aleyna, Kak,” balas Ridwan yang masih berdiri di depan Aleena dengan jarak yang sedikit jauh. Sedangkan si  pemilik nama langsung mengernyitkan dahi ketika mendengar namanya disebut.

“Aleena, tanpa ada huruf y-nya.” Gadis itu meralat ucapan Ridwan yang salah mengeja namanya barusan.

Perkataannya itu sukses membuat Ridwan tertawa kikuk. Merasa salah ucap, laki-laki bersarung hitam itu lantas meminta maaf. “Afwan, Na.”

“Enggak apa-apa, santai aja,” balasnya mengulum senyum.

“Eh, Aleena. Kok bisa di sini?” Zulfa yang baru datang sedikit terkejut melihat gadis yang berdiri di depan pintu. Aleena pun sama, ia juga sedikit kaget melihat wajah Zulfa tanpa cadar, padahal ini bukan yang pertama kali. Dalam penglihatannya, kali ini wanita itu terlihat sangat cantik dengan balutan mukena putih yang masih menempel di tubuhnya.

“Assalamu'alaikum, Kak Zulfa. Aku cuma mau nganterin ini, dari Mama.” Aleena menyerahkan rantang makanan yang ia bawa.

Zulfa menerimanya dengan tersenyum.

“Masya Allah, terima kasih banyak, ya.”

“Sama-sama,” tutur Aleena membalas senyum. Kalau gadis itu tahu, senyumnya sudah membuat hati seseorang bergetar, mungkin Aleena tidak akan mengeluarkan senyum semanis itu. “Kalau begitu, aku pamit pulang, ya. Udah malem, nanti dicariin Mama.”

“Masuk dulu, Na. Ngobrol dulu di dalem,” tawar Zulfa hendak mengajak masuk, namun ditolak Aleena.

“Besok-besok aja, Kak, Insya Allah. Lagian rumah kita tetanggaan kok.” Aleena menunjuk jarak rumahnya dengan rumah Zulfa. Tanpa menunggu lama lagi, gadis itu pamit setelah menitip salam pada Omanya Ridwan.

Karena belum menyelesaikan tadarusnya, Zulfa memilih untuk masuk terlebih dahulu. Sedangkan laki-laki yang memakai kemeja putih itu masih memfokuskan pandangannya ke seberang jalan, memastikan gadis yang sempat membuat hatinya bergetar itu selamat sampai rumahnya. Begitu bayangan Aleena menghilang di balik gerbang rumahnya, barulah Ridwan masuk.

Di dalam rumah yang berukuran setengah lebih kecil dari rumah aslinya, seorang wanita setengah abad tengah duduk di kursi roda dengan seorang wanita muda di sampingnya. Dia adalah Zulfa yang sedang menyuapi sang oma dengan bubur ayam yang baru saja ia buat. Ridwan yang baru masuk langsung naik ke kamarnya untuk mengganti sarung dan baju dengan pakaian sehari-hari. Setelah itu, ia memilih untuk bergabung dengan mereka di ruang tamu.

“Bagaimana keadaan Abah sama Umi di sana, Wan?” tanya Laila—neneknya.

Ridwan yang  baru datang dengan segelas the hangat di tangannya memilih duduk di samping kakaknya. Setelah meletakkan minuman di tangannya, barulah ia menjawab pertanyaan neneknya tadi.

“Alhamdulillah, semuanya baik, Ma. In Sya Allah, nuzulul Qur’an nanti mereka ke sini.”

Laila yang mendengar kabar putri dan menantunya sontak mengangguk pelan. “Lebaran balik lagi ke Brunei?”

“Kurang tahu, Ma. Abah bilang mau nemenin Oma berobat dulu, sampai sembuh. Umi malah nyaranin, Oma ikut kami pulang setelah Kak Zulfa wisuda.” Pemuda itu menjawab dengan pandangan penuh harap. Ia berharap omanya itu mau ikut mereka pulang ke Brunei agar bisa dirawat lebih baik di sana.

“Berarti kamu cuma sebentar di sini, Wan?”

Ridwan tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Awalnya, ia berniat ke Jakarta hanya beberapa minggu, atau mungkin balik setelah lebaran. Namun, hatinya menginginkan agar ia lebih lama di sini. Apakah karena gadis yang ia temui beberapa hari terakhir? Entahlah. Ia pun tidak paham.

“Wan? Oma nanya,” tegur Zulfa ketika laki-laki di sampingnya hanya diam.

“Nanti Ridwan pikirkan lagi, Ma.” Akhirnya ia bersuara setelah lumayan lama melamun. 

Lihat selengkapnya