"Sejak kapan kamu ada di sini, Na?" tanya Khaled memastikan bahwa perempuan di depannya baik-baik saja setelah terkunci dari luar.
Aleena masih mengatur kalimat yang akan ia katakan. Jangan tanya kenapa? Karena jawabannya sudah jelas. Dirinya akan sedikit grogi kalau berada di dekat laki-laki itu.
"Na, kamu baik-baik saja, kan?" Khaled kembali bersuara ketika perempuan itu hanya diam dari tadi.
"Sebenarnya, aku sudah setengah jam terkunci di sini. Selepas sholat, niatnya mau ambil wudhu, tapi pas mau keluar, pintunya nggak bisa," cerita Aleena."
"Kenapa nggak telepon seseorang yang bisa dimintai tolong?"
"Handphone aku mati. Jadi, ya, begitu." Aleena mengalihkan pandangan agar tidak bertatapan langsung dengan Khaled. Bisa-bisa, ia akan seperti Syena waktu diselamatkan Ridwan.
"Terus sekarang, kamu pulangnya bagaimana? Kamu sudah memberi tahu keluargamu?"
Aleena menggeleng cepat. Bagaimana sempat ia menelpon namanya? Sedangkan handphonenya sendiri mati sebelum dinyalakan. Selain itu, ia tidak mau membuat keluarganya khawatir kalau mengatakan dirinya terkunci di kamar mandi. Meskipun ia tahu, pasti mamanya itu sedang mencari keberadaannya.
Melihat gadis itu hanya diam membuat Khaled khawatir. Ia pun menyuruh Badrun untuk mengambilkan sesuatu di kamarnya. Pemuda yang seusia Aleena itu langsung bergerak. Ia kembali setelah lima menit kemudian.
"Ayo, Na. Saya antar kamu pulang."
Merasa tidak enak, Aleena langsung menolak. "Eh, tidak usah Mas. Saya bisa pulang sendiri."
"Naik apa?"
"Naik--" Aleena juga bingung harus pulang naik apa, sedangkan ia sendiri tidak membawa kendaraan ke kampus. Ditambah handphonenya mati, jadi ia tidak bisa menghubungi siapapun. Mencari tukang ojek pun pasti tidak ada karena sudah hampir larut. Alhasil, kalimatnya tidak jadi diteruskan.
"Tidak tahu, kan?"
Aleena mengangguk.
"Ya sudah, kalau begitu, biar saya antar pulang. Sekalian saya mau ke toko." Khaled masih memberi tawaran.
"Tapi, aku nggak mau ngerepotin," gumam Aleena yang berhasil didengar oleh laki-laki itu.
Spontan, Khaled tersenyum mendengarnya. "Saya tidak merasa direpotkan, Aleena. Daripada kamu nunggu sampai besok. Kasihan orang tua kamu pasti sedang khawatir sekarang."
Aleena bergeming, memikirkan apa yang baru saja dikatakan laki-laki itu. Secara tidak langsung, ia juga membenarkan semua yang diucapkan Khaled tadi.
"Terima kasih, Mas," ucapnya sebagai tanda persetujuan.
"Sama-sama," balasnya tulus. Ia pun beralih melihat pemuda yang masih setia berdiri di sampingnya, layaknya seorang prajurit menunggu perintah dari komandannya.
"Run, saya keluar dulu, ya. Nanti gerbang masjidnya dikunci saja."
Pemuda yang dipanggil Badrun itu mengangguk cepat. "Hati-hati, Mas Khaled."
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam warahmatullah."
Aleena lantas mengikuti langkah Khaled setelah ikut pamit pada Badrun. Langkah keduanya terhenti di depan parkiran masjid.