Pandangan matanya terlihat kosong, menatap lalu lalang manusia yang lewat di depannya. Sapaan demi sapaan pun tak ia hiraukan. Telinganya seakan tertutup dari hiruk pikuk mahasiswa yang berada di sekelilingnya.
Semilir angin mencoba menenangkan lewat belaian sejuknya yang merambat masuk lewat celah jendela. Setelah memutuskan pergi dari tempat sebelumnya, kini ia memilih tangga kampus demi menjernihkan pikiran. Tidak heran jika sejak tadi, ada banyak orang yang memanggil namanya, tapi tak satupun yang ia respon. Yang ada di pikirannya saat ini hanya satu. Bagaimana caranya memberi tahu Aleena agar berhenti mengangumi laki-laki yang bernama Khaled itu?
"Kenapa jadi seperti ini?" lirihnya kembali memegang kepala dengan kedua tangan.
Beruntung, kelasnya akan dimulai dua jam lagi. Jadinya, ia tidak merasa bersalah karena melamun terlalu lama, apalagi di tempat yang menjadi jalan mahasiswa ke kelasnya.
"Astaga, jadi dari tadi lo di sini? Capek nih kaki keliling fakultas nyariin lo, Junoo!" omel seseorang yang berjalan ke arahnya.
Laki-laki itu menegakkan kepalanya. "Aleena," panggilnya.
"Lo ngapain galau-galau di tangga kelas? Emang nggak ada tempat yang lebih estetik dikit, gitu?"
Melihat wajah gadis itu, membuat memori Arjun kembali pada ucapan Ridwan tadi. Demi menjaga perasaan sahabatnya, Arjun berusaha sekuat tenaga agar bersikap baik-baik saja. Sebisa mungkin ia hilangkan memori itu dari pikirannya. Kalau tidak, bisa-bisa pikirannya terbaca hanya lewat tatapan mata.
"Ngapain nyariin?" terkanya.
"Gue mau minta maaf."
"Perasaan hari ini lo nggak buat salah sama gue. Terus kenapa minta maaf?"
Aleena tidak menjawab. Ia malah mengambil tempat sedikit jauh dari laki-laki itu. "Soal kemarin."
"Oh, itu. Enggak usah minta maaf kali. Gue juga udah lupain kejadian itu," balas Arjun santai.
"Ya tetep aja. Gara-gara gue, kalian jadi khawatir. Padahal---"
"Na, khawatir itu hal yang wajar. Siapa sih yang nggak khawatir pas tau temennya belum pulang sampai larut malam? Pake nggak ada kabar lagi." Kini Arjun bersuara dengan nada menggerutu. Aleena hanya senyum-senyum sendiri mendengarnya.
"Jadi, lo khawatir sama gue?"
"Iyalah. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa."
"Makasih, udah peduli sama gue."
Arjun tidak merespon perkataan Aleena tadi. Ia memilih untuk mengambil sesuatu dari tasnya, dan langsung memberikannya pada gadis di sampingnya.
Aleena mengamati benda yang diberikan Arjun dengan alis terangkat. Sebuah power bank mini dengan warna yang ia sukai. "Ngapain kasih ini ke gue?"
"Biar hape lo nggak mati."
"Ya Allah. Gue juga punya kali, Jun."
"Tapi lo nggak bawa, kan, sekarang?" Aleena mengangguk dengan polosnya. "Ya udah. Pake itu. Awas aja kalau handphone lo nggak aktif pas gue telpon," ancam Arjun layaknya seorang kakak yang sedang memberikan peringatan pada adeknya.
Mendengar itu, Aleena tidak bisa membantah. "Iya, iya. Anaknya Om Regal yang paling baik dan tampan se-Jakarta. Syukron katsiron. Jazakallahu khairan."
Perkataan terakhir Aleena sukses membuat Arjun tersentak. Ia sedikit terkejut mendengar Aleena mengucapkan doa itu.
"Wih, udah bisa bahasa Arab ternyata," pujinya.
"Adit yang ngajarin. Hehe," timpal Aleena cengengesan.