"Ya Wadud, Engkaulah yang berhak atas hidup hamba. Hanya Engkau yang bisa mengendalikan rasa. Maka, bantu hamba mengendalikan hati agar tidak melampaui dari apa yang sudah Kau batasi. Jagalah gumpalan daging ini agar tidak menemui kecewa lagi. Aamiin ya rabbal'alamiin."
Sujud terakhir di seperti malamnya, ia tutup dengan doa tanpa menyebut nama. Padahal sebelumnya, ia tidak akan menyelesaikan doa sebelum melangitkan satu nama itu. Tapi entah kenapa, setelah dipikir lagi, ia merasa hal itu tidak perlu.
Sekarang, keinginannya sudah sedikit diperbaiki menjadi lebih sederhana. Bukan lagi mendeskripsikan kriteria panjang lebar, cukup dengan kalimat "Aku ikut yang terbaik menurut-Mu saja ya Allah."
Bahkan, kalimat itu kini sudah menjadi prinsip baru dalam kamusnya. Apalagi, semakin ia menggali lebih jauh tentang sosok yang dikaguminya, semakin jauh harapan terlihat. Semakin menjulang benteng yang hendak ia pegangi.
Maka benarlah sebuah kata-kata yang sempat ia baca, bahwa langit hanya bisa dipandang keindahannya, tanpa bisa digapai. Itulah yang saat ini tengah merasuki pikirannya. Memang, ia tidak memilih untuk menyerah, tapi lebih pada menghindar dari kecewa yang paling dalam. Karena berharap kepada manusia, sudah menjadi kecewa paling besar.
"Kakak." Panggilan indah itu berhasil menghilangkan semua pikiran yang seharusnya tidak perlu dipikirkan.
Mengerti makna panggilan itu, ia langsung berdiri dan melepas mukena. Setelah memakai jilbab instan kesukaannya, ia dengan gerakan cepat membuka pintu.
"Masya Allah, Kak Aleena udah selesai sholat aja," puji Adit tersenyum begitu manis.
"Kok kamu tahu?" heran Aleena, padahal adiknya itu baru datang.
"Kelihatan dari wajah Kakak yang bersinar karena air wudhu dan bekas sujud."
Seperti biasa, setiap kalimat yang keluar dari mulut anak itu selalu menancap di hatinya. Membuat Aleena merasa bangga sekaligus iri dengan kecerdasan Adit dalam hal agama. Entah siapa nama guru yang sudah mengajarkan adiknya, ia ingin sekali menemuinya dan berterima kasih banyak.
"Adek Kakak yang satu ini kok pinter banget sih? Siapa yang ngajarin, hm?" tanya Aleena yang kini sudah mensejajarkan tingginya dengan Adit.
"Siapa lagi kalau bukan Papa dan ustadnya Adit."
"Subhanallah. Titip salam ke ustadnya Adit, ya. Kak Aleena terima kasih banyak udah mau ajarin adek Kakak ini tentang agama."
Anak laki-laki itu mengangguk cepat. "Nanti Adit sampaikan, kalau Kak ustad datang."
Mendengar panggilan Adit kepada ustadnya, Aleena menjadi heran. "Kok manggil ustadnya dengan panggilan Kak?"
"Soalnya, ustadnya sendiri yang nyuruh panggil 'Kak ustadz', jangan 'Pak Ustad' Kak." Adit menjelaskan.
"Oh, jadi, ustadnya Adit itu masih muda, ya?"
Kembali, Adit mengangguk tanpa menghilangkan senyumnya. "Ayo, Kak. Kita sahur," ajaknya menarik lengan Aleena untuk turun ke ruang makan.
***
Di tempat yang berlainan, seseorang dengan koko putih dan sajadah yang masih terlampir di pundaknya baru membuka pintu kamar setelah hampir satu jam i'tikaf di masjid. Malam tadi, ia sengaja tidak kembali ke asrama dan memilih tadarus sampai pagi.
Setelah sempat tertidur beberapa saat, ia kembali bangun dan menjalankan ibadah lainnya. Salah satunya tahajjud dan mengulang hafalan. Kegiatan itu ia lakukan sampai waktu menunjukkan pukul setengah tiga pagi.
Demi membangunkan teman-temannya untuk sahur, Khaled hanya melaksanakan sholat sampai di rakaat kedua belas. Selain belum memasak lauk untuk sahur, membangunkan mereka dari kamar ke kamar juga perlu waktu.
Ketika langkahnya tiba di depan rak buku, netra coklatnya tak sengaja menatap layar handphone yang tiba-tiba menyala. Setelah meletakkan mushaf dan sajadah, Khaled beralih mengambil benda itu dan melihat beberapa notifikasi yang baru masuk.
Kedua alis tebalnya bertemu setelah membaca pesan yang dikirim oleh nomor yang memiliki kesan tersendiri bagi dirinya. Jemarinya tidak langsung digerakkan untuk mengetik balasan. Ia memilih untuk memikirkan maksud dari pesan yang baru masuk itu.
Zulfa Amniya
Assalamu'alaikum, Mas
Maaf pagi-pagi mengirim pesan