Fina menatap kosong pemandangan yang ada di depannya. Dimana ada dua orang yang sangat dia kenal sedang berjalan santai ke arahnya. Lebih tepatnya menuju ke kelas mereka. Orang itu adalah Fani dan Lilis. Fina melihat tangan Lilis yang merangkul pundak Fani. Seperti yang biasa dilakukan Lilis terhadapnya ketika mereka tengah berjalan. Lebih parahnya lagi, ketika kedua orang itu berpapasan dengan Fina, Lilis seolah-olah tidak bisa mengenalnya. Ya walaupun Fina menggunakan dandanan nerd, setidaknya Lilis harus tahu kalau dia adalah Fina. Sedari SD mereka sudah bersahabat. Sudah cukup lama bukan? Lalu mengapa Lilis seakan tidak tahu ciri-ciri Fina sedikit pun? Maksudnya ciri-ciri Fina yang bisa membedakan dia dari orang lain.
Bagaimana dengan Fani? Saat mata Fina bertatapan dengan Fani, Fani langsung membuang muka seolah tidak mengenal Fina. Padahal Fina sudah memperingati Fani untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Lilis.
Flashback on
"Fin, ciri-ciri Lilis itu gimana?" tanya Fani tiba-tiba.
"Emang kenapa, Kak?" tanya Fina bingung.
"Ya kan nanti kalau aku ketemu sama dia, dia nggak bakalan curiga kalau aku bukan kamu," jawab Fani santai.
"Kak! Fina nggak mau kalau Lilis ikut mikir kalau Kakak itu Fina. Lilis kan sahabatnya Fina," ujar Fina dengan wajah datar.
"Iya udah kalau gitu. Nomornya Lilis bisa aku save nggak?"
"Buat apaan, Kak?" tanya Fina menatap curiga ke Fani.
"Buat nambah kontak aja."
"Oh. Ntar Fina kirim,"
"Ingat ya Kak! Kalau Kakak ketemu sama Lilis terus dia ngira Kakak itu Fina, ceritain semuanya sama dia. Oke?!" sambung Fina sambil menyodorkan kelingkingnya.
"Iya janji. Tenang aja."
Flashback of
Fina mengingat kembali percakapannya dengan Fani beberapa hari yang lalu. Fina tidak menyangka Fani adalah orang yang mudah ingkar janji.
Ketika kedua orang itu sudah tak terlihat oleh Fina, Fina beranjak ke kelasnya. Lilis adalah alasan Fina datang cepat ke sekolah. Bahkan dia rela tidak sarapan dari rumah, agar dia lebih cepat sampai ke sekolah mendahului Lilis dan menyambut sahabatnya itu. Fina juga memberanikan diri untuk naik angkutan umum menuju sekolah, karena dia tidak tega membangunkan Varezha-papanya atau Mang Udin hanya untuk mengantarnya ke sekolah pagi-pagi buta. Fina sangat semangat untuk bertemu Lilis hari ini.
Emang Lilis nggak bisa tahu kalau Fani itu bukan Fina hanya sekedar ngedengarin suara Fani gitu? batin Fina sambil berjalan lesu ke kelasnya.
********
"Oi Fin! Gue nyontek jawaban lo nomor 5 sampe 10 ya. Gue kagak ngerti ini," pinta Lilis berbisik ke Fina.
"Hm tunggu Lis! Gue juga belum selesai," bisik Fina ikut kesal karena ia juga tidak mengerti soal yang sedang mereka kerjakan itu.
"Gue kira lo udah biasa ngerjain soal kayak gini?" tanya Lilis bingung. Pasalnya Fina sangat pintar dalam pelajaran fisika. Bukan hanya fisika, semua mapel ya!
"Finn, ayo dong! Jangan pelitt elah," ujar Lilis dengan wajah memelas. Lilis heran karena untuk pertama kalinya Fina tidak membagi jawaban dengannya. Fina hanya diam tak merespon rengekan Lilis.
Kringg...
"Waktu habis! Selesai tidak selesai, kumpul!" ujar Pak Bowo dengan tegas. Pak Bowo memang salah satu guru yang termasuk killer di SMA Orion. Semua siswa termasuk Lilis dan Fina kalang kabut mengumpul tugas yang diberikan Pak Bowo itu.
"Jam selanjutnya masih jam saya. Nilai kalian akan saya umumkan nanti!" ujar Pak Bowo lalu beranjak meninggalkan kelas X MIPA 1.
"Fina, mau ngantin?" tawar Lilis setelah membereskan barang-barangnya.
"Ayo. Gue juga laper."
"Cokelat itu buat gue?" tanya Lilis ketika melihat sebatang cokelat di tangan Fina.
"Bukan, lah."
********
Rion membuka lokernya untuk mengambil buku paketnya yang tak sengaja ia tinggalkan kemarin. Rion agak kesusahan untuk mengambil buku yang dimaksud karena cokelat yang menumpuk di dalam lokernya. Ketika ia hendak menarik buku paketnya, untuk yang kedua kalinya ia mendapati sebungkus pilus.
Dasar Fina! ucap Rion dalam hati sambil tersenyum geli.
Rion menyimpan pilus itu ke dalam saku celananya, lalu menutup pintu lokernya. Rion berniat menyusul Rean dan Reon yang sudah duluan ke kantin.
Sepanjang perjalanan menuju kantin, Rion tidak merespon satu pun para fansnya yang meneriaki namanya seperti tarzan di hutan. Sesampainya di kantin, Rion mengedarkan pandangannya mencari kedua sahabatnya.
"Yon! Sinii!" teriak Reon tak mempedulikan tatapan aneh yang ditujukan kepadanya. Rion langsung menuju ke meja Rean dan Reon yang berada di pojokan. Sebenarnya dari dulu entah mengapa Rion dan kedua sahabatnya selalu mendapat tempat duduk yang sama. Padahal mereka tidak pernah melarang siapa pun untuk duduk di sana atau mengklaim tempat itu sebagai milik mereka.
"Lama banget si lo! Lo nggak kasian sama cacing gue yang udah dari tadi nge-drum minta makan?" tanya Reon sambil mengelus-elus perutnya.
"Yang suruh lo nggak makan siapa?" tanya Rion datar.
"Yekan gue sahabat yang paling baik hati, pengertian dan nggak som-"
"Najis!!" potong Rean membuat Reon mencebikkan bibirnya.
"Bang Rean mah suka gitu. Dedek nggak like!" ucap Reon dengan raut wajah yang dibuat se-sedih mungkin.
"Banyak bacot ae lo! Sana pesenin makan!" ketus Rean membuat Reon memutar bola matanya malas.