Fina menghela napas pelan meratapi nasibnya sekarang ini. Tak terasa sudah sekitar empat bulan setelah Fani kembali, sekitar itu pula Fina sudah jarang tersenyum. Iya, jarang. Fina masih bisa tersenyum, namun bukan karena keluarganya lah dia bisa melakukan itu. Orangtuanya saja sudah menjadi sumber kesedihan Fina saat ini. Perhatian mereka sudah sepenuhnya berpusat pada Fani, tanpa memperhatikannya lagi. Bohong kalau Fina tidak pernah merasa iri.
Papa dan mamanya lebih banyak menghabiskan waktu luang mereka dengan Fani. Semua tentang Fani sekarang. Posisinya sekarang telah tersingkirkan oleh Fani. Tapi, Fina tidak bisa membenci Fani. Ia menyayangi kembarannya sekaligus kakaknya itu. Fina selalu mengalah kepada Fani. Apa-apa yang Fani bilang, Fina turuti. Bahkan Fani kadang-kadang memperlakukannya seperti babu, tapi Fina tak pernah mempersalahkan itu.
Lilis? Bahkan Lilis pernah melabraknya ketika dia tak sengaja menumpahkan jus jeruk di baju Fani. Fina tahu pasti watak Lilis. Lilis adalah orang pertama yang maju ketika ada yang mengganggu sahabatnya, entah itu disengaja atau tidak. Karena kejadian itu, Lilis selalu memandang sinis Fina. Bahkan tak segan-segan mengeluarkan kalimat pedas kepada Fina, ketika mereka berpapasan.
Lalu apa yang bisa membuat Fina senyum? Itu Occhi, senja, Mbok Sarti, Mang Udin dan Evan. Walau lelaki itu tidak pernah berbicara kepadanya, melihatnya saja Fina sudah bisa tersenyum. Fina sangat senang ketika ia diterima sebagai anggota OSIS. Meskipun keberadaanya tidak pernah dianggap oleh anggota lain, ia tetap berusaha mengerjakan tugasnya dengan baik. Fina juga kerap mengerjakan tugas anggota lain ketika Rion dan kedua sahabatnya tidak ada. Tapi Fina tidak menyerah dan tidak mengundurkan diri dari organisasi itu.
"Astaga! Udah larut malam ternyata," ujar Fina kaget saat sadar dari lamunanya dan melihat jam yang sudah menunjukkan pukul sebelas lewat. Fina membereskan buku-buku yang dia pelajari sebelum melamun tadi. Untung saja semua tugas sekolahnya sudah di kerjakan.
"Good night yang lagi baca My Destiny, kisahku belum end, ya."
********
"Udah malem. Tidur Fin!" perintah Rion kepada Fani lewat sambungan telpon. Tadi Rion sedang belajar, namun Fani yang menelponnya membuat kegiatannya itu tertunda.
"Ihh, Rion! Aku kan masih kangen," jawab Fani manja. Rion menghela napas frustasi mendengar itu. Padahal setiap hari mereka bertemu di sekolah, bahkan kerap keluar sekedar bertemu atau jalan-jalan.
"Besok sekolah. Nanti kalau kesiangan terus telat ke sekolah, aku hukum," ancam Rion. Dia memang tidak pernah pilih kasih ketika memberi hukuman pada orang yang melanggar aturan. Siapa pun itu!
"Iss, iya udah deh! Besok jemput kan?"
"Iya, sayangg."
Rion terkekeh ketika Fani memutuskan sambungan secara sepihak. Pasti gadis itu blushing. Rion memang setiap hari menjemput Fani, yang dia anggap sebagai Fina, untuk berangkat ke sekolah, begitupun juga ketika pulang sekolah.
"Mana tugas gue belum kelar lagi," Rion kembali mengerjakan tugas sekolahnya itu. Sebenarnya tugasnya tidak terlalu banyak, namun cerita Fani yang terlalu lama membuat waktunya untuk belajar terbuang sia-sia. Sebenarnya Rion tidak mengerti dengan apa yang Fani cerita, namun ia hanya meresponnya dengan seadanya saja. Entah mengapa seolah-olah pembicaraannya dengan sahabatnya itu kadang tidak nyambung, dan membuatnya malas. Berbeda saat mereka masih kecil.
********
Kedua mata itu perlahan mulai mengerjap-ngerjap pelan. Masih dengan pandangan yang sayu, Fina mengecek jam yang ternyata masih menunjukkan pukul empat. Fina mengumpulkan nyawanya dan beranjak ke kamar mandi. Sebenarnya Fina masih mengantuk lantaran tidur terlalu larut tadi malam, tapi karena masih banyak yang harus dilakukan jadi dia harus bangun lebih pagi. Fina bersyukur bisa bangun setiap jam empat subuh tanpa alarm atau dibangunkan orang lain. Emang ada yang mau bangunin Fina? Mama? Atau papa? That's impossible now!
Sekitar lima belas menit membersihkan diri, Fina keluar dari kamar mandi dengan seragam yang sudah melekat di tubuhnya. Fina memakai perlengkapan nerdnya kemudian memakai tas dan sepatunya.
Dengan atribut serta dandanan nerd yang sudah lengkap, Fina menuruni tangga dan berjalan pelan ke dapur. Di dapur sudah stay Mbok Sarti yang sedang membersihkan meja.
"Pagi, Mbok," sapa Fina sambil tersenyum ke arah Mbok Sarti.
"Pagi juga, Non. Mau buat nasi goreng?" tanya Mbok Sarti sambil terkekeh ringan.
"Mbok pasti tahu lah," jawab Fina tersenyum sambil menyiapkan alat dan bahan yang dia perlukan.
"Beneran nggak mau Mbok bantu?" tanya Mbok Sarti lagi. Sebenarnya dia juga kasian terhadap anak bungsu majikannya itu.
"Nggak usah, Mbok. Nasi gorengnya buat orang spesial, dari orang spesial," ujar Fina tersenyum.
"Emang orang spesialnya siapa, sih?" tanya Mbok Sarti menggoda Fina.
"Ada deh," jawab Fina sambil menyengir lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Mbok Sarti hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban Fina. Bersama Mbok Sarti Fina mudah tersenyum, namun berbanding terbalik ketika bersama mama dan papanya.
"Non, nanti Mbok yang nyiapin kotak bekalnya. Non sarapan aja dulu," ujar Mbok Sarti ketika melihat Fina mematikan kompor.
"Iya udah. Makasih ya, Mbok."
Fina mengambil selembar roti tawar dan mengolesinya dengan nutella kesukaannya. Setiap pagi Fina memang hanya sarapan dengan roti. Nasi goreng yang dibuatnya itu, semua untuk Evan. Entah dia makan atau tidak, Fina tetap membawakannya setiap hari. Berbeda ketika pertama kalinya Fina membawakan Evan bekal, dan berakhir di tempat sampah. Selama ini kotak bekal yang diisi nasi goreng, selalu kosong ketika Fina mengambilnya kembali di dalam laci Evan. Itu tandanya bahwa Evan memakannya, bukan? Fina tersenyum senang memikirkan itu.
"Non ngapain senyum-senyum gitu?" tanya Mbok Sarti heran sambil meletakkan kotak bekal berwarna biru mudah itu di hadapan Fina.
"Eh, nggak kok, Mbok," jawab Fina kikuk sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Fina langsung memasukkan kotak bekalnya ke dalam tasnya.
" Fina berangkat ya," sambung Fina kemudian meraih tangan Mbok Sarti untuk disalam.
"Tiati Non." Fina meresponnya dengan mengangkat kedua jempolnya sambil berjalan keluar rumah. Fina setiap hari diantar oleh Mang Udin ke sekolah. Fina memang sudah tidak pernah diantar oleh papanya. Jangankan diantar, sekedar berbicara saja susah.
********
"Makasih Mang," ucap Fina kemudian turun dari mobil yang dikendarai Mang Udin.
"Sip atuh Non," jawab Mang Udin lalu menjalankan mobil meninggalkan pekarangan sekolah.
Huftt! Semangat Fin! batin Fina lalu menarik napas pelan.
Dengan pasti, Fina melangkahkan kakinya ke dalam gedung SMA Orion. Seperti biasa, Fina menjalankan rutinitasnya setiap pagi di sekolah. Tujuannya sekarang tentunya adalah kelas Evan.
"Aman," guman Fina saat melihat sekitarnya yang masih sepi. Fina mengambil kotak bekal yang sudah dipersiapkan dari rumah, lalu memasukkannya ke dalam laci Evan.
"Lo ngapain?" Fina mematung ketika mendengar suara bariton dari belakangnya. Fina yakin itu adalah suara manusia. Terbukti dari tangan orang itu yang menyentuh bahunya.
"Woy! Orang nanya, malah ngelamun," ujar cowok itu agak kesal.