Mata perempuan itu perlahan-lahan terbuka, pertanda bahwa dia telah sadar.
"Udah sadar?"
Fina menoleh ke sumber suara. Antara percaya dan tidak percaya, Fina melihat sosok Rion sedang duduk di sofa yang disediakan di dalam UKS. Fasilitas yang ada di SMA Orion memang tidak perlu diragukan. Fina mengucek-ngucek pelan matanya, barangkali karena dia terus memikiran Rion, sampai sosoknya selalu dia liat dimana-mana.
Ini Fina lagi mimpi?
Merasa tidak ada perubahan setelah mengucek matanya, Fina menampar pipinya sendiri.
"Aww!" pekik Fina merasa nyeri di pipinya.
"Lo kenapa?" tanya Rion heran melihat tingkah adik kelasnya sekaligus anggotanya dalam organisasi OSIS itu.
"Jadi bukan mimpi ya," guman Fina pelan. Rion hanya menatap gadis itu datar.
"Jadi lo yang selama ini naruh bekal di laci gue?" tanya Rion to the point.
Sedari tadi Rion menunggu gadis nerd ini sadar dari pingsannya untuk menanyakan hal itu. Dia menemukannya di toilet terbaring di lantai dengan keadaan yang lumayan mengenaskan. Tentu saja sebagai manusia yang masih memiliki hati nurani, Rion langsung membopongnya ke UKS. Keadaan sekolah saat itu sudah tidak terlalu ramai karena sudah lewat waktu pulang sekolah. Tinggal beberapa anggota OSIS serta siswa yang masih mengikuti ekstrakulikuler.
Fina tidak memperdulikan pertanyaan dari Rion. Dia panik karena rambutnya sudah tidak terkepang dan kacamata non minusnya hilang entah kemana. Bisa berabe kalau Rion mengenalinya. Yah, meskipun dia masih memakai bedak gelap, kemungkinan kecil Rion bisa mengenali wajahnya. Rion kan orangnya jeli dan teliti.
"Cari apaan?" tanya Rion saat melihat gadis di depannya seperti mencari sesuatu. Fina menundukkan kepalanya, untuk menyembunyikan wajahnya dibantu helai rambutnya yang menjuntai menutupi wajahnya.
"Kacamata saya, Kak," jawab Fina pelan. Rion langsung merogoh kantong jas almamater OSIS yang dia pakai ketika mengingat sesuatu.
"Sorry. Tadi gue simpan." Rion lalu menyodorkan kacamata gadis itu, yang langsung diterimanya cepat.
"Pelakunya siapa?" tanya Rion kembali datar. Tentu saja Fina mengerti maksud dari pertanyaan Rion.
"Tidak ada, Kak. Tadi kayaknya saya hanya kecapean terus pingsan di toilet," jelas Fina tanpa memandang Rion. Jawaban yang tidak masuk akal bagi Rion. Sejak kapan orang yang pingsan dengan darah yang mengotori area hidung dan mulutnya, serta rambut yang acak-acakan dikarenakan capek? Ah ya! Ditambah seragam gadis nerd itu yang kotor dan basah kuyup. Dia di bully.
"Berhenti bawa bekal buat gue!" perintah Rion setelah lama berpikir. Rion tahu penyebab gadis nerd itu di bully. Dua kemungkinan menurut Rion. Dibully karena cupu, atau dibully oleh para fans fanatiknya karena ketahuan menaruh bekal di lacinya.
"Maaf, Kak. Bekalnya tidak enak ya?" tanya Fina sedih.
"Bukan masalah enak atau tidak enak. Pokoknya gak usah!" titah Rion. Lagipula Rion tidak tahu harus menjawab bagaimana rasa bekal itu, sedangkan yang selalu menghabiskannya adalah Reon atau Rean.
"Kakak yang bawa saya kesini?" tanya Fina mengalihkan pembicaraan.
"Iya. Sekarang gue anter lo pulang."
"Tidak usah, Kak. Saya bisa pulang sendiri," tolak Fina halus. Fina tahu kalau Rion pasti lagi sibuk.
"Lo masih pucat, tuh."
Liat Kakak aja udah buat Fina baikan. My medicine, batin Fina malu-malu.
"Saya sudah baikan, Kak."
"Gue nggak suka penolakan! Ayo." Tanpa mendengar persetujuan dari Fina, Rion langsung menarik tangan gadis itu sampai di parkiran tempat dimana motor sportnya berada. Fina berulang kali memanggil Rion, namun lelaki itu terus menariknya dan mengabaikan panggilannya.
"Kak," panggil Fina lagi kepada Rion saat mereka tiba di parkiran.
"Pokoknya gak ada bantahan lagi!"
"Bukan itu, Kak. Tas saya masih di kelas," jelas Fina dengan kedua tangan yang saling memilin.
"Saya ambil dulu, Kak," ujar Fina lagi tapi Rion langsung menahannya saat hendak berbalik ke kelasnya.
"Lo tunggu di sini dulu!"
"Kenapa, Kak?" tanya Fina bingung. Tapi pertanyaannya itu tidak mendapat respon dari lelaki itu. Rion malah berlari kembali ke dalam gedung.
Evan balik ngambil tas Fina? tanya Fina dalam hati.
Eh, nggak mungkin. Mana dia tahu tas Fina. Mungkin barangnya ada yang ketinggalan.
"Ini!" Fina tersentak kaget ketika Rion kembali muncul dengan kedua tangannya yang masing-masing membawa tas yang berbeda. Tangan kanan Rion mengangkat sebuah tas yang sangat Fina kenal di hadapannya. Itu tasnya.
"Kakak tahu tas saya?" tanya Fina tak percaya.
"Pakai!" perintah Rion menyodorkan sebuah helm mengabaikan pertanyaan dari Fina. Fina mengerucutkan bibirnya lalu memakai helm yang disodorkan Rion. Fina langsung naik ke motor Rion saat mendapat kode dari pemiliknya untuk segera naik.
"Pegangan!"
********
"Makasih, Kak," ujar Fina setelah turun dari motor Rion. Fina tentu saja menyuruh Rion menurunkannya di tempat yang sama saat pertama kali Rion mengantarnya pulang. Jauh dari rumahnya.
"Hmm." Rion hanya membalasnya dengan deheman lalu melajukan kembali motornya ke rumahnya.
Fina pikir apakah sahabat kecilnya itu punya kepribadian ganda? Kadang perhatian, kadang dingin. Tapi, Fina malah semakin menyukainya. Iya, sepertinya dirinya sudah menyukai lelaki yang ber-notabene sahabatnya waktu kecil itu.
Fina menangkup pipinya yang terasa hangat dengan kedua tangannya. Mengingat perlakuan dan perhatian Rion kepadanya, seperti ada ribuan kupu-kupu yang menggelitik perutnya. Apa-apa yang menyangkut lelaki itu, bahkan memikirkan nama lelaki itu saja sudah bisa membuat Fina blushing seketika.
Tidak terlalu beda jauh dengan Rion yang masih dalam perjalanan menuju rumahnya. Di sepanjang jalan, pikirannya selalu tertarik kepada gadis cupu yang barusan dia antar. Tidak pernah dia sepeduli itu kepada seorang perempuan , selain mamannya dan Fina-sahabatnya. Tapi melihat Fani-gadis cupu itu, dia agak merasa senang. Memang melihat wajahnya di UKS tanpa kacamata tadi, tidak terlalu asing di matanya. Apalagi ketika melihat tatapan yang diberikan gadis itu kepadanya, seolah-olah ada suatu pesan yang tersirat.
Gue kenapa sih?!
********
"Fina pulang," sapa Fina setelah memasuki rumahnya. Di ruang tamu hanya ada mamanya yang sedang membaca majalah dan Mbok Sarti yang sedang membersihkan.
"Eh, non Fina," ujar Mbok Sarti menghentikan kegiatannya sejenak. Fina hanya tersenyum ke arah Mbok Sarti.
Fina hanya bisa tersenyum getir ketika melihat mamanya yang hanya menoleh sejenak ke arahnya lalu kembali pada majalah yang ada di tangannya. Harapan Fina adalah mamanya juga balas menyapanya, menanyakan bagaimana keadaannya, apakah dia baik-baik saja di sekolah, mengapa dia telat pulang saat ini. Tapi sekedar senyuman bahkan tidak Fina lihat dari wajah mamanya saat melihatnya. Sepertinya harapannya terlalu sulit dikabulkan.