"Pak, korban kecelakaan tabrak lari di sini, dibawa ke rumah sakit di mana, ya?" tanya Arel kepada salah satu warga yang masih berada di lokasi kejadian.
"Oh, dia barusan dibawa ke rumah sakit xxx ...,"
"Makasih, Pak. Oh iya, Bapak tahu ibu-ibu yang nemuin ponsel korban tadi?" tanya Arel lagi.
"Pemilik tokoh yang di sana," jawab bapak itu dengan telunjuk yang mengarah ke salah satu toko.
"Makasih, Pak."
Arel berlari ke toko yang ditunjukkan bapak tadi.
"Rel." Arel mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam toko itu ketika telinganya mendengar suara Rey memanggilnya.
"Lo mau kemana?" tanya Rey dan Fariz terlihat berjalan dari belakang Rey.
"Lo kok langsung cabut gitu aja, Rel," ujar Fariz kesal.
"Eh, di depan kayaknya barusan ada kecelakaan," tambah Fariz lagi karena belum tahu kalau korbannya adalah orang yang dicintai sahabatnya.
Namun Arel tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kedua sahabatnya. Dia melamun karena teringat kembali dengan Fina.
"Ayo balik ke cafe. Mungkin di sana sudah ada doi lo," ujar Rey lagi berusaha mengajak Arel bicara.
"Fina nggak bakal datang," balas Arel dengan pandangan yang kosong.
"Lo tahu dari mana dia udah dateng ato belum?" tanya Rey bingung.
"Korban kecelakaan itu ... Fina," ujar Arel lemah.
"Fina? Fina siapa?" tanya Fariz
"Sefani, dia sebenarnya Fina," jawab Arel pelan membuat wajah Rey menampilkan raut terkejutnya.
"Hah?" Fariz tambah bingung dan hendak bertanya lagi namun Rey memberinya kode agar tidak banyak bertanya lagi.
"Darah di jalan depan itu, darahnya Fina?" tanya Rey hati-hati dan mendapat anggukan pelan dari Arel.
"Terus lo ngapain masih di sini? Ayo ke rumah sakit," ajak Rey cepat.
"Gue mau ngambil ponselnya dulu," balas Arel lalu kembali melangkah ke dalam toko itu, seperti tujuan awalnya.
"Fina siapa, Roy?" tanya Fariz beralih ke Rey.
"Roy, Roy! Nama gue Rey! Bonyok gue udah kasih nama bagus-bagus malah seenak jidat lo ganti," geram Rey tanpa menjawab pertanyaan dari Fariz.
"Nama spesial dari gue. Jawab cepat! Fina siapa yang dimaksud Arel?"
"Si nerd," jawab Rey sambil melihat Arel yang sedang berbicara dengan pemilik dari toko yang Arel masuki.
"Lo jangan banyak nanya dulu sama Arel!" peringat Rey kepada Fariz.
"Kirain nama dia Fani?"
"Mana gue tahu!" kesal Rey karena Fariz bertanya terus sedangkan dia juga baru mengetahuinya.
"Mini gii tihi!" ujar Fariz mengikuti ucapan Rey dengan menye-menye.
Tak lama, Arel keluar dengan sebuah ponsel yang berada di tangan kirinya.
"Dia baik-baik aja, kan?" tanya Arel dengan sorot yang lemah.
Rey dan Fariz tentu terkejut melihat Arel yang seperti itu. Sosok bad boy yang selalu melanggar aturan di sekolah, sudah biasa balapan dan tawuran, sekarang memperlihatkan sisi lemahnya. Dan itu karena seorang gadis.
"Mana kita tah-"
"Dia baik-baik saja! Kita ke rumah sakit sekarang. Tahu dia dibawa ke rumah sakit yang mana, kan?" Rey langsung menyelah ucapan Fariz.
Njir nih Faring! Mau bikin orang tambah down aja, batin Rey merutuki Fariz.
Tanpa berujar lagi, Arel berjalan ke arah motornya, lalu mulai menjalankan kendaraan beroda dua itu.
"Ikutin dia!"
Rey dan Fariz kembali menaiki motornya lalu mengikuti Arel dari belakang. Bahaya kalau meninggalkan cowok itu dalam keadaan kalut seperti ini.
********
"Lis," panggil Arel kepada seorang gadis yang duduk di lantai sambil menenggelamkan wajahnya di antara kedua lipatan tangannya.
"Fina mana?" tanya Arel. Rey dan Fariz yang berada di belakang Arel, memilih diam saja.
Tanpa mengangkat wajahnya, tangan Lilis terangkat untuk menunjuk pintu ruang operasi.
Dada Arel semakin sesak ketika mengetahui itu. Jika berada di dalam ruang operasi, berarti keadaan Fina sudah parah.
Arel ikut mendudukkan dirinya di bawah lantai dan menyender pada dinding. Dia sungguh kacau saat ini. Segala sesuatu sudah dia persiapkan hari ini, termasuk keberaniannya untuk menyatakan perasaannya, namun gadis yang hendak mendengar pengakuannya malah berakhir di ruang operasi seperti ini.
"Dia bakal baik-baik aja," ujar Rey pelan lalu menepuk pelan bahu Arel, berniat untuk menguatkan.
"Gue ke toilet dulu," kata Arel lalu bangkit berdiri.
"Kalian kalau mau pulang, pulang aja," sambung Arel sebelum beranjak ke toilet.
"Kita nggak akan ninggalin lo," tukas Fariz lalu tersenyum dan diangguki juga oleh Rey.
********
Rion mencuci tangannya yang dipenuhi darah Fina yang sudah mengering di wastafel. Fina tengah berada di dalam ruang operasi. Benturan di kepalanya lumayan parah jadi harus segera dioperasi.
Ini gara-gara gue, batin Rion menyalahkan dirinya atas kecelakaan itu.
Rion melirik sejenak ke arah lelaki yang memakai seragam sama sepertinya, juga mencuci tangannya di wastafel sebelah.
"Fina gitu karena kalian semua," ujar Arel menyindir Rion.
"Lo nggak tahu apa-apa," balas Rion lalu menatap Arel sejenak dari pantulan cermin.
"Malahan gue yang lebih dulu tahu tentang rahasia Fina," ujar Arel sambil tersenyum miring ketika Rion kicep mendengar ucapannya.
"Lo jauh-jauh dari Fina!" lanjutnya membuat Rion tertawa mengejek.
"Apa hak lo?" tanya Rion menantang.
"Gue suka sama dia," jawab Arel santai.
"Terus? Emang Fina suka sama lo?" tanya Rion lagi sambil tersenyum miring. Arel sampai dibuat terdiam memikirkan itu.
Iya juga. Kalo Fina nggak suka sama gue, gimana? batin Arel bertanya.
Ah, bodoh amat! Fina balik suka sama gue ato nggak, pokoknya gue suka sama dia, lanjutnya lagi dalam hati.
"Ngomong-ngomong, gue juga suka Fina, lebih dulu sebelum lo. Bahkan sebelum gue tahu kalau dia Fina," ujar Rion lalu mendekat ke telinga Arel.
"Dia ... milik gue!" bisik Rion lalu beranjak dari sana meninggalkan Arel.
Shit! Lo kira gue bakal mundur gitu aja? batin Arel dengan tangan yang terkepal.
********
"Gimana?" tanya Rion pada Lilis yang duduk di kursi dengan pandangan kosong yang mengarah ke pintu ruang operasi yang masih tertutup.
"Mereka nggak angkat," jawab Lilis tanpa mengalihkan pandangannya.