Fina menatap sendu sebuah foto yang ada di tangannya. Di dalam foto itu ada mama, papa dan juga dirinya. Foto itu dia dapat di antara lembaran novelnya. Sangat menyedihkan menurutnya, karena dari antara kedua orang tuanya, tidak ada satu pun yang datang menjaganya. Ah, jangankan menjaganya, Fina sudah sangat bersyukur jika mereka mau mengunjunginya.
Papa sama mama lupa sama Fina, ya? tanya Fina dalam hati.
"Ngapain, Fin?"
Fina mengalihkan pandangannya dari bukunya ketika pintu kamar rawat inapnya dibuka oleh seseorang, dan terdengar suara Rion yang menyapanya dengan sebuah pertanyaan.
Fyi, dia dan Rion sudah meluruskan semua kesalahpahaman di antara mereka kemarin. Bagaimana reaksi Rion? Lelaki itu sangat menyesal dan beberapa kali mengucapkan kata maaf. Tapi Fina sudah tidak mempermasalahkan itu lagi, karena di sini Rion juga tidak tahu apa-apa. Itu semua berawal ketika dia memutuskan untuk menjadi fake nerd di sekolah.
Bukan cuma Rion. Lilis, Reon dan Rean juga sudah meminta maaf kepadanya. Jadi mereka semua sudah berbaikan dengannya.
"Ini namanya lagi apa?" tanya Fina balik sambil mengangkat buku-bukunya di hadapan Rion.
"Ck, basa-basi, Fin!" ujar Rion lalu mengacak-ngacak rambut Fina hingga berantakan.
"Ih, jadi berantakan, kan?!" kesal Fina sambil memanyunkan bibirnya.
"Bibirnya nggak usah manyun gitu. Ntar gue khilaf," goda Rion lalu meletakkan parcel buah yang dia bawa di meja yang ada di samping ranjang Fina, kemudian beralih memperbaiki kembali tatanan rambut Fina.
"Gue ikat, ya?" tawar Rion membuat Fina tertawa lepas.
"Emang Evan bisa?"
"Bisa dong, ngeremehin banget."
"Coba aja."
Rion lalu mengambil ikat rambut Fina yang ada di atas nakas lalu memulai menyatuhkan semua rambut Fina untuk diikat.
"Ih, Evan! Kok rambut Fina dijambak?"
"Eh, maap. Aku cari caranya dulu di youtube," ujar Rion lalu mengeluarkan cepat ponselnya dari saku celananya.
"Tadi katanya bisa," ledek Fina.
Rion tidak membalas karena fokus menonton tutorial mengikat rambut dari youtube.
"Gue udah bisa!" seru Rion lalu meletakkan ponselnya sembarangan.
"Hasil nge-search di youtube aja bangga."
"Namanya juga usaha," balas Rion dengan tangan yang sibuk mengikat rambut Fina dengan gerakan memutar.
"Iyain," kekeh Fina. Dan tak lama rambutnya sudah selesai dikuncir Rion.
"Nah! Selesai juga," ujar Rion bangga melihat hasilnya.
"Mayan," ujar Fina menilai lewat cermin kecilnya.
"By the way, kok belajar? Bukannya istirahat," kata Rion sedikit kesal lalu duduk di kursi yang ada di samping ranjang Fina.
Mumpung sekarang hari sabtu, jadi Rion akan menghabiskan waktu untuk menunggu Fina di rumah sakit. Mamanya juga tidak melarang, bahkan beliau menyuruh untuk menjaga Fina baik-baik. Kedua orang tuanya dan orang tua Fina memang cukup dekat dari dulu.
"Fina nggak mau tidur. Fina mau belajar aja. Fina pasti ketinggalan banyak," ujar Fina lalu kembali fokus ke buku-bukunya.
"Belajarnya dipending dulu, Fin. Kamu harus banyak istirahat supaya cepat sembuh."
"Fina sembuh atau tidak sembuh, sama aja. Nggak ada Mama sama Papa yang temenin Fina," ujar Fina sambil tersenyum tipis.
"Jangan dipikirin. Disini ada gue, kan? Lilis sama Mbok Sarti juga ada," jelas Rion berusaha menghibur Fina.
Nggak ada yang bisa gantiin posisi mama sama papa, batin Fina sedih.
"Maaf, ya. Fina banyak ngerepotin."
"Kata siapa?"
"Kenyataannya emang gitu, Van."
"Hustt, nggak ngerepotin, kok."
"Hehe. Jadi mellow gini," ujar Fina terkekeh ringan.
"Nggak boleh sedih lagi, oke?" ujar Rion lalu mengusap lembut pucuk kepala Fina.
"Udah, ah! Fina mau belajar. Kita kan mau ikut olimpiade," balas Fina lalu kembali menjawab soal-soal fisika yang ada di hadapannya..
"Belajarnya kalau udah sembuh, Fin!"
"Fina maunya sekarang. Gimana dong?"
Karena geram, Rion mengambil semua buku-buku Fina dan langsung melemparnya keluar jendela yang juga terbuka lebar.
"EVAN!" teriak Fina ketika buku-bukunya sudah melayang.
"Nurut, Fin. Kali ini aja."
Gimana kalo bukunya nimpuk orang yang lewat di bawah? batin Fina khawatir.
"Evan jahat! Fina nggak suka," ambek Fina lalu kembali berbaring dan membungkus badannya dengan selimut dari ujung kaki sampai ujung kepala.
"Iya juga, ya. Gue selalu jahat sama lo di sekolah."
Fina langsung menurunkan selimutnya ketika mendengar Rion berbicara seperti itu.
"Eh, nggak. Evan nggak jahat! Fina bercanda aja," ujar Fina cepat membuat Rion terkekeh melihatnya.
"Jangan marah, ya," pinta Rion dengan muka melasnya.
"Nggak marah. Tapi kesel," tukas Fina.
"Itu apa bedanya?"
"Ya beda! Kalau marah gini mukanya," Fina pura-pura memasang wajah garangnya dengan mata melotot seolah-olah sedang marah. "Terus kalo kesel, ya gini," lanjut Fina lalu memasang wajah datarnya dengan kedua tangan yang terlipat di atas dada.
"Lucu banget, sih," ujar Rion terkekeh lalu mencubit pipi Fina dengan keras.
"Sakit woi!"
"Abis cubit-able banget tuh pipi," ucap Rion membuat Fina melotot ke arahnya.
"Nggak usah marah. Ntar cantiknya hilang." Fina refleks blushing mendengar itu. Jangan lupakan perasaan Fina yang masih ada terhadap Rion. Nyatanya usahanya untuk mengubur perasaannya kepada Rion, tidak membuahkan hasil.
"Balikin buku Fina!" Fina langsung mengalihkan pembicaraan.
"Kamu masih sakit, ya?"
"Hah?"
"Soalnya pipi kamu merah tuh," celetuk Rion menggoda Fina.
"Diem!"
"Ciee, blushing," ledek Rion lalu menoel-noel pipi Fina dengan telunjuknya.
"Van, please ambilin buku Fina," rengek Fina sambil menggoyangkan lengan Rion bak anak kecil yang minta dibeliin sesuatu.
"Nanti kalo udah sembuh total, Fin."
"Gantinya beliin pilus kalau gitu!"
"Masih suka pilus?" tanya Rion sambil terkekeh.
"Hehe, iya. Fina dulu juga selalu masukin pilus ke loker Evan, ups!" ujar Fina tanpa sadar lalu langsung menutup mulutnya dengan tangan kanannya.
Ih kok kecoplosan! batin Fina malu.
"Jadi kamu yang selalu kasih masuk pilus ke loker aku?"
"Bukan!" elak Fina cepat.
"Hayo, jujur aja," goda Rion membuat Fina salting.
"Evan jangan marah tapi," ujar Fina tanpa memandang Rion.
"Nggak marah, kok."
"Sempat bingung juga pas lihat bungkusnya ada stiker pesawat. Kan cuma kita yang tahu soal itu." Ucapan Rion membuat Fina tersenyum tipis.
"Fina masih suka curhat lewat pesawat kertas." Rion tersenyum mendengar itu.
"Kamu gimana tahu kalau aku Evan waktu masuk sekolah?"
"Ingat, kan? Waktu Fina tabrak Evan di koridor?" Rion mengangguk sebagai jawaban.
"Fina kenal Evan, dari mata Evan," sambung Fina dengan senyum yang lebar.
Rion terdiam karena ingatannya berputar kembali ketika insiden di kolam renang. Dia membiarkan Fina berjuang di dalam air, sendirian. Perasaan bersalah kembali menghantuinya.