Dibantu dengan Mbok Sarti, Fina melangkah pelan ke dalam rumah. Dia masih sedikit lemas karena benturan di kepalanya akibat kecelakaan seminggu yang lalu. Sebenarnya dia masih belum diperbolehkan dokter untuk pulang ke rumah, namun dia tetap memaksa untuk pulang sore ini. Rion belum mengetahui kalau hari ini dia keluar dari rumah sakit, lantaran lelaki itu belum mengunjunginya hari ini. Bahkan memberinya kabar saja tidak.
Samar-samar Fina mendengar suara orang tertawa dari ruang tamu.
"Jadi Fani senang nih? Besok tunangan."
"Hehe iya dong, Tante."
Kak Fani mau tunangan? Besok? batin Fina bertanya-tanya.
"Kalau Rionnya? Gimana?"
Rion? Jangan-jangan, batin Fina mulai deg-degan
Ah, nggak mungkin! lanjut Fina mencoba berpikir posistif.
Fina tetap melanjutkan langkahnya dengan Mbok Sarti yang mengekor di belakangnya. Dan matanya membola ketika melihat orang-orang yang sedang duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Kedua orang tuanya serta kembarannya, dengan Rion dan orang tua lelaki itu. Apa ini?!
Fina mematung di tempatnya. Jadi benar, yang akan bertunangan dengan Fani adalah Rion?
"Tuan, Nyonya, kami pulang," ujar Mbok Sarti membuat semua mata di situ memandang ke Mbok Sarti dan Fina.
"Fina." Rion langsung berdiri lalu menyebut nama Fina pelan.
Fina tertegun. Dia bahkan tidak bisa menggerakkan bibirnya untuk menyuarakan apa yang tengah dia rasakan saat ini. Bagaimana mungkin seorang lelaki yang bernotabene pacarnya, akan bertunangan dengan kembarannya? Ini gila! Dia baru pacaran dengan Rion selama seminggu, namun sekarang lelaki itu akan bertunangan? Dengan kembarannya? Pandangan Fina mengabur karena air mata sudah menumpuk di pelupuk matanya.
"Eh, udah pulang, Fina?" tanya Melly berusaha baik-baik saja lalu menarik Fina ikut duduk.
Fina terus menunduk agar tidak ada yang menyadari kalau matanya berair. Rasanya semakin sulit untuk bernapas. Fina menggigit pelan bibirnya, agar tidak mengeluarkan isakan.
"Maaf, Mama sama Papa tidak ada waktu buat jemput kamu," ujar Melly pura-pura sambil mengelus kepala Fina
Emang Mama sama Papa pernah kunjungi Fina? batin Fina sambil tersenyum getir menahan rasa sesaknya.
"Kenapa?" tanya Fina ikut pura-pura biasa aja.
"Karena hari ini kita kedatangan tamu yang istimewa. Dan besok, Fani sama Rion bakal tunangan."
Dan tanpa seijin Fina, air matanya perlahan menetes ke tangannya yang saling bertautan ketika mendengar itu.
"Fina, kamu nangis, Nak?" tanya Arina-mama Rion hati-hati. Jika bukan karena janji suaminya pada Varezha, Arina lebih setuju kalau Rion bersama Fina, bukan Fani.
"Oh, nggak Tante. Mata Fina kelilipan tadi," jawab Fina cepat sambil mengusap matanya.
"Fina ke kamar dulu, mau istirahat," pamit Fina lalu segera menuju ke kamarnya.
"Om, Tante. Rion bicara sama Fina dulu," izin Rion kepada Varezha dan Melly ketika melihat Fina yang sepertinya menangis. Sedari tadi matanya terus menatap Fina. Dia ikut merasakan sesak ketika melihat kedua tangan Fina saling bertautan dengan erat, yang artinya sedang menahan sesuatu.
"Rion, nggak boleh!" sahut Fani menahan.
"Fani, biarin dulu," tegur Varezha lalu mengangguk sebagai jawaban kepada Rion, dan lelaki itu langsung mengejar Fina.
"Papa apa-apaan?!" kesal Fani lalu ikut mengejar Rion tanpa peduli akan penilain dari calon mertuanya.
"Maafin Fina, ya," kata Melly tidak enak ke calon besannya.
"Bukan Fina yang salah," balas Arina dengan datar.
Rion memanggil Fina berkali-kali ketika gadisnya itu terus berjalan tanpa mendengarnya lagi.
"Rion, kamu apa-apaan?! Kamu itu tunangan aku!" ujar Fani setengah berteriak sambil menahan pergelangan Rion.
"Gue bukan tunangan lo! Ingat, kalau bukan karena janji gue sama bokap gue, gue nggak akan mau bertemu sama lo!" balas Rion tajam lalu menyentakkan tangan Fani dari tangannya.
"Kamu jangan macam-macam, atau Fina yang bakal dapat imbasnya. Ingat yang udah aku bilang tempo hari, sayang!"
Tanpa merespon ucapan Fani, Rion langsung berlari menghampiri Fina yang hendak menutup pintunya.
"Fin, dengerin aku dulu!" Rion memaksa Fina untuk tidak menutup pintunya.
Fina tidak mempedulikan ucapan Rion. Fina berusaha menutup pintunya, namun usaha Rion lebih besar daripada usahanya. Rion menatap mata Fina yang mengeluarkan air lewat celah pintu kamar. Rion sangat ingin menghapus air mata itu. Bola mata yang indah itu mengeluarkan air, dan itu semua karenanya.
Saat Fina melihat Rion yang lengah, kesempatan itu digunakan untuk langsung mengunci pintu.
"Fina! Buka pintunya!" teriak Rion di balik pintu sambil menggedor-gedor pintu kamar Fina.
"Dengerin dulu penjelasan aku, Fin!"
Fina duduk di lantai kamarnya dan bersandar pada pintu kamarnya itu. Tangis yang sedari tadi ditahan seketika pecah.
"Finaa!"
Karena Fina tidak kunjung membuka pintu kamarnya, akhirnya tubuh Rion merosot lalu menyandar juga pada pintu itu.
"Kamu nggak mau dengarin penjelasan aku?" tanya Rion dengan suara yang terdengar serak dan matanya tertutup menahan gejolak di dadanya yang mampu membuatnya sesak. Dia sangat mencintai Fina, tapi kenapa semuanya tidak berjalan lancar?
Dengan wajah yang masih dipenuhi air mata, dan masih sesenggukan, Fina berdiri dan membuka pintu kamarnya. Rion langsung mengangkat kepalanya ketika mendengar suara pintu terbuka.
"Evan ...," panggil Fina dengan suara parau. Rion langsung memeluk Fina dengan erat.
"Please, Fin. Dengerin penjelasan aku dulu," ujar Rion memohon.
"Masuk dulu."
Fina mempersilahkan Rion masuk ke kamarnya, untuk menjelaskan semuanya.
"Jelasin!" perintah Fina dengan wajah datarnya.
Bagi Fina, dia tidak bisa mengambil keputusan dan kesimpulan secara sepihak, dan mau tidak mau, dia harus mendengar penjelasan dari lelaki itu terlebih dahulu.
"Minggu lalu waktu papa aku ngajak ketemu kolega bisnis, ternyata itu papa kamu. Aku juga nggak tahu kalau mereka bakal ngebahas tentang pertunangan ini. Apa lagi itu sama Fani. Tapi, sebelumnya aku pernah janji sama Papa, buat menuruti permintaan terakhirnya. Aku juga nggak tahu kalau itu permintaannya."
Fina menghapus air matanya dan terus mendengar penjelasan Rion sampai akhir. Mengapa harus seperti ini?
"Aku tidak mau tunangan sama Fani. Sekarang, apa yang harus aku lakukan?" tanya Rion pelan. Lelaki itu menahan napasnya lalu menundukkan kepalanya. "Bagaimana kalau aku kabur saja?"
Fina langsung menggelengkan kepalanya mendengar itu. "Jangan gitu, Evan ...."
"Evan nggak mikir kalau kak Fani pasti bakal sedih kalau Evan kabur?" lanjut Fina lagi.
"Bahkan kamu masih mikirin kebahagiaan dia."
"Jadi, kita harus gimana sekarang?" tanya Rion lagi lalu menggenggam erat tangan Fina, dan menatap gadisnya itu dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Fina juga nggak tahu, Van. Rasanya kayak mimpi saja," jawab Fina lemah.
"Mungkin kita harus putus," sambung Fina dengan hidung yang masih menarik ulur ingusnya.
"Jangan pernah ucapin itu, Fin. Aku tidak suka," timpal Rion terdengar kesal.
"Fina nggak mung-" Seakan tahu bagaimana kelanjutan dari ucapan Fina, Rion langsung menyelanya dengan cepat.
"Fina, aku janji, pertunangan ini tidak akan berjalan. Aku tidak mempunyai perasaan apa pun sama Fani. Tapi, tolong kasih aku waktu," ujar Rion dengan nada frustasi.
"Jangan aneh-aneh, Van! Kalau kamu nyakitin kak Fani, Fina juga ikut merasakan itu," balas Fina memperingati.
Rion terdiam memikirkan itu. Dia hampir lupa fakta tentang Fani adalah kembaran Fina. Tentu saja dia tidak mau Fina tersakiti, meskipun sekarang mungkin sudah tersakiti ketika tahu bahwa dia dijodohkan dengan Fani-kembarannya.
"Rion! Kata papa kamu, kalian harus pulang sekarang." Pintu kamar Fina dibuka secara kasar, dan terdengar suara Melly-mama Fani dan Fina.
"Tung-" Rion hendak menjawab namun kembali dipotong Melly.
"Tidak, Rion. Besok kamu akan tunangan sama Fani, jadi kamu harus istirahat sekarang."
Dengan berat hati Rion berdiri dengan tangan yang menggenggam erat tangan Fina.
"Fina, ingat janjiku. Aku bakal urus semua ini. Jaga hati kamu untuk aku, ya," bisik Rion dan sukses membuat air mata Fina kembali luruh.
Iya, Evan, batin Fina sambil menahan sesak di dadanya.