Seorang gadis membuka jendela lebar-lebar, membiarkan semilir angin menyapu kulit wajahnya. Gadis itu menyipitkan matanya ketika matanya menangkap gumpalan asap yang terlihat keluar dari cerobong tinggi di sebuah rumah bertingkat, sangat menarik kelihatannya. Pemandangan di kota ini yang bisa membuat hatinya sedikit tenang, dan bertahan untuk hidup setelah mengalami beberapa kejadian yang tidak bisa dia lupakan.
Darlington, kota yang terkenal dengan stasiun kereta apinya, menjadi tempat pelarian Fina untuk melanjutkan hidup dan melupakan masa lalunya. Sudah beberapa tahun menetap di Darlington, membuat Fina lebih dewasa dari sebelumnya. Dia sudah banyak belajar dari masa lalunya, untuk tetap bersabar, walaupun dulu kesabarannya hampir lenyap dan hampir membuatnya mengakhiri hidupnya. Dari masa lalu, dia bisa belajar untuk tetap kuat dan bertahan demi kebahagiaan.
Namun ada satu hal, Fina tidak bisa memungkiri kalau dia juga rindu dengan tanah kelahirannya, Indonesia. Setiap usaha yang dia lakukan untuk melupakan semua masa lalunya, tidak berhasil. Fina merindukan papa dan mamanya, serta Fani-kembarannya, walaupun mereka yang sudah berperan menyakiti batinnya. Mungkin Fina sudah melupakan semua apa yang mereka perbuat terhadapnya, tapi tidak dengan melupakan mereka. Fina sudah memaafkan semua kesalahan mereka. Menurutnya, hal yang bisa membuat diri bahagia, adalah ketika kita berusaha memaafkan dan mencoba berdamai dengan masa lalu, meskipun itu sangat sulit dilakukan.
"Gimana kabar kalian? Fina ... sangat merindukan kalian," lirih Fina sambil terus memandang pemandangan kota Darlington, lantas tersenyum samar.
Keinginan untuk kembali ke Indonesia itu ada. Mungkin setelah wisuda, dia akan kembali ke Indonesia.
Bukan cuma keluarganya yang Fina rindukan. Lilis juga. Bahkan dia belum sempat pamit kepada sahabatnya itu ketika memilih untuk pindah ke Darlington. Dia tidak bisa menemui Lilis terakhir kali, karena takut kalau keputusannya untuk ke Darlington bisa berubah jika bertemu dengan Lilis.
Dia juga sangat merindukan Rion, yang entah sudah menikah dengan Fani atau belum. Fina tidak pernah mengetahui bagaimana kabar lelaki itu selama dia berada di Darlington. Fina rasa dia masih mencintai lelaki itu, sepenuhnya. Entah mengapa, janji yang pernah diucapkan lelaki itu, membuat Fina selalu berharap. Berharap bisa bersama lagi.
Arel, yang membantunya pergi ke kota ini, sudah berusaha untuk menggantikan posisi Rion. Lelaki itu bahkan rela jauh dari orang tuanya, hanya untuk menemaninya beberapa tahun belakangan di Darlington. Arel sangat baik kepadanya. Dia yang sudah mengurus surat pindahnya ke Darlington, tanpa diketahui siapa-siapa. Papa Arel juga termasuk orang yang sangat berpengaruh, sehingga Arel meminta bantuan papanya untuk mengurus beasiswa Fina di luar negeri. Lantaran memiliki otak yang cerdas, Fina bisa melanjutkan sekolahnya dengan beasiswa prestasinya, jadi dia tidak terlalu merepotkan Arel.
Sekarang Fina juga mempunyai penghasilan sendiri, yakni dari cafe miliknya. Fina sebelum pindah ke Darlington, membongkar semua rekening dan ATMnya.Ternyata lumayan banyak tabungannya. Jajan yang diberi papanya memang sebagian dia tabung. Dan dengan bermodal uang tabungannya, Fina berhasil mendirikan sebuah cafe. Hasilnya lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan hidupnya di Darlington. Tidak mungkin juga dia terus bergantung kepada Arel. Dia sudah banyak merepotkan lelaki itu.
Meskipun semasa sekolah dulu Arel adalah sosok bad boy, sekarang lelaki itu sudah menjadi orang sukses. Dia sudah mengambil ahli perusahan papanya sepenuhnya. Lelaki itu sudah beberapa kali menyatakan perasaannya kepadanya, namun hati Fina masih sepenuhnya diisi Rion. Siapa bilang kalau Arel tidak pernah membuat seorang Fina hampir terjebak dalam pesonanya? Arel itu lelaki tampan, baik hati, dan sangat perhatian. Terlebih ketika dia sudah tidak mengetahui kabar Rion, Arel benar-benar menjadi sosok "penguatnya".
Namun Fina tidak ingin memberi harapan yang tinggi bagi Arel. Lelaki itu harus mendapatkan perempuan yang sepenuhnya tulus kepadanya, bukan? Dan perempuan itu tentu saja bukan dia.
Fina menoleh ke atas nakas ketika ponselnya berdering nyaring. Itu lelaki yang barusan dia maksud. Arel Setiawan.
"Halo?" sapa Fina, berusaha terdengar riang. Arel sudah satu tahun berada di Jerman,untuk mengurus cabang perusahannya yang ada di sana.
"Hai, gimana kabarmu? Kamu baik-baik saja di sana? Kenapa tidak mengabariku?" cecar Arel membuat Fina menggeleng-gelengkan kepalanya. Lelaki itu memang "lumayan" cerewet ketika mereka pindah ke Darlington beberapa tahun yang lalu.
"Fina baik-baik aja, Kak. Lagian juga Fina beberapa minggu ini jarang megang ponsel karena Fina sibuk ngerjain skripsi. Cerewet banget sih, Kak," sungut Fina membuat Arel dari seberang terkekeh pelan. Satu minggu ini Fina tidak memegang ponselnya, lantaran sibuk dengan skripsinya.
"Masih sibuk, Fin?" tanya Arel
"Udah enggak, Kak. Tinggal nunggu wisuda aja," jawab Fina semangat.
"Ciee yang bakal jadi calon dokter," ucap Arel sedikit menggoda.
"Perjalanan masih panjang, Kak. Masih ada beberapa tahap lagi," cibir Fina. Fina memang mengambil jurusan kedokteran. Walaupun Fina tahu kalau ingin menjadi seorang dokter itu butuh proses yang lama, dia tetap kekeuh untuk mengambil jurusan itu.
"Iya, iya. Pasti kamu baru bangun, terus lagi mandang cerobong asap rumah bertingkat itu, kan?" tebak Arel lalu kembali terkekeh.
"Kakak tahu dari mana?"
"Tentu saja aku tahu itu, Fina. Aku tahu kebiasaanmu."
"Hehe," kekeh Fina ketika mendengar itu. "Abis indah banget. Makanya Fina betah di sini."
"Pasti kamu kangen sama orang yang di Indo, bukan?" tanya Arel dari sana. "Termasuk Rion," lanjutnya.
Fina terdiam. Ucapan Arel memang benar. Dia selalu merindukan Rion. Fina sudah memantapkan hatinya untuk melupakan Rion karena lelaki itu tunangan kembarannya dulu, bahkan mungkin sekarang mereka sudah hidup bahagia bersama. Tapi, perasaan Fina tetap sama, bahkan semakin bertambah.
Fina merasa tidak pantas menjadi orang yang diperjuangkan Arel. Ketika bersama lelaki itu, rasa bersalah terus menghinggapinya.
"Kamu masih mencintainya?" tanya Arel membuat Fina merapatkan bibirnya. Sekeras apa pun dia mengelak, hatinya tetap tidak bisa berbohong kalau dia masih mempunyai rasa terhadap Rion. Fina tentu tahu kalau Arel sebenarnya merasakan sakit hati ketika dia menggoda Fina tentang Rion, atau membahas Rion kepadanya.
Fina sudah berusaha keras membuka hatinya untuk Arel, namun lelaki itu tetap tidak bisa menggeser posisi Rion. Kedengaran cukup gila, ketika dia masih mencintai tunangan kembarannya sendiri. Arel sudah terlanjur mencintai Fina dan ingin selalu melindungi gadis itu, walaupun tahu kalau Fina tidak bisa membalas perasaannya.
"Fina?" panggil Arel membuat Fina tersentak dari lamunanya.
"Iya?"
"Kenapa diam saja?"
"Tidak apa-apa, Kak," sahut Fina dengan suara yang dibuat sesantai mungkin. Rasanya dia benar-benar seperti gadis jahat yang tidak bisa menerima Arel yang selalu membantu dan menjaganya selama ini, hanya karena lelaki lain yang sudah memiliki hubungan dengan kembarannya.
Bahkan Rion tidak pernah mencari keberadaannya selama ini. Orang tuanya juga. Mereka sepertinya tidak peduli di mana dia berada.
"Yaudah, sana mandi. Habis itu makan. Nanti sore kita bertemu di Raby Castle," kata Arel membuat Fina kembali bereaksi. Matanya tetap memandang ke asap yang keluar dari cerobong di sana.
"Mau ngapain, Kak?" tanya Fina penasaran, namun belum sepenuhnya menyerap perkataan Arel.
"Eh? Kakak di Darlington? Kok nggak bilang-bilang?!" cecar Fina setelah sadar.
"Kejutan," ujar Arel dari sana sambil tertawa.
"Kakak di mana sekarang?"
"Rockllife Hall."
"Fina, kamu nggak usah nunggu di Raby Castle nanti. Aku yang akan jemput kamu."
"Kita mau ke Raby Castle?" tanya Fina girang. Dia sangat suka ke sana. Apalagi tamannya yang sangat indah, membuat Fina tidak bosan ke sana meskipun sudah berkali-kali.
"Iya. Senang?"
"Banget, Kak?" seru Fina membuat Arel di sana ikut senang. "Kenapa nggak sekarang aja, Kak? Ini Fina juga nggak tahu mau buat apa," lanjut Fina tidak sabar.