Brenda berjalan santai menyusuri koridor, seraya meniup permen karet yang sudah ia kunyah sejak berangkat ke kampus tadi. Suasana hatinya pagi ini sudah dibuat rusak oleh seorang gadis yang menabraknya dengan tidak sengaja.
"LO KALO JALAN JANGAN CUMA PAKE KAKI DOANG DONG. MATA LO NGGAK BERGUNA APA?!" Suara Brenda berhasil membuat semua pasang mata menatapnya. Sepagi ini Brenda sudah berteriak dan membuat onar di kampus.
"Sorry nda. Lagian gue nggak sengaja" kata gadis itu, merasa bersalah.
"Makanya, mata itu dipake bukan buat pajangan aja" kata Brenda kesal dan langsung meninggalkan gadis itu.
Bukan hal yang mengejutkan bagi semua mahasiswa yang sudah mengenal Brenda. Tapi bukan hal yang wajar bagi Leon yang baru melihat sikap Brenda yang berlebihan seperti itu. Padahal sedikit pun Brenda tidak terluka atau jatuh ketika di tabrak oleh gadis itu. Bahkan saat pertama kali Leon bertemu dengan Brenda, dia sudah dibuat kesal oleh Brenda yang bersikap judes.
Leon merupakan mahasiswa pindahan baru di kampus ini sekaligus sensei karate di sini. Wajar saja jika dia tidak terbiasa dengan sikap judes Brenda.
"Cantik cantik judes banget sih" gumam Leon pada dirinya sendiri, heran akan cara bicara Brenda yang terlalu kasar.
Sepagi ini Brenda sudah berniat ingin bolos jam kuliah dan pergi ke kantin. Tapi niatnya di cegah oleh Adda yang tiba tiba sudah berdiri di belakangnya.
"Mbak, kelas mbak ada disana. Dan ini sudah masuk jam kuliah" kata Adda menghentikan langkah Brenda.
"Adda? Lo ngapain ada disini, bukannya kerja sama papa?" Kata Brenda santai.
"Maaf mbak, tapi ini perintah dari bapak. Dan sekarang saya sedang kerja" ujar Adda dengan gaya formalnya.
"Maksud lo? Lo disuruh mata matain gue?" Brenda membelalakkan matanya.
"Bukan memata matai, mbak. Bisa disebut untuk menjaga mbak Brenda selama berada diluar rumah".
"Sama aja, lagian gue bukan anak kecil yang harus diawasi. Mending lo pulang aja, cari kerjaan gitu kek, selain ngintilin gue" Brenda langsung pergi melewati Adda begitu saja, sedangkan Adda terus mengikuti Brenda dari belakang.
"Ngapain sih lo masih ngikutin gue aja?" Berenda menghentikan langkahnya.
"Maaf mbak. Tapi ini pekerjaan saya"
"Oke. Sekarang gini deh. Lo gue bebasin dari pekerjaan lo. Dan sekarang lo bisa ngapain aja, atau lo kintilin aja tuh Gabriel" Brenda memutarkan bola matanya kesal.
"Ta–Tapi mbak_"
"Nggak ada tapi tapian. Nanti kalo gue butuh lo, gue bakal telfon lo. Stay online your handphone" Brenda menunjuk pada tablet lebar dan tipis yang di pegang oleh Adda sejak tadi.
"Baik mbak" Adda langsung balik badan meninggalkan Brenda begitu saja.
"Dasar!!, kenapa sih otak orang orang ini nggak ada yang waras. Emang gue ini anak kecil apa"
Brenda duduk bersila sendirian di atas tribun lapangan basket, seraya mempermainkan bola basket ditangannya. Pikirannya kosong, pandangannya mengedar ke seluruh lapangan. Melihat mahasiswa lain yang sedang bermain basket di lapangan itu.
Suasana berubah ketika sebuah bola basket mengenai kepalanya. Berhasil membuat Brenda murka. Sedangkan orang yang tidak sengaja menembakkan bola basket ke kepala Brenda terdiam ditempatnya, seolah tau apa yang akan terjadi padanya.
"SIAPA YANG NGELEMPAR BOLA BASKET INI HAH?!" Brenda berdiri di atas tribun seraya mengangkat bola basket yang mengenai kepalanya.
"Maaf, nda. Gue nggak sengaja, lagian lo ngapain sih ada disitu?" Kata pria itu merasa bersalah dan mencoba membela dirinya.
Brenda meloncat dari tas tribun mendekati pria yang menjawab kalimatnya. "Lo kalo nggak bisa main ngaku aja, nggak usah nyalahin orang lain" kata Brenda dengan nada tinggi tepat di hadapan pria itu.
Seseorang melihat perdebatan Brenda dengan pria itu. Leon
Dia merasa begitu heran kepada Brenda yang begitu judes, dan tidak mau mengalah. Wanita yang begitu cantik, tapi perilakunya tak secantik wajahnya. Atau ini hanya faktor tertentu yang bisa mempengaruhi sifatnya? Pikir Leon, matanya masih tertuju pada Brenda yang marah marah tidak jelas pada pria itu
Detik berikutnya ponsel Leon berdering, panggilan dari Astrid.
"Hallo? Ada apa trid?" Kata Leon begitu panggilannya tersambung.
"Lo sekarang ada dimana?" Suara Astrid terdengar di seberang sana.
Mereka sama sama mahasiswa baru di universitas ini. Bedanya mereka berasal dari kampus yang berbeda, namun sudah saling mengenal sebelumnya. Bahkan tujuan Astrid pindah ke universitas ini hanya untuk mengikuti Leon.
"Lagi di lapangan olahraga" Leon berkacak pinggang menunggu respon Astrid selanjutnya.
"Ke kantin yuk, gue tunggu ya"
"Oke gue susul sekarang" kata Leon, lantas memutuskan panggilannya dan memasukkan ponselnya kedalam saku. Tapi matanya tak lepas dari Brenda yang terus marah marah di tengah tengah lapangan sana.
Menit berikutnya Leon mengeluarkan ponsel dari sakunya setelah berada dikantin. Berniat akan menghubungi Astrid yang mengajaknya ke kantin. Selang beberapa menit Astrid sudah berada di ambang pintu, matanya mengedar mencari keberadaan Leon yang jaraknya cukup jauh dari tempat ia berdiri. Leon pun melambaikan tangannya memberikan arah untuk Astrid.
Astrid mendaratkan bokongnya di kursi tepat dihadapan Leon. Seorang laki laki yang amat di harapkan oleh Astrid. Wajahnya yang membuat semua wanita terpesona, postur tubuhnya yang six pack, serta keahliannya dalam bidang karate yang tidak main main, tak lupa juga dalam bidang akademik yang membuatnya semakin di idamkan idamkan oleh semua wanita.
"Maaf ya, gue ke toilet dulu" kata Astrid yang baru saja datang.
"No problem. Gimana hari pertama masuk kuliah kemarin?" Tanya Leon pada Astrid yang baru saja pindah kampus dari Surabaya ke Jakarta.
"Hari pertama yang suram. Lo tau nggak sih, di kampus ini ada satu cewek yang nyebelinnya minta ampun. Dan lo tau? Cuma gara gara gue nempatin tempat parkirnya aja dia udah nyoret nyoret mobil gue pake spray paint" kata Astrid kesal mengingat akan kelakuan Brenda yang sangat keterlaluan.
"Terus kenapa nggak dilaporin ke dekan?" Leon mengernyitkan dahinya, seraya mengaduk ngaduk minuman di depannya.