"Mbak, bapak ngelarang saya buat ngasih izin mbak bawa mobil sendiri" kata Adda, sepagi ini sudah membuat suasana hati Brenda berantakan.
Bahkan setiap hari suasana hati Brenda sudah berantakan. Ditambah dengan semua kesahariaannya yang dia lakukan di kampus sendirian. Tanpa ada teman atau seseorang saja yang bisa mendengar curahan hatinya.
Jangan tanya tentang Gabriel. Dia tidak pernah bisa diajak bicara serius, bahkan soal cinta saja dia masih morat marit. Meskipun dia menjadi pria idaman para gadis di kampus.
Ibu Brenda sudah tiada sejak Brenda masih duduk di bangku kelas 2 SD, saat itu Andika dan istrinya mengalami kecelakaan parah saat pulang dari kerja tengah malam. Kondisi yang mengantuk dan lelah membuat Andika tidak fokus menyetir. Dan membuat mobilnya menabrak truk yang melintas di depannya. Saat itu juga ibu Brenda kehilangan nyawanya.
"Ah, emang lo siapa sih, beraninya ngelarang gue! Minggir! gue mau kuliah" Brenda menyingkirkan Adda yang berdiri disamping pintu mobilnya.
"Tapi mbak. Ini perintah dari bapak" elak Adda.
"Lo nggak akan diberhentikan kerja, kalo lo nggak ngadu ke papa" sekali lagi Brenda mencoba menyingkirkan Adda dari jalannya, kali ini ia berhasil membuka pintu mobilnya. Lantas masuk kedalamnya.
"Maaf mbak, tapi saya akan ikut dengan mbak, Brenda" Adda ikut masuk kedalam mobil yang akan dikendarai oleh Brenda dan duduk di kursi penumpang.
"Lo kok nyebelin banget sih. Keluar sekarang" perintah Brenda setengah berteriak, namun Adda tidak bergerak sedikitpun.
"Oke kalo lo nggak mau keluar, gue yang keluar".
Brenda langsung keluar dari mobil yang sebelumnya. Dia pindah ke mobil satunya yang berbaris bak dealer di rumah besar nan megah itu. Sebelum Adda kembali mengganggunya, Brenda langsung menancapkan gas dengan kecepatan diatas rata rata.
"Mbak, jangan pergi dulu" teriak Adda ketika turun dari mobil dan menemukan Brenda yang sudah menancapkan gas keluar dari halaman rumah.
"Ada apa sih? Pagi pagi udah teriak teriak aja" Gabriel yang baru turun dari kamarnya sudah dibingungkan dengan keributan digarasi.
"Maaf mas, tapi jika salah satu diantara kalian sudah ada yang bawa mobil, maka satunya harus ada yang diantar. Dan mbak Brenda sudah bawa mobil jadi mas Gabriel harus saya antar" kata Adda dengan formal.
"Apaan sih, emang gue anak kecil? Gue bisa kali jaga diri sendiri" kata Gabriel langsung masuk kedalam mobilnya dan langsung mengunci pintu mobilnya agar Adda tidak melakukan hal yang sama padanya, seperti yang dilakukan pada Brenda.
"Mas, tapi bapak sudah melarang saya" Adda mengetuk ngetuk kaca mobil yang akan dikendarai Gabriel.
"Kalo lo nggak ngasih tau papa. Lo nggak akan kena marahi kok" Gabriel lambaikan tangannya tak peduli dan langsung meninggalkan Adda dengan tanggungjawabnya yang tidak terpenuhi.
"Astaga, kenapa aku mengambil resiko sebesar ini". Adda mendongakkan kepalanya ditengah tengah halaman rumah
Wanita yang memiliki disiplin tinggi, profesional dalam bekerja, selalu rapi dengan baju formalnya, dan sekarang dia harus dihadapkan dengan dua orang yang benar benar menguji kesabarannya. Bahkan sudah lebih dari sepuluh tahun Adda bekerja bersama keluarga Andika, dan selama itu juga Adda terus terusan di buat mengalah oleh kedua anak itu.
Dari pagi hingga siang ini Brenda tidak mendapatkan masalah apapun, dan hatinya lebih tenang dari biasanya. Tapi disela sela itu Brenda juga kesepian. Apa yang harus dia lakukan ketika satu teman pun tidak dimilikinya. Jawabannya adalah menulis imajinasinya.
Selain pandai karate Brenda juga memiliki imajinasi yang bagus. Bahkan dia sudah menulis beberapa novel dengan beberapa genre. Kebanyakan bergenre teenlit, imajinasi tentang keseharian yang dia inginka. Yang sayangnya tidak terwujud di kehidupan nyata.
Meski sudah diterbitkan oleh penerbit pilihannya, tapi Brenda merasa kurang puas karna pembacanya selalu berkomentar macam macam tentang tulisannya. Tapi komentar itu tak membuat Brenda berhenti untuk menulis, dia terus ingin menciptakan karya terbaiknya dan tak akan menyerah begitu saja.
Hampir dua jam sudah Brenda menghadap laptopnya di taman kampus. Mata Brenda sudah perih akibat layar monitor. Dia pun memilih untuk menyudahi kegiatan menulisnya.
Brenda menuju ke doja tempat latihan karate yang disediakan di kampus, dengan menenteng tas di punggungnya. Brenda mengganti baju kuliahnya dengan dogi dan sabuk coklat yang sebentar lagi akan berganti warna hitam.
"Siapa yang mau lawan gue?" Tantang Brenda ketika dia sudah siap dengan pakaiannya.
Disana sudah terdapat beberapa karateka yang siap untuk berlatih hari ini. Sayangnya sensei masih belum datang dan membuat mereka menunggu.
"Ayolah guys, gue lagi butuh lawan nih" pinta Brenda nadanya melembut.
"Oke. Reno sini maju" perintah Brenda. Tanpa disuruh dua kali Reno yang disebut Brenda langsung maju.
Tanpa aba aba Brenda langsung menyerang Reno. Reno pun tak mau kalah dan ikut menyerang balik. Sayangnya kemampuan Brenda lebih mantap dibanding dengan Reno. Menit berikutnya Reno sudah dibanting oleh Brenda.
Suara tepuk tangan terdengar dari ambang pintu. Seseorang yang pernah dilihat Brenda berdiri disana. Leon.
"Tak tik yang bagus. Sayangnya lo terlalu banyak ngeluarin tenaga" Leon tersenyum sinis seolah mencibir Brenda.
Suasana hati Brenda sudah mulai kacau ketika permainannya di beri komentar. Padahal dalam hal karate dia rasa di cukup jago. Tapi si Leon ini malah mengomentarinya. Dan lebih mengesalkannya lagi, Brenda masih belum menemukan pelajaran yang cocok untuk membalas pria ini.