Andika merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Tubuhnya terasa berat jika harus menaiki tangga menuju kamarnya. Ia lirik jam yang tergantung pada dinding abu-abu itu, sudah setengah 6. Lama juga ia pergi menemani Angel berbelanja tadi.
Memejamkan mata sejenak, Andika langsung terduduk, benaknya mengingat jika tadi ada pesan dari teman virtualnya Raya. Ia benar-benar sibuk tadi sewaktu berbelanja, karena Angel mengajak memutari satu toko yang sangat luas itu.
Ia keluarkan ponsel hitam itu dari saku celananya, lalu membuka menu pesan masuk. Pesan dari Raya bertambah lagi rupanya. Ia buka pesan pertama yang berisikan ‘Dikaaa, Raya mau ngomong sesuatu boleh?’ Itu pesan yang dikirim sekitar jam 3 tadi, sesaat sebelum Raya menelponnya. Lalu membuka pesan kedua, yang dikirim sekitar 30 menit setelahnya. ‘Maaf.’ Hanya itu pesan yang tertulis.
Andika nampak bingung dengan pesan terakhir dari Raya. Ada sedikit rasa bersalah yang memenuhinya saat ini. Dalam benaknya ia menimbang-nimbang apakah akan menghubungi Raya balik atau tidak. Tapi ia benar-benar penasaran dengan apa yang akan Raya katakan padanya, dan mengapa ia meminta maaf?
Hati dan pikirannya sedang tak sejalan sekarang, maka dari itu Andika memutuskan untuk mandi agar pikirannya sedikit tenang. Namun lagi-lagi ia salah, benaknya masih tetap memikirkan teman virtualnya itu. Tak seperti kemarin-kemarin, kali ini ia benar-benar tak bisa mengatasi pikirannya.
“Mas, makan dulu.” Panggil Ibunya dari balik pintu yang membuyarkan pikirannya.
“Ia bu.” Balas Andika sambil membuka pintu kamarnya.
Suasana makan malam di rumah itu tenang seperti biasa. Tidak-tidak, biasanya tidak akan setenang ini. Andika pasti akan menjahili adiknya dengan menambahkan sayuran yang banyak di piring. Tapi kali ini Andika hanya diam menikmati makan malamnya, tanpa menoleh ke arah adiknya. Hanya fokus pada piring dihadapannya.
“Mas darimana tadi?” tanya Ibunya memecahkan keheningan.
“Jalan sama pacarnya bu.” Celetuk Nayla.
“Hush kecil-kecil ngomongnya pacaran.” Balas Ayahnya yang terheran dengan jawaban si bungsu yang baru berumur 6 tahun itu.
“Mas beli perlengkapan eskul tadi di toko Merah Bu. Besok harus di kumpulin buat perkemahan minggu depan.” Jawab Andika tanpa menatap lawan bicaranya.
Sang ibu menatap heran anak laki-lakinya itu. Ada sedikit berubahan pada anaknya akhir-akhir ini. Sikap sedikit pendiam, dan terlihat murung beberapa kali. Ia juga tak pernah mendengar anaknya bertelpon dengan tawa yang lepas seperti yang sering dilakukan beberapa minggu belakangan.
Seusai membereskan meja makannya, Andika bergegas menuju kamar. Dia butuh membaringkan diri untuk menenangkan pikirannya.
Tok.. tok.. pintu kamar Andika di ketuk.
“Mas, ibu boleh masuk?” tanya orang dibalik pintu, yang ternyata adalah ibunya.
“Masuk bu.” Andika membukan pintu kamarnya.
“Ibu mau ngomong sama mas. Bolehkan?” wanita yang selalu mencepol rambutnya itu berkata dengan lembut.
Andika terdiam sejenak. Saat ini pikirannya sedang tak bisa di ajak untuk berpikir dengan benar. Namun ia tak punya alasan untuk menolak ibunya.
“Ia bu, sini duduk.” Ajaknya sambil duduk di kursi belajar.
Wanita itu menatap wajah anaknya yang sedari tadi terus mengalihkan tatapannya.