My Fair Rebelle

DMRamdhan
Chapter #3

Pahlawan Pembela Kebetulan

Bayangkan sepetak lahan persegi panjang dengan salah satu sisi panjang merapat ke trotoar. Dengan batas berupa tembok abu-abu untuk setengah bagian bawah dan setengah atasnya jeruji besi warna hitam. Pagar itu setinggi fua meter lebih. Tepat di tengah-tengah pagar, terdapat gerbang geser berbahan jeruji besi, juga dicat hitam. Jam setengah enam pagi gerbang pagar itu telah terbuka, walau baru sebagian.

Berjarak enam meter dari gerbang, menjulang bangunan bertingkat tiga sekolahku. Kokoh dan modern, menghalangi kompleks gedung tua yang menempati setengah bagian terdalam dari petak lahan persegi panjang seluas setengah hektar. Memasuki gerbang pagar, kamu bisa langsung menemukan gerbang masuk gedung sekolah. Tapi, bukan gerbang itu saja yang bisa menjadi akses masuk; di ujung sebelah kiri gedung juga terdapat gerbang yang lebih lebar, berfungsi sebagai loading dock untuk truk sampah, truk angkut logistik sekolah atau barang dagangan kantin, semacam itu. Dan aku lebih suka lewat gerbang itu—kita sebut saja “Gerbang Sampah” karena selalu dilewati truk sampah sekitar jam sepuluh pagi.

Gerbang Sampah itu masih tertutup, tapi aku yakin tidak terkunci. Sepertinya Bah Arya, sang penjaga sekolah, selalu membuka gerbang ini terlebih dahulu, sebelum membuka gerbang pagar, lalu gerbang utama. Ini hanya hipotesa, tidak ada bukti dan aku merasa tidak perlu membuktikannya. Aku dorong sedikit gerbang baja bercat coklat itu, sejauh asal aku bisa masuk, lalu menutupnya kembali.

Lepas dari gerbang itu, kamu bisa menemukan boks besar yang biasa bertengger di bagian belakang truk sampah, kamu bisa membayangkannya? Boks sampah itu merapat ke benteng sekolah. Setelah melewati boks sampah itu ada sebidang tanah terbuka sekitar tiga kali tiga meter dengan sebatang pohon lengkeng persis di tengahnya; pohon itu cukup besar dan rindang, menghalangi pemandangan risi boks sampah dari kehidupan sekolah yang serba higienis, bersih dan suci.

Sebelum datang ke sekolah, aku sempat membeli nasi uduk untuk sarapan. Aku lewati boks sampah itu, mendekati benteng sekolah lalu duduk di sisi pembatas antara lahan terbuka dan lantai beton; membelakangi boks sampah, menghadap ke pohon lengkeng. Aku sarapan di sana. Yah, memang bukan tempat sarapan yang layak mengingat bau busuk sampah dari balik punggungku, tapi aku tidak terlalu peduli. Setelah lima menit, nasi udukku habis. Kuremas bungkusnya, bangkit dan berjalan mendekati boks sampah, kubuang bungkus nasi uduk itu. Lalu, aku dengar Gerbang Sampah terbuka. Aku mengintip.

Kulihat empat orang siswa memasuki Gerbang Sampah itu. Tiga anak kelas dua belas, satu anak kelas sepuluh. Punggung anak kelas sepuluh itu didorong-dorong oleh seorang dari kakak kelasnya, sementara dua yang lain menutup kembali gerbang sambil memeriksa sekitar kalau-kalau ada orang. Tentu saja aku segera tahu skenario apa yang sedang aku saksikan. Kamu juga bisa tahu, bukan?

Anak kelas sepuluh itu berkacamata dan memeluk tasnya seolah berusaha melindungi isinya.

"Mana hape lo?" tanya yang mendorong-dorong si adik kelas.

"Aku gak bawa!" pekik adik kelas itu tegas.

well, well, well, punya nyali juga dia, pikirku.

"O, ya? Kalo sampe ketemu, lo bakal nyesel!" seru si kakak kelas sambil merentangkan tangan, membalikkan badan si adik kelas dan berusaha merebut tasnya.

Lihat selengkapnya