Aku masih mengerenyit heran saat melangkah keluar Ruang Guru. Aku mengikuti langkah Alya, sementara Andika mendahului kami dengan langkah cepat—asumsiku, kembali ke kelasnya dan kembali membaca buku. Aku sendiri berniat ke mushola karena sebentar lagi azan Zuhur. Entah dengan tujuan Alya, tapi aku biarkan dia berjalan di depanku.
Keningku masih mengerenyit heran sambil menatap bagian belakang kerudung Alya.
Heran?
Ya, tentu saja aku heran! Cewek di depanku ini mau bikin klub baru? Berapa klub ekstrakurikuler lagi yang ia mau? Aku tidak menyangka Alya Belle Muthmainah bisa seserakah itu! Apa dia Ekskul Maniak? Kapten Voli Putri, anggota Klub Sains, FDI, lalu kandidat ketua OSIS. Sekarang dia membuat klub ekskul baru? Klub ekskul apa?
“Detilnya biar Alya sendiri yang menjelaskan,” kata Bu Sari setelah mengumumkan hukumanku saat tadi di Ruang Guru.
“Maaf, Bu. Sebelum lebih lanjut, ijinkan saya bertanya,” ucapku memotong perkataan Bu Sari.
“Silahkan,” respon Bu Sari sambil menyedekapkan kedua tangannya di atas meja. Ia tersenyum seolah suka dengan caraku meminta ijin.
“Saya menjadi anggota klub ini sebagai bentuk hukuman. Jadi … untuk berapa lama?”
Bu Sari tampak tercenung dan berpaling ke Alya. “Berapa lama, Al?”
“Karena baru dibentuk, ini kesempatan saya mendapatkan bantuan, Bu. Saya rasa selama menjadi siswa di sini, saya membutuhkan bantuan mereka,” jawab Alya.
“Eh, apa hanya karena memukul dia, saya mesti dihukum seumur hidup?” protesku sambil menunjuk Andika dengan jempolku.
Sebenarnya tidak ada niatku untuk protes. Tentu saja tidak! Dinamika yang bergerak di hadapanku ini memberiku peluang untuk bisa dekat dengan Alya, tentu saja aku tidak akan menolak. Hanya saja, aku pikir tidak ada salahnya memasang harga tawar sehingga kita tidak mudah disembarangi orang. Ya, kan?
“Lalu, bagaimana dengan dia? Kenapa dia ikut dihukum?”
“A-aku tidak dihukum!” sanggah Andika.
“Apa yang Ibu putuskan terhadap Andika bukan urusanmu, Nova,” kata Bu Sari. “Sebut saja Ibu punya interest tersendiri.”
“Baik. Saya mengerti. Tapi, bagaimana dengan masa hukuman saya?”
“Kita lihat perkembangan nanti,” jawab Bu Sari, kali ini dengan senyum licik yang kentara. “Sekarang pergilah, sebelum waktu istirahat habis. Nanti pulang sekolah Alya akan menemui kalian.”
Setelah dua puluh langkah dari Ruang Guru, aku beranikan berkata kepada Alya, “Aku penasaran bagaimana manajemen waktu kamu. Dengan segala kesibukanmu, sempat-sempatnya berpikir membuat klub baru.”
“Eh, apa?” responnya sambil melirikku. Dia tidak menghentikan langkahnya, hanya memperlambat hingga ia bisa berjalan di sampingku.
“Kamu Kapten Voli, kan? Juga anggota Klub Sains, FDI, belum lagi kandidat Ketua OSIS,” sambungku.
“Tidak lagi. Aku akan fokus sama klub ini,” jawab Alya.
“Eh, apa?” Kini giliranku berkata itu. “Su-sungguh? Kamu tinggalkan klub yang lainnya? Semuanya?”
“Ya, begitulah,” katanya, terkesan mendesah lesu.
Tentu saja seketika aku semakin penasaran. Dia berani meninggalkan semua prestasi berikut potensi di klub lamanya untuk membangun satu klub baru? Kenapa? Memangnya klub apa?
Tapi, aku tahan rasa penasaranku itu dan alih-alih berkata, “Mereka pasti kecewa ditinggalkan olehmu.”
“Ya, begitulah,” katanya lagi. “Kakak kelas di Klub Voli sempat bilang aku pengkhianat.”