My Fair Rebelle

DMRamdhan
Chapter #6

Firaun Complex

Firaun Complex?” tanya Alya.

Aku menarik napas.

“Kamu tahu bagaimana orang yang merasa berkuasa ingin memamerkan kekuasaannya?” tanyaku.

“Membangun piramid?” jawab Alya sambil mengacungkan telunjuk, memberiku isyarat kalau jawabannya itu setengah bercanda.

Aku tersenyum dan menjawab, “Menerapkan rasa sakit kepada orang lain.”

Kulihat kening Alya mendadak mengerenyit. Canda tadi hilang seketika. Ia tahu maksudku. Ia mengerti maksudku.

“Membangun piramid juga benar, tapi pencapaian Firaun itu dibangun oleh perbudakan dia terhadap Bani Israil, ya, kan? Lalu dia bunuh bayi-bayi laki-laki Bani Israil, mengaku Tuhan dengan sikap menantang, ‘Siapa yang bisa menghentikan aku?’”

“Lalu datang Nabi Musa,” timpal Alya.

“Singkatnya, Firaun membully Bani Israil, Nabi Musa diutus Allah menolong mereka, kabur lewat Laut Merah, sekaligus membinasakan Firaun dengan bala tentaranya. Tapi coba lihat kisah itu dari perspektif Bani Israil. Di Surat Asy-Syu’ara kalau nggak salah.”

Alya kesampingkan mangkuk mi-nya dan meraih ponsel. Sepertinya membuka aplikasi Quran.

“Bayangkan, di suatu tengah malam, Nabi Musa membangunkan kaumnya dan menyuruh mereka segera berkemas karena atas petunjuk Allah, Firaun akan menyerang di dini hari. Mereka melarikan diri ke arah timur.”

Aku ambil mangkuk mi Alya, sekedar memberi ilustarsi pada presentasiku.

“Bani Israil kabur berjalan kaki, Firaun dan pasukannya mengejar dengan kereta kuda,” kataku sambil menggeser mangkukku dan mangkuk Alya dengan laju yang berbeda, seolah pasukan Firaun sedang mengejar Nabi Musa dan kaumnya.

“Mereka akan tersusul,” tanggap Alya sambil merujuk ke ponselnya. “Seperti kata Bani Israil di ayat 61. Lalu di ayat berikutnya Nabi Musa menyangkal dan kemudian memukulkan tongkatnya ke Laut Merah dan laut itu terbelah.”

“Tapi sebelum itu, Al, bayangkan kondisi emosi Bani Israil ketika mereka sampai di Laut Merah. Fajar menyingsing, di hadapan mereka terbentang lautan, sementara di belakang mereka tampak kepulan debu pasir yang beterbangan oleh derap kuda pasukan Firaun. Kian mendekat dan kian mendekat.”

“Takut. Panik,” respon Alya setengah menggumam. Ia tampak merenung, sepertinya menghayati presentasiku.

“Benar. Nah, biasanya ketika takut seperti itu, akan muncul sifat asli seseorang. Mereka berpaling kepada Nabi Musa dan menyalahkannya, ‘Dahulu anak-anak kami yang dibunuh, sekarang giliran kami yang akan mereka bunuh. Kau yang membuat kami terbunuh!’ Tapi Nabi Musa membantah, ‘Kalla! Inna maiya rabbi sayahdini!—Tidak! Sungguh Tuhanku bersamaku! Pasti memberiku petunjuk!’ Aku suka membayangkan setelah Nabi Musa berkata itu, beliau melompat ke tepi laut dan memukulkan tongkatnya.”

Di akhir kalimatku itu, aku letakkan kedua tanganku di antara dua mangkuk itu, merenggangkannya, memisahkan kedua mangkuk itu, membangun ilustrasi lautan yang terbelah sekaligus jarak antara Nabi Musa dan Bani Israil dengan pasukan Firaun.

Lihat selengkapnya