My Fair Rebelle

DMRamdhan
Chapter #8

Kandidat Ketua OSIS

Jika kamu masuki gedung sekolah ini lewat pintu utama, pintu ruangan yang pertama kali kamu jumpai adalah Perpustakaan di sebelah kanan dan pintu Aula (merangkap lapangan voli dan bulu tangkis) di sebelah kiri. Keduanya memiliki dua daun pintu yang ukurannya lumayan besar; dari bahan kayu dan bercat hitam. Jika kamu teruskan langkahmu, setelah Perpustakaan kamu akan menemukan Ruang Guru, tapi pintunya tidak di sisi ini; kamu harus terus melangkah hingga akhir lorong dan beralih arah ke kanan, barulah kamu temukan pintu Ruang Guru.

Di depan pintu Ruang Guru itu terdapat teras sepanjang sisi bangunan dengan sisi terluar berakhir pada undakan lima anak tangga yang diapit oleh taman kecil. Undakan tangga itu cukup lebar dan bisa dipakai untuk bangku saat menonton pertandingan basket. Dan ya, kamu tidak salah kalau menebak di depan tangga itu terdapat lapangan basket. Di antara tangga dan lapangan basket terdapat tiang bendera, dan jika kamu menyeberangi lapangan basket itu, kamu akan dihadang barisan lima batang pohon kerai payung. Setelah menerabas barisan pohon itu, barulah kamu temukan gedung lama sekolah ini.

Gedung itu bertingkat dua, atau bertingkat tiga bila dihitung dengan loteng yang tampak dari luar ditandai oleh jendela melingkar persis di tengah gedung, lebih tinggi dari barisan pohon kerai payung. Atapnya tinggi dan curam, bentuk bangunannya memanjang dan simetris dengan garis tengah berada di antara dua jalur tangga yang membentuk tapal kuda; kental sekali gaya peninggalan kolonial Belanda.

Sebagai side-note, melihat bentuk tapal kuda jalur tangga itu, aku curiga, dahulu, di antara dua jalur tangga itu terdapat meja resepsionis meski aku tidak tahu pasti fungsi bangunan ini pada jaman dahulu—kalau melihat ruang kelasku, aku menyangka berfungsi sebagai bangsal rumah sakit, tapi aku tidak punya bukti dan aku merasa tidak perlu membuktikannya. Aku menceritakan ini hanya untuk memberimu suasana di ruang seperti apa kami belajar. Penghuni gedung lama semuanya kelas sebelas atau XI—Kelas IPA di atas (A sampai D), IPS di bawah (E sampai H).

Dari jalur tangga sebelah kanan aku turun, mengikuti Karissa yang katanya hendak ke Perpustakaan.

“Tugas apa dari Pak Handi?” tanyaku.

Gadis berjilbab dan berkacamata itu menoleh sebentar sebelum berkata, “Merangkum.”

Aku bisa mendengar nada merendahkan dari suara Karissa meski tidak terlalu jelas dan aku bisa mengerti. Tugas “merangkum” ini memberi kesempatan Pak Handi untuk tidur siang di mushola. Yah, aku tidak menyalahkan beliau; di siang yang panas seperti ini, tidur siang terasa menggoda—momen siesta. Tapi, aku tidak bisa membenarkannya juga. Jika beliau mau tidur siang, sebaiknya di kelas saja; setidaknya di kelas ada guru.

Di ujung tangga, Karissa hendak mengambil arah kiri untuk mengitari lapangan basket.

“Kita menyeberang saja, biar cepat,” usulku.

Umm, baiklah. Jika kamu tidak keberatan panas-panasan,” jawabnya sambil mengoreksi arah langkah.

Lepas dari rindangnya pohon kerai payung, panas menyengat benar-benar terasa di kepala, tengkuk dan kedua lenganku. Terus terang, ada niat mempersingkat masa terpapar panas ini dengan berlari, tapi melihat Karissa berjalan santai, aku merasa berkewajiban mengimbangi langkahnya.

“Maaf, kamu jadi panas-panasan seperti ini karena ideku,” kataku.

“Aku tidak keberatan. Apa kamu sekarang menyesal?” katanya sambil melirikku.

“Tidak. Aku hanya memilih jalur tercepat. Kelas akan liar tanpa otoritas kamu,” jawabku sambil mengangkat bahu.

Karissa terkekeh. “Kamu benar.”

Karissa bukanlah gadis kebanyakan. Kata “manis” mungkin lebih mewakili raut wajahnya dibanding “cantik”. Kacamatanya berbingkai tebal dan jarang merosot karena tulang hidungnya tampak menonjol agak di bawah antara matanya. Kulitnya agak gelap, posturnya tidak tinggi dan agak berisi. Hanya saja, dari sikap, gestur tubuh dan gaya bicara, Karissa adalah sosok yang mudah untuk didengarkan dan diikuti perintahnya. Konon ayahnya seorang Kolonel TNI Angkatan Darat, tapi aku tidak tahu pasti.

Memasuki teras Ruang Guru, kami mengambil arah kanan dan memasuki koridor di sebelah kiri. Di sana kami berpapasan dengan Alya. Dia membawa tumpukan buku untuk kelasnya. Sepertinya kelas XI-C bernasib sama dengan kelasku, bedanya mereka “merangkum” pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

“Hey, Nov! Nanti pulang kumpul di loteng sekolah, ya! Kamu tahu , `kan? Tangga samping kelas kamu?” katanya setelah tersenyum melihatku.

“Ya, aku tahu,” jawabku sambil mengangguk.

“Oke, sampai nanti.” Alya melangkah melewatiku, menuruni lima anak tangga dan setengah berlari menyeberangi lapangan basket sambil membawa tumpukan buku tanpa kesulitan berarti.

“Soal apa itu tadi?” tanya Karissa.

“Klub baru. Entah klub apa. Aku kena hukuman sama Bu Sari,” jawabku.

“Dan kamu mesti membantunya?”

Aku hanya mengangkat bahu. Kami lanjutkan langkah kami menuju Perpustakaan.

Lihat selengkapnya