Bel pulang sekolah telah setengah jam yang lalu berbunyi. Aku berdiri di antara pintu kelas dan lorong tangga menuju loteng sekolah. Di kelasku telah kosong. Sesekali aku melirik ke kiri, ke arah kelas XI-C, kelasnya Alya. Aku tidak tahu apakah Alya masih ada di kelasnya atau tidak, tapi karena dia memintaku berkumpul di loteng sekolah, dan satu-satunya jalan adalah lewat tangga di samping kelasku, maka menunggu di depan kelasku adalah pilihan terbaik.
Aku menunggunya sambil mengoperasikan ponsel. Aku coba cari tahu tentang Wolfram von Eschenbach. Aku temukan nama itu, tapi tidak menemukan kutipan yang aku maksud. Entah sudah berapa situs quotes yang aku masuki, masih belum aku temukan.
Apa Karissa keliru, ya? pikirku.
Mendapati benakku menyebut nama Karissa, aku mendadak termenung.
“Tenang. Nggak usah gugup kayak gitu. Aku gak nuntut jawaban kamu. Aku cuma mau bilang kalau aku memang suka kamu. Tapi, aku gak butuh variabel masalah tambahan dengan pacaran kalau kamu menerima perasaanku, juga aku tidak punya waktu buat sakit hati kalau kamu menolaknya. Aku cukup realistis. Aku nyatakan perasaanku hanya untuk menyingkirkan ganjalan dan mendorongku buat fokus maju.”
Benakku menumbuk kenangan dua jam yang lalu.
Man! Andai aku serealis itu! seru benakku. Lalu, entah setan apa yang muncul di benakku dan tiba-tiba membisiki pertanyaan, Tapi kalau yang bilang begitu Alya, kamu mau bilang apa?
Sempat aku tersipu dengan benakku sendiri, tapi dengan cepat pudar, buyar, bubar!
“Wolfram von .... Siapa itu?
Aku terperanjat dan hampir saja menjatuhkan ponselku. Alya telah berada di sampingku, mengintip layar ponselku. Aku benar-benar tidak menyadari kedatangannya.
Alya terkekeh melihat aku terkejut. Dia tidak sendiri, agak jauh di belakangnya Andika berdiri. Sepertinya Alya menjemput adik kelas itu terlebih dahulu.
“Yo, ah, keburu sore! Banyak yang mesti kita kerjakan,” kata Alya seraya berjalan melewatiku, hendak mencapai tangga di samping kelasku.
“Tunggu! Time-out!” seruku. “Memangnya kamu mau bikin klub apa? Jelaskan dulu!”
“Eh, aku belum cerita, ya?” kata Alya terdengar polos.
“Belum,” timpal Andika.
“Klub Bimbingan dan Konseling,” jawab Alya, dengan satu kaki di anak tangga pertama, dan telunjuk kanan mengacung.
Jawaban Alya mengonfirmasi dugaanku, tapi aku belum puas.
“Apa itu gak nyerobot guru BK?” kataku.
“Nggak lah! Malah membantu. Menjembatani antara siswa yang merasa memiliki masalah dan pihak sekolah. Coba selama ini, apa kamu pernah liat siswa yang menyengaja datang ke Bu Sari buat konsultasi?” tukas Alya.