Aku bukan pemalas, tapi aku juga tidak mau buang-buang energi untuk sesuatu yang tidak efektif, apalagi punya potensi masalah.
Masalah itu bernama Pak Zaenal, Wakil Kepala Sekolah urusan Sarana dan Prasarana Sekolah—mungkin kata “masalah” terlalu berlebihan, ya? Aku hanya berpendapat niat Alya akan tertolak bila berurusan dengan Pak Zaenal. Bukan apa-apa, tapi beliau guru yang sulit sependapat, apalagi dengan siswa.
“Kamu tanya Bah Arya juga, dia akan bilang, ‘Udah nanya ke Pak Zaenal?’ Lalu kamu tanya ke Pak Zaenal dan kemungkinan besar akan menolak kamu,” kataku.
“Aku sudah ada ijin dari Pak Zaenal,” sanggah Alya.
Dengan cepat aku timpali, “Ya, untuk menggunakan ruangan ini, tapi tidak dengan memindah-mindahkan barang-barangnya, kan? Lagipula, coba bayangkan proses memindahkannya.”
“Melelahkan,” tanggap Andika lesu.
“Rusak, hilang, atau berantakan di tengah jalan, atau apapun yang berpotensi menyalahkan kita. Dan ya,” kali ini aku berpaling ke Andika, “menguras tenaga dan buang-buang waktu.”
Andika tersenyum tipis, cukup senang mendengar aku mendukungnya. Sementara Alya merunduk dan berpikir. Jemari kanannya menyentuh dagu dan sorot matanya memberiku indikasi kalau Alya sependapat denganku dan dalam proses mencari solusi.
“Lagi pula lihat ini,” tambahku sambil berpaling dan menunjuk ke luar jendela. “Kalau kamu tanya ke Pak Zaenal, ada kemungkinan beliau menyarankan ruang lain dan kamu kehilangan pemandangan ini.”
Kata-kataku memancing langkah Alya menghampiriku; berdiri di sampingku dan melihat keluar jendela. Andika pun ikut menghampiri (ini tidak aku harapkan) dan berdiri di sebelah Alya.
“Tapi kita tidak bisa bekerja di dalam ruangan yang berantakan seperti ini,” ucap Alya.
“Tentu saja! Karenanya kita perlu memodifikasinya,” usulku.
“Modifikasi?” Alya berpaling menatapku.
Apa yang aku katakan selanjutnya bersifat organik—maksudku idenya muncul tiba-tiba, tanpa proses berpikir panjang. Aku berpaling dari jendela, dan sambil menjelaskan rencana memodifikasi ruangan ini. Kedua tanganku aktif memeragakan rencana yang aku harap bisa memperpendek rentang kerja beres-beres loteng ini.
“Kita bisa geser rak-rak itu menjauhi dinding, lalu barang-barangnya kita pindahkan ke balik rak. Bagian depan raknya, nanti kita bisa tutup dengan papan—berbahan kayu atau gips—sehingga nantinya rak-rak itu menyerupai dinding. Kita bisa cat atau tempel wallpaper.”
Kulihat gradasi sorot mata Alya menjadi berbinar. Ia suka rencana itu.
Aku melanjutkan. “Kita nggak perlu ruang yang terlalu luas, kan? Panjang ruang ini, kira-kira, ada delapan meter? Diambil dua atau tiga meter, nggak masalah, kan?”
“Ya, nggak masalah,” jawab Alya. “Ide bagus.”
“Untuk berjaga-jaga, kalau saja ada yang memerlukan barang-barang ini, kita rancang raknya biar bisa digeser buat akses mengambilnya,” usulku yang membuat kepala Alya manggut-manggut tanda setuju.
“Oke, dari mana kita mulai?” kata Alya semangat.
“Kita mulai dengan negosiasi,” kataku cepat-cepat sambil menepukkan kedua tanganku. “Aku bisa kerjakan sendiri, dengan fee yang bisa dinegosiasikan. Hitung per jam tentu tidak masalah, bukan?”
Ucapanku memancing dua pemandangan kontradiksi di hadapanku. Kulihat Andika berbinar seolah kagum melihatku mengubah situasi “kerja rodi” ini menjadi lahan bisnis, sementara Alya cemberut karena dia yang mesti menyediakan anggarannya.