Tampilannya agak goyang; jelas direkam pakai kamera ponsel dan dipegang tangan. Hanya saja, awalnya terarah pada sisi seberang seruas jalan yang aku kenal. Ruas jalan dekat tempat tinggalku. Aku tahu karena aku bisa melihat puncak gedung tempat kamar sewaku berada, terselip di tikungan di sudut layar. Ruas jalan itu tidak lebar, cukup untuk dua unit mobil kecil. Dan sepi, sangat sepi.
Ada saat tampilan video itu mengikuti gerak langkah seorang siswa memasuki pintu pagar salah satu rumah di seberang jalan. Atau lebih tepatnya siswi (aku pasang emoji senyam-senyum kalau bisa, tapi kupasrahkan saja itu pada imajinasi kalian). Ya, dia siswi sekolah ini juga, namanya Erin dan dia tampaknya sedang pulang sekolah—aku tidak mengenalnya, hanya sekedar tahu karena sering melihatnya. Saat menampilkan ini, Andika sempat mempercepat videonya dengan niat menutupi motif kenapa dia merekam video itu. Ya, cukup kentara kalau dia membuntuti cewek yang dia suka, tapi aku abaikan itu karena yakin bukan ini yang hendak ia perlihatkan.
Lalu tampilan beralih perlahan ke samping kanan, dan berhenti di sisi jalan yang sejajar dengan kamera ponsel. Tampilan membesar dengan fitur zoom dan memperlihatkan empat sosok di tikungan jalan (sempat aku perhatikan puncak gedung kamar sewaku, agak jauh di latar belakang video). Jim dan dua temannya, dan seorang pria berpenampilan necis ala sales, bahkan memakai rompi yang menampilkan produk furniture. Tapi, bukan furniture yang dia jual ke Jim. Kulihat pria itu menyerahkan semacam paket kecil, seiring Jim menyerahkan sejumlah uang (lembaran berwarna pink, kalau bukan uang, lalu apa?). Tampilan video mendadak berubah ketika salah seorang teman Jim melihat ke arah kamera. Tampilan video mendadak berubah. Sepertinya Andika takut dan berlari. Video pun berakhir.
Kamu bisa mengerti apa yang terjadi? Sebagai praduga tak bersalah, bisa saja Jim dan sales itu sedang transaksi COD non barang haram, ya, kan? Tapi, justru karena sikap mereka selanjutnya di tadi pagi, membuat video Andika mengarah pada asumsi mereka merasa terancam. Aku berasumsi, mereka melihat Andika merekam mereka, tapi tidak jelas dan tidak bisa memastikan. Jadi, tadi pagi, mereka hendak memastikan dengan memeriksa hape Andika.
“Dengar, ada kemungkinan Jim masih mengincarmu untuk memastikan ini,” kataku, merujuk pada video rekaman Andika.
Kulihat Andika berpaling. Ada takut dari sikapnya. “A-aku juga berpikir begitu.”
“Aku sarankan, hape kamu aku pegang. Nanti pulang sekolah kamu jalan kaki ke rumahku. Aku akan mengawasi. Kalau Jim sampai menghadangmu. Biarkan dia memeriksa tasmu. Dia nanti akan bertanya apa yang kamu lakukan di rentang waktu video itu kamu rekam. Cari jawaban yang meyakinkan. Nanti di rumahku, aku kembalikan hape kamu.”
“Rumahmu di mana?”
“Nggak jauh dari rumah Erin,” jawabku.
“Erin?”
“Cewek yang kamu buntuti itu—Hey, jangan bilang kamu nggak tahu namanya!”
Muka Andika memerah. “Ja-jadi … namanya Erin, ya?” gumamnya lirih.
Aku pasang muka cemberut dan mendorong wajahnya dengan tangan kiri sambil berkata, “Muke lu jauh, Lover Boy!”
Dia semakin tersipu malu meski tampak tersenyum lebar, menangkap penuh niat bercandaku.
“Kata-kata apaan tuh, ‘Muke lu jauh.’ Jadul banget! Emang setua apa lu?” dengusnya, mencoba membalas candaanku.
“Ekspresi spontan dari komedian legendaris Indonesia, Benyamin bin Sueb. Setara juga dengan ekspresi beliau yang lain, ‘Kingkong lu lawan!’ Memiliki emosi yang sama dengan pengharapan yang terlalu besar yang mustahil diwujudkan, seperti peribahasa, ‘Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai,’ atau peribahasa Sunda, ‘Cecenet mande kiara,’ yang terjemahannya adalah ‘Pohon cecenet melawan pohon kiara,’ Kalau kamu tidak tahu pohon kiara …, itu pohonnya!” jelasku dengan kecepatan konstan dan maksud melebih-lebihkan; bergaya ala detektif dalam anime yang sedang menunjuk pelaku kejahatan. Aku akhiri penjelasanku dengan menunjuk pohon di luar jendela. Lebay dan dramatis.
Andika tertawa makin keras. “Detektif Canon juga gak gitu-gitu amat, Nov!”
“Apa yang lucu? Eh, kalian sudah saling bertukar nomor?”
Alya telah kembali sambil membawa meteran gulung di tangan kiri. Dia baru melewati pintu dan melihat kami memegang ponsel masing-masing.
“Ya, sudah. Nomor kamu mana?” tanggapku, sedatar yang aku bisa, karena terus terang dadaku berdebar tiba-tiba. Tak pernah terpikir olehku bisa meminta nomor telepon Alya.
Alya merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel. “Nanti aku bikin grup, ya!” katanya.
Setelah bertukar nomor telepon, kami selesaikan urusan kami di loteng sekolah. Mengukur dan mencatatnya, merancang dan menyusun rencana biaya.
“Kalau mempertimbangkan daya tahan, aku sarankan papan GRC,” kataku saat membahas bahan penutup rak yang nantinya menjadi semacam ilusi dinding yang menutupi barang-barang lama sekolah.
Aku lihat Alya mengoperasikan ponselnya, dan aku yakin dia segera cari tahu tentang papan GRC. Dan aku tahu dia segera menemukan kata Glass-reinforced Concrete board atau papan berbahan semen dengan campuran serat kaca. Kulihat dia manggut-manggut sambil memegangi dagunya.