Kukembalikan ponsel Andika dan dia menerimanya dengan perasaan yang sepertinya gamang. Sorot matanya terkesan melamun. Mungkin masih shock dengan perbuatanku terhadap pistol temannya Jim.
“Sepertinya urusan ini sudah selesai, ya?” kata Andika pelan.
Aku menanggapinya hanya dengan mengangkat bahu. Aku merunduk untuk memunguti peluru-peluru di aspal jalan. Tentu saja aku tidak akan membiarkan barang seperti itu berserakan, bukan? Jika ada kesempatan, mungkin aku akan menyerahkannya ke polisi, entah kapan, entah pula alasannya.
Melihatku memunguti peluru itu, Andika juga membereskan bukunya yang masih tercecer.
“Kamu berpikir, urusan ini belum selesai, ya?” tanya Andika sambil menyelipkan kembali manganya ke dalam halaman-halaman buku IPA sebelum memasukkannya ke dalam tas.
“Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?” Aku balik tanya.
“Perasaanku saja. Tapi benar, kan?”
“Hanya satu langkah kecil, setelah itu bukan urusanku lagi. Kamu sebaiknya cepat pulang.”
“Sepertinya aku ingin ikut. Aku ingin melihat ini tuntas.”
Aku mendengkus pelan. “Urusan kayak gini nggak akan sepenuhnya tuntas. Biar aku yang urus. Bukannya tadi bilang aku menakutkan?”
Andika mengangkat bahu seolah menunjukkan sikap tak acuh. “Menakutkan … tapi keren. Siapa tau aku bisa ketularan keren,” ucapnya, terkesan berusaha mencairkan suasana.
“Tidak ada yang keren dari yang barusan aku lakukan …, hanya nekat,” gumamku dan pada saat bersamaan aku perhatikan tanganku saat memungut peluru terakhir. Gemetar. Ya, gemetar. Sepertinya akibat adrenalin yang mendadak reda.
Sudut mataku sempat melihat Andika memerhatikanku, tapi aku abaikan. Aku tidak peduli dengan apa yang dipikirkannya.
“Nop, keur naon maneh?”
Secepatnya aku berpaling saat mendengar suara memanggil namaku. Kulihat sosok laki-laki kurus berkulit gelap memasuki jalan ini dan menghampiri kami. Dia memakai celana jeans dan kaus hitam, juga rompi dari bahan jeans—lebih tepatnya jaket yang dirobek bagian lengannya untuk memperlihatkan tato di kedua lengannya. Aku mengenalnya, namanya Juhana, biasa dipanggil Mang Joe. Lidah Sunda mencegahnya melafalkan huruf V, jadi dia selalu memanggilku dengan Nopa. Dia preman sekitar sini, meski sehari-hari dia bekerja sebagai operator mesin sablon. Dia bertanya dalam bahasa Sunda yang artinya, “Nov, sedang apa kamu?”
Aku segera bangkit dan berdiri. “Eh, Mang Joe, mulih damel, Mang?” kataku, juga dalam bahasa Sunda yang artinya, “Pulang kerja, Mang?”
“Heu`euh. Ari maneh? Wayah kieu karek balik sakola? Bakating ku rajin, nya?” Mang Joe akhiri kalimatnya dengan tawa. (“Iya. Kalau kamu? Jam segini baru pulang sekolah? Rajin amat, ya?”)
Mang Joe kemudian mengalihkan perhatiannya ke Andika yang seketika Andika sambut dengan memalingkan wajah karena takut.
“Babaturan maneh?” tanya Mang Joe kepadaku. (“Teman kamu?”)
“Muhun, Mang,” jawabku mengiyakan, lalu segera aku ubah topik pembicaraan dengan bertanya. “Mang, apal Kang Arip dinten ieu salat magrib di mesjid mana?” (“Mang, tau Kang Arip hari ini salat Magrib di mesjid mana?”)
“Di mesjid Muhajirin, Nop. Hayu, urang oge deuk ka ditu. Sakeudeung deui Magrib,” jawab Mang Joe. (“Di mesjid Muhajirin, Nop, Ayo, aku juga mau ke sana. Sebentar lagi Magrib.”)
Aku mengangguk dan berpaling kepada Andika. “Sebaiknya kamu pulang.”
Kulihat Andika bimbang, tapi hanya sebentar. Ia kemudian berkata, “Aku merasa harus ikut … aku tidak tahu alasannya, tapi aku harus ikut.”
“Ya, terserah,” desahku, lalu berpaling ke Mang Joe. “Hayu, Mang.”
Kami mulai melangkah, namun sebelum jauh, aku berkata kepada Mang Joe, “Mang, ieu nepangkeun, rayi kelas abdi.” (“Mang, ini perkenalkan, adik kelas saya.”)
Aku tepuk pundak Andika untuk mendekati Mang Joe; aku yakin dia tahu kalau aku memperkenalkan dirinya, tapi jikapun tidak, Mang Joe mengulurkan tangan lebih dulu.