“Bi,” panggil Kang Arip kepada ajudannya, yang duduk bersila agak di belakang Kang Arip.
“Siap, Kang!” kata Obbi sambil beringsut mendekat.
“Cik maneh balik heula, pang mawakeun …,” Kang Arip lanjutkan perkatannya dengan berbisik ke telinga ajudannya. (“Kamu pulang dulu, tolong bawakan ….”)
“Siap, Kang,” ucap Obbi dan segera beranjak setelah mendapat instruksi Pak RW. Pria besar itu bergegas keluar mesjid.
“Aya naon ieu teh?” tanya `A Asep. (“Ada apa ini, sebenarnya?”)
“Lihat saja nanti,” jawab Kang Arip riang dan kemudian beliau menepuk tangan satu kali dan beralih kepadaku. “Jadi, Nov, menurut kamu, Akang harus bagaimana?”
Aku mengerenyit. Masih bingung. Aku tahu ada yang tidak beres dengan Kang Arip, tapi bukan dalam bentuk yang negatif. Beliau tampak senang dengan kehadiran Andika tapi entah alasannya. Penasaran menyita banyak perhatianku dan itu membuatku lambat merespon pertanyaan Kang Arip.
“Nov?”
Aku terperanjat. “Ma-maaf, Kang. Sebenarnya saya ingin Akang manfaatkan jaringan Akang untuk mengumpulkan bukti dan informasi. Jika benar yang mereka lakukan transaksi narkoba, saya yakin ada sumber yang lebih besar lagi,” jawabku.
Kang Arip manggut-manggut. “Cik ningali?” Kang Arip meminta ponselku dan aku memberikannya. (“Boleh lihat?”)
Beliau ulang tampilan video itu, lalu berpaling ke kiri dan ke kanan mencari orang. Beliau berhenti ketika menemukan Mang Joe di belakang `A Asep.
“Joe, maneh apal saha ieu?” tanya Kang Arip sambil menunjukkan ponselku kepada pria kurus bertato itu. (“Joe, kamu tahu siapa ini?”)
Setelah melihat tampilan video itu, Mang Joe tampak berpikir. “Teu apal, Kang, tapi sok ningali di kosan Hajah Romlah. Ke ku abdi urang taroskeun,” jawab Mang Joe. (“Tidak tahu, Kang, tapi suka lihat di kosan Hajah Romlah. Nanti akan saya tanyakan.”)
“Yang pasti, Kang, saya sangat berharap jangan sampai melibatkan murid-murid sekolah saya. Jangan sampai muncul jadi berita dan menjatuhkan nama baik sekolah,” pintaku.
“Ya, mengerti. Lalu, nanti Akang datang ke sekolah kamu, bicara kalau ada kemungkinan murid-muridnya ada yang pakai narkoba, supaya sekolah bisa menangani atau meneruskan ke pihak orang tua, begitu maksudmu?” tanggap Kang Arip.
“Benar, Kang.”
Lalu, tergopoh-gopoh Obbi kembali memasuki mesjid. Ia membawa dua buah buku—novel paperback. Aku sering melihat Kang Arip sedang membaca buku itu, dan sekarang melihat Obbi membawakannya untuk Kang Arip, intuisiku segera berusaha menemukan koneksi antara buku itu dengan Andika.
“Ieu, Kang,” kata Obbi sambil menyerahkan buku itu kepada Kang Arip, lalu pria besar itu kembali duduk di dekat Kang Arip agak ke belakang. (“Ini, Kang.”)
“Nuhun, Bi,” kata Kang Arip, berterima kasih. Lalu beliau buka halaman terakhir salah satu buku dan memperlihatkannya kepada Andika.
“Maaf lancang, ya, Cep Andika, tapi … ini bapak kamu, bukan?” tanya Kang Arip sambil memperlihatkan foto dan biografi author buku itu. “Mirip, soalnya.”
Aku juga ikut memerhatikan dan setuju kalau foto di halaman terakhir buku itu mirip dengan Andika. Namanya, E. Dane Praditya, Author dari novel silat “Tapak Darah Pendekar Bumi Anom”. Aku belum pernah baca; aku lebih suka novel berseting modern.
Wajah Andika menemukan hidupnya, malah kini beralih memerah karena tersipu. “Be-benar, Pak. Itu ayah saya.”
“Boleh nanti minta tanda tangan,” kata Kang Arip, berusaha datar dan bersikap biasa saja, tapi antusias di benaknya mengemuka cukup kentara. Beliau sodorkan dua buku dengan ilustrasi sampul yang sama namun berbeda warna.
“Sa-saya akan sampaikan …. Insya Allah.” Andika terima buku-buku itu dan memasukkannya ke dalam tas. “Besok, mungkin saya bisa titipkan ke Nova kalau sudah ditanda tangan.”
Aku tepuk pundak Andika cukup keras. “Nggak nyangka kamu anak novelis terkenal!” seruku.
“Au! Ah, gak bisa dibanggakan,” sanggah Andika setelah mengaduh akibat tepukanku.
“Loh, kenapa? Ceritanya seru! Pertarungannya terasa nyata! Kamu mestinya bangga sama bapak kamu!” kata Kang Arip berapi-api.
“Tong disaruakeun jeung maneh, Kang. Budak ngora mah teu pati resep kanu karitu,” timpal `A Asep. (“Jangan disamakan sama kamu, Kang. Anak muda gak akan terlalu suka sama yang begituan.”)
Setelah berkata itu, `A Asep secepatnya bertanya kepada Andika, “Cep Andika, kalau E itu kependekan dari Endang, bukan?”