Mungkin aku sudah gila, ya?
Bagaimana tidak? Akankah orang normal mencekik dirinya sendiri?
Terus terang, tidak ada niatku untuk bunuh diri. Hanya, menyakiti diri sendiri, mungkin ....
Paling parah aku pernah mencekik leherku sampai ada memar di pangkal leher di bawah telinga; hanya sekali. Biasanya aku melepas tanganku ketika aku kehabisan napas dan pandanganku mulai berkunang-kunang.
Sebabnya? Kamu tanya sebab kenapa aku sampai menyakiti diriku sendiri?
Emotional relief, mungkin? Kamu tahu, kan? Seperti menangis, bersedih, tertawa, bersorak, marah. Sesederhana itu, sebenarnya. Mungkin kadar sebab yang membuat bentuk emotional relief yang kubutuhkan mesti sedramatis mencekik leherku sendiri. Ya, bisa disebut trauma tapi …. Ini jelas bukan perbuatan yang patut ditiru—aku sendiri sedang berusaha mengatasinya.
Seperti saat ini ketika aku menatap gelap kamarku, tanganku hanya menyentuh leherku, tidak sampai mencekiknya. Lelah telah membuat hasrat menyakiti diri sendiri terasa … tidak penting. Ya, hari ini telah banyak yang aku lalui, bukan?
Aku lepaskan leherku dan bangkit. Kunyalakan lampu kamar dan memicingkan mata karena silau yang tiba-tiba. Lalu aku temukan kamarku sebagaimana aku meninggalkannya.
Diawali lorong pendek dengan pintu kamar mandi di sebelah kanan. Di sebelah kiriku ada ceruk untuk rak sepatu; aku buka sepatuku dan meletakkannya di sana, lalu aku masuk kamar mandi untuk cuci tangan, cuci kaki dan cuci muka.
Lepas lorong ada meja belajar di sebelah kiri berdampingan dengan lemari es kecil beserta rak peralatan dapur di sebelahnya, berlanjut dengan meja baja dengan kompor listrik dan ventilasi di atasnya. Ventilasi itu terhubung dengan bouvenlight di atas jendela geser yang bersebelahan dengan kitchen sink. Di bagian kanan setelah lorong terdapat ruang yang lebih luas dengan tempat tidur merapat ke dinding, lemari pakaian dan rak buku. Lepas dari lorong juga, lantai kamarku kulapisi papan kayu dengan karpet di atasnya; karpet biru tua yang menurutku sepadan dengan dinding biru pastel. Tidak ada TV—aku tidak punya.
Kugantung tas ranselku di kursi meja belajar dan kusimpan ponselku di charger dock di atas meja belajar. Lalu, aku buka lemari es, mengambil dua butir telur dan roti tawar; kusimpan di dekat kompor, ambil wajan dan memasak telur mata sapi. Menunggu matang, aku ambil piring dan meletakkan dua lembar roti tawar di atasnya. Lalu aku kembali ke lemari es untuk mengambil timun dan tomat; kuiris tipis dan menempatkannya di atas dua lembar roti tawar itu. Kamu bisa menebak aku bikin apa? Ya, roti lapis, tentu saja.
Kusimpan roti lapisku di atas meja belajar. Kubuka laci dan mengeluarkan laptopku, menyimpannya di meja belajar dan menyalakannya. Sambil menunggu booting, aku ganti seragamku dengan kaus dan celana training abu-abu. Lalu aku makan roti lapisku sambil menyaksikan sebuah tayangan video dari sebuah kanal musik relaksasi di laptop.
Selesai makan, kantuk mulai menerpa, tapi aku tahan sampai aku selesai menyiapkan sekolah besok; PR, tugas dan semacamnya. Di antara kalian mungkin ada yang komentar, “Rajin amat nih anak!” Tapi, jujur, aku hanya meminimalisir potensi masalah. Porsi sekolah aku kerjakan hanya sebatas selesai, aku tidak terlalu peduli dengan hasil. Dan sejauh ini, guru-guru tidak memerhatikan aku soal akademis; bergerak di balik bayang mediocrity.
Tapi tiba-tiba, kantukku hilang sempurna ketika kudengar getar ponselku dan mendapatkan notifikasi pesan dari Alya.
[Alya]
“Nov, kamu belum isi gugel form?”
[Anda]
“Belum. Baru sampe rumah.”
Tampilan ponsel mendadak berubah dan bergetar. Alya mencoba menghubungiku lewat Video Call. Entah aprehensif atau excitement (atau keduanya) yang segera mencekik perhatianku, tapi aku redam dengan menarik napas dalam-dalam sebelum membuka panggilan itu.
“Ya, assalamualaikum,” kataku setelah melihat wajah Alya memenuhi layar ponsel.
“Waalaikumsalam. Sori. Gak pa-pa, kan aku VC?”
“Ya, ga apa-apa. Ada apa?”
Kulihat Alya memejamkan mata sebentar, menarik napas panjang. Sepertinya yang hendak dia bicarakan cukup penting baginya.
“Bagaimana menurutmu tentang klub ini, Nov?” tanyanya, terdengar ragu.
Aku mengerenyit. “Kenapa tanya aku?” responku, yang terus terang seketika membuat benakku memaki, Bodoh kamu, Nov!