My Fair Rebelle

DMRamdhan
Chapter #16

Bangun Tidur Ku Terus Mandi, Tidak Lupa ..

Bangun tidur, kuterus mandi, tidak lupa ... gosok gigi? Tidak, aku tunda gosok gigi setelah minum kopi dan makan sekerat roti dan sebutir mentimun. Lalu gosok gigi, wudhu dan salat Tahajud. Banyak rakaat tergantung seberapa leluasa waktuku. Malam ini aku berhasil sebelas rakaat.

 Jam di ponsel menunjukkan angka 3:56 saat aku selesai salat. Dan seketika aku sadar, aku belum isi Google Form dari Alya.

 Ouch! Lupa! Bener-bener lupa!

 Sambil bersila di sajadah, aku isi form itu. Tidak lama; form Alya cukup sederhana dan tidak bertele-tele. Setelah itu, aku bangkit dan memakai seragam. Membereskan tempat tidur, siapkan tas, dan ganti air minum di botol untuk bekal. Untuk yang terakhir ini tidak jadi, batal, canceled, karena air galonku habis; rencananya aku mau beli kemarin, tapi waktuku habis tersita di luar rumah. Ya. kan?

 Well, que sera sera, gumam benakku sambil menyimpan botol itu di kitchen sink.

 Aku ambil tas dan ponselku. Keluar dari kamar sewaku, menuju mesjid untuk salat Subuh.

 Kamarku berada di tingkat tiga, bersebelahan dengan tangga. Ada empat kamar di tiap lantai gedung ini, dengan dua jalur tangga yang mengapitnya simetris. Rata-rata penghuninya pegawai kantoran, ada beberapa pagawai toserba, juga seorang penyanyi klub malam; hanya aku yang pelajar SMA. Mereka semua tahu siapa aku, karena mereka membayar uang sewa kepadaku; tunai. Aku setorkan setengahnya ke rekening Paman.

Pernah aku kasih ide supaya para penghuni itu langsung setor ke rekening Paman, biar Paman yang mengatur bagianku. Tapi Paman menolak dengan alasan supaya mereka mengenali siapa aku. Cih, jujur aku tidak peduli mereka mengenali aku atau tidak, tapi aku bisa menduga Paman tahu hubunganku dengan Kang Arip dan jaringan premannya, dan itu mempermudah urusannya—kalau ada apa-apa, yang kucarikan bantuan adalah anak buah Kang Arip, bukan Paman. 

Bisa dibilang, aku caretaker gedung sewa ini, jadi jika ada masalah penghuni, atau keadaan gedung, laporan langsung datang kepadaku, tidak kepada Paman. Kamu ingat Andika pernah menyebutku persis kuli? Nah, sekarang kamu bisa menebak dari mana pengetahuanku soal bahan bangunan, kan?

Di lantai dasar, hanya ada dua kamar karena bagian tengahnya kujadikan lahan parkir sepeda motor penghuni. Demi keamanan, setiap sepeda motor memilik “kandang” masing-masing yang telah termasuk biaya sewa dalam kontrak, dan jika ada yang membutuhkan “kandang” ekstra, maka dikenakan biaya tambahan. Kami tidak menyediakan parkir mobil, maaf. Aku sendiri punya satu motor matik, tapi hampir tidak pernah aku pakai.

 Mesjid tujuanku berada selang satu rumah dari kamar sewaku. Azan belum berkumandang saat aku sampai; kumanfaatkan jeda waktu itu dengan salat sunah dan membaca Quran.

 Selesai salat Subuh, aku beli sarapan di kedai nasi uduk di seberang mesjid—bukan kedai, sih, hanya meja di depan halaman rumah dan dikelola oleh istri Marbot (penjaga) mesjid, Bu Andin namanya. Ini membutuhkan waktu cukup lama ternyata, karena mesti antri; enak soalnya.

 Seperti biasa aku bawa sarapanku ke sekolah, dan menyantapnya di dekat boks sampah setelah melewati Gerbang Sampah, duduk menghadap pohon lengkeng. Kamu bisa bayangkan gradasi cahaya yang mengiringi perjalananku ini; dari gelap saat keluar kamar sewaku, hingga terang saat aku sarapan? Suasana telah terang saat aku selesai makan dan cukup terang untuk melihat sosok Bu Sari yang muncul dari sudut gedung baru sekolah.

 Beliau tersenyum melihatku sambil melangkah menghampiri.

 Aku remas bungkus nasi uduk dan mengambil tisu basah dari saku tas ransel untuk melap tanganku.

 “Kamu bisa tahan sarapan di tempat berbau busuk seperti ini,” kata Bu Sari setelah dekat.

 “Supaya mudah membuang sampahnya, Bu,” komentarku sambil beranjak dan membuang bungkus nasi uduk ke boks sampah itu.

 Bu Sari tertawa pelan. Lalu beliau duduk di tembok pembatas, di samping tempat aku tadi duduk.

 “Duduk di sini, Nov. Ibu mau bicara,” kata Bu Sari.

 Aku mengerenyit. Benakku segera membangun benteng pertahanan. Aku duduk di samping Bu Sari.

 “Bagaimana pendapatmu tentang Alya?” tanya Bu Sari.

 Aku mengangkat alis tinggi-tinggi, lebih heran dari pada mengernyitkan kening.

 “Cantik, orangnya baik,” jawabku, “Ibu mau menjodohkan aku dengan Alya?”

 Bu Sari tertawa, menyenggolku dengan pundaknya, lalu membenahi diri untuk bicara serius, “Serius, Nov! Maksud Ibu, dia sepertinya berusaha menjadi sosok yang sempurna. Kamu kemarin sempat berinteraksi dengannya, kan?”

“Saya sepertinya kurang setuju, Bu. Dia bersikap apa adanya, cenderung ceria,” jawabku, meski benak sempat mengingat kalau aku pernah bekata, Keceriaan bisa jadi cara menutupi luka yang dalam.

 Bu Sari termenung sebentar. “Sepertinya Ibu salah approach percakapan ini. Kita ulang lagi. Kamu tahu kalau Alya pernah masuk pesantren?”

 Aku menggeleng. “Maksud Ibu Tsanawiyah?”

Lihat selengkapnya