“Kamu tahan di tempat busuk kayak gini?"
Andika membuka percakapan sambil menghampiri. Tanpa salam, tanpa sapaan.
Menyengaja, aku menghirup napas panjang seolah menikmati aroma busuk berasal dari boks truk sampah di belakangku. Sebenarnya tidak terlalu bau. Masih bisa diabaikan meski tetap harus diakui aroma itu ada.
“I love the smell of napalm in the morning!” seruku, seiring keluar napasku.
“Napalm? Eh, itu kutipan film, ya?” tanya Alya. Langkahnya semakin dekat, lalu duduk di sampingku.
“Ya, dari film Apocalypse Now,” jawabku.
Andika langsung mengambil ponselnya. Searching film yang kusebut.
“Jadul banget! Perang Vietnam!” seru Andika sambil mendengus dan tertawa. Ia tunjukkan hasil searchingnya pada Alya.
“Kamu suka yang jadul-jadul?” tanya Alya. Ia melirikku.
“Dia juga yang ngutip, ‘Muke lo jauh’ kemarin,” timpal Andika sambil terkekeh. Dia ikut duduk di samping Alya.
Aku mengangkat bahu tidak peduli. Tapi, aku sempatkan berkata sambil mengacungkan telunjuk, memberi arti penting pada apa yang hendak aku katakan.
“Apa yang bertahan setelah teruji waktu, maka layak untuk diperhatikan.
Kuberi jeda sesaat, biar perkataanku meresap ke dalam benak mereka. Dan ketika Alya hendak angkat bicara, aku langsung memotongnya dengan berkata, "Itu kutipan bikinanku sendiri. Orang-orang jadul bisa jadi punya kebijaksanaan yang sering luput dari perhatian kita. Seperti kutipan Napalm tadi. Kalian tahu apa itu napalm?”
Secepatnya Andika merujuk ponsel.
“Bahan pembakar petrokimia yang mudah menguap,” jawabku cepat-cepat, sebelum Andika menemukannya di Internet.
“Biasanya buat senjata pemusnah. Dulu sering digunakan di Perang Vietnam. Coba kamu cari Napalm Girl!”
Apa yang aku katakan itu memberi jeda dan mengubah alur langkah jemari Andika di ponselnya, dan akhirnya membentuk kerenyit miris di wajahnya. Alya ikut melongok ponsel Andika dan ikut meringis. Aku yakin, mereka tengah melihat foto hitam putih yang menggambarkan betapa kejinya peperangan; sosok bocah perempuan yang telanjang berlari di jalan, dan menurut caption-nya, bocah itu sambil berteriak-teriak kesakitan (aku membayangkannya, dia berteriak, “Panas! Panas!”).
Melihat mereka meringis, saatnya memberi sentuhan klimaks pada argumenku.
“Sekarang perhatikan kutipan tadi, ‘I love the smell of napalm in the morning,’ berarti ketika kata-kata itu diucapkan, ada bom napalm meledak di suatu pagi, dan pemandangan itu sedang terjadi,” jelasku, sambil merujuk ke citra mengerikan di layar ponsel Andika.
Kulihat Alya dan Andika tertegun. Mereka berdua menoleh menatapku. Ada sorot mata ngeri dari keduanya.
Aku angkat satu sudut bibirku, sedikit tersenyum sinis. “Kenyataan berubah ketika melihat dari sudut pandang yang berbeda, ya, kan? Aku yakin, pesan itu yang sebenarnya mau disampaikan film itu,” kataku.
“Firaun complex,” gumam Alya. Ia merunduk.
“Ya, mau jadul atau tidak, intinya tetap sama. Hanya jaman, bungkus dan skalanya yang berbeda,” komentarku. “Tidak hanya Napalm Girl itu, sampai sekarang banyak anak yang menjadi korban kejamnya peperangan; tidak selalu tertangkap kamera, tidak selalu menjadi berita dan tidak selalu terekam sejarah.”
“Palestina,” gumam Andika.
“Di manapun,” koreksiku. “Siapapun. Mau Muslim atau bukan. Label yang berlaku hanya Bully dan Korbannya.”
Alya mendengus pelan dan mengangkat wajah. Menatap langit. Hanya sebentar, sebelum ia berpaling melihatku.