Kulihat Karissa yang berdiri di atas meja sambil mengacungkan ponselnya. Gadis berkacamata yang biasanya terlihat manis itu, tidak lagi terlihat manis. Mukanya merah, matanya tajam berkelebatan buas ke sepenjuru kelas. Seisi kelas terdiam, terpana …. Takut ...
“SIAPA YANG MENYEBARKAN INI?!” pekik Karissa.
Semua tetap diam. Semua kebingungan.
Aku sempat ikut bingung, tapi secepatnya aku pasang wajah datar dan mendekati Karissa.
“Riss, bisa turun sebentar?” kataku datar.
Karissa berpaling cepat kepadaku. Mendadak wajah galaknya menekuk menjadi sedih dan dengan cepat berurai air mata.
“Ti-tidak, Nov …. Jangan …. Ka-kamu jangan lihat,” katanya tergagap. Ia tempatkan tangan yang menggenggam ponselnya ke dada, seolah menyembunyikan ponselnya dariku.
“Turun dulu, Riss. Bicaranya sambil duduk, yuk!” kataku dengan intonasi melembut. Aku ulurkan tanganku kepadanya.
Dia tampak ragu. Dia tampak bingung. Dia tengah kesakitan.
“Ada pepatah, ‘Kamu tidak bisa bercermin di atas air mendidih, begitu pula kamu tidak bisa menemukan kebenaran dengan wajah marah.’ Kamu setuju, kan?” ucapku, seringan yang aku bisa, sebersahabat yang aku bisa.
Dia terisak. Lalu, meraih tanganku dan melangkah turun melewati kursi. Dia langsung duduk di kursi itu sambil menutupi wajahnya. Aku berlutut di hadapannya. Sempat aku perhatikan sekitarku, tapi tidak ada satu pasang mata pun yang berani beradu dengan tatapanku.
The hell! Apa yang sebenarnya sedang terjadi?!
“Riss? Ada apa?” tanyaku.
Dia tidak menjawab.
Sekali lagi aku melirik ke sekitarku dan kini aku lihat seorang teman sekelas perempuan menatapku sambil memberi isyarat; menunjuk ponselnya dan bergumam tanpa suara, “Di grup.”
Aku raih ponselku.
“Jangan!” pekik Karissa, sambil meraih tanganku, mencegahku memakai ponsel. “Jangan lihat! Kumohon!”
“Baik. Ada cara supaya aku mengerti tanpa lihat? Jadi bisa bantu kamu?” tanyaku.
Karissa tampak kebingungan. Di balik kacamatanya, bola mata Karissa bergerak-gerak, ia tengah berpikir.
“Apa ini membuatmu malu? Aib?” tanyaku.
Karissa mengangguk pelan, ragu dan terisak. Ia kembali tutup wajahnya.
“Di grup kelas atau di grup sekolah?”
“Di grup sekolah,” jawab Karissa, lirih dan parau, terdengar sengau terhalang lindungan dua tangannya.
Aku menghela napas.
Kamu juga bisa mengambil langkah deduksi dan menarik kesimpulan, kan? Fakta satu, Karissa murka hingga naik meja dan berteriak, “SIAPA YANG MENYEBARKAN INI?!” sambil ia mengacungkan ponselnya. Fakta kedua, konten di ponsel yang membuat Karissa murka ada di grup sekolah, artinya semua warga sekolah yang masuk grup bisa lihat. Sekarang, tambah variabel fakta ketiga, Karissa merupakan salah satu kandidat Ketua OSIS. Kamu juga bisa melihatnya dengan jelas. kan?
“Kalau begitu, bisa jadi ini usaha menjatuhkan kamu sebagai kandidat Ketua OSIS,” ucapku.
Seketika Karissa mengangkat wajahnya. Di balik kacamatanya, mata Karissa terbelalak. Wajah murkanya kembali menyala! Ia berdiri cepat, membuatku spontan beringsut mundur dan ikut berdiri supaya tidak terjatuh.