“Tapi, Nov, Nabi Musa diberi mukjizat,” komentar Karissa.
“Benar,” jawabku, “Mari kita lihat mukjizat apa saja.”
Aku berpaling ke papan tulis dan menulis angka 1 untuk kalimat, “Tongkat berubah menjadi ular.”
“Membelah laut,” kata seorang teman yang aku tidak tahu siapa karena aku sedang menulis dan mesti menuliskan perkataannya di poin kedua.
“Tangan yang bercahaya?” Kali ini datang dari Alya dan aku menuliskannya untuk poin ketiga.
“Air yang berubah menjadi darah,” tanggap teman yang lain, tapi aku hanya menulis DLL, untuk kependekan “Dan Lain-Lain”.
“Ya, dan masih banyak lagi, namun semua mukjizat itu bersifat kontekstual—maksud saya, terjadi sebagai respon untuk reaksi Firaun terhadap da`wah Nabi Musa. Tongkat menjadi ular untuk menghadapi penyihir, laut membelah untuk lolos dari kejaran Firaun, tangan yang bercahaya untuk … menuntun Nabi Musa kembali ke keluarganya setelah berbicara dengan Allah di bukit Thur. Teman-teman bisa baca detilnya di Quran surat Taha,” jelasku. Tangan kiriku menunjuk ke papan tulis, merujuk tiap poin yang aku ucapkan.
“Hanya saja, mukjizat-mukjizat itu sebenarnya adalah porsi Allah untuk membantu Nabi Musa, dan Demi Allah, saya yakin, sebenarnya tanpa Nabi Musa pun Allah bisa membuat Firaun takluk. Tapi, dengan Qadar Allah, ada porsi Nabi Musa yang mesti dipenuhi agar mukjizat-mukjizat itu terjadi sehingga menjadi kisah dan terekam di Quran dan kita bisa mengambil pelajaran …. Porsi apa itu kira-kira? Ada yang tahu?”
Kuberi jeda satu detik sebelum melanjutkan berkata, “Teman-teman bisa lihat di surat Taha ayat 44.”
Selain Pak Rahman dan Bu Sari, semua tangan meraih ponsel mereka, termasuk Alya. Tapi, aku tidak berniat memberi mereka kesempatan untuk menjawab.
“Datangi Firaun dan bicaralah dengan … lemah lembut,” kataku, merujuk Quran surat Taha ayat 44, sebisa yang aku ingat. “Atau dalam bahasa kita mungkin …,” aku lanjutkan kalimatku dengan menuliskannya di papan tulis.
Don`t lose your cool!
Kutunggu semua pasang mata melihat tulisanku, terutama Karissa. Lalu aku berkata yang tertuju pada Karissa.
“So, don`t lose your cool, Sis!”
Sesaat Karissa tertegun, namun tak lama kemudian, untuk pertama kalinya di hari ini, aku lihat Karissa tersenyum--tidak banyak, tapi cukup. Matanya menajam, hidup dan berdaya juang.
“Kamu respon ini dengan elegan, dan kami akan membantu kamu,” kataku sambil tersenyum kepada Karissa, dan kemudian sesaat—meski sesaat—aku melirik Alya.
Sunyi sesaat, lalu Bu Sari berkata kepada Pak Rahman, “Nah, Pak, sekarang sepertinya saat yang tepat untuk saya mempersembahkan kepada Bapak, Tim My Fair Rebelle yang akan membantu tugas saya sebagai Guru Bimbingan dan Konseling. Alya dan Nova.”
Cih, Bu Sari benar-benar spesialis memanfaatkan kesempatan! Dengus benakku.
Pak Rahman berseru, “Welldone! Bapak terkesan, Bu Sari, Nova, Alya. Jadi sepertinya dari sini kalian bisa menangani ini, bukan? Selanjutnya Bapak juga mesti melakukan porsi Bapak. Belum tentu semua guru sepaham, dan Bapak mesti meredam reaksi yang berlebihan. Bukan begitu, Nov?”
Aku hanya mengangguk. Sedikit gelagapan karena tidak menyangka Pak Rahman menaruh perhatian kepadaku. Terakhir aku berinteraksi dengan beliau adalah ketika polisi mengantarku setelah mengurus pejambret yang aku lumpuhkan sewaktu aku kelas X.
“Baik, Bapak tinggal dulu. Karissa, ingat kata Nova tadi, don`t lose your cool. Selama ini kamu bersekolah di sini, Bapak mengenal kamu sebagai anak yang baik. Jadi, tenang saja.”
Karissa mengangguk. “Siap, Pak,” kata Karissa, terdengar parau.
Lalu kulihat Pak Rahman meninggalkan kelas. Alya yang membukakan dan menutup pintu.
“Bu, saya sebaiknya kembali ke kelas saya,” ucap Alya meminta ijin.
“Tunggu, Al,” panggil Bu Sari. “Di kelas kamu, pelajaran Pak Handi, kan? Kalau dia di kelas, biar nanti Ibu yang bilang. Kamu sebaiknya ikut menuntaskan masalah ini. Sepertinya Nova punya rencana yang melibatkan kamu. Ya, kan, Nov?”
Aku tertegun. Sempat panik, tapi tidak sampai mengemuka karena segera aku mengacungkan dua jariku dan berkata, “Dua fase. Pertama, Karissa harus mengakui dulu, apapun postingan itu adalah masa lalu Karissa, lalu meminta maaf, mengucapkan kata-kata kalau siapapun yang pasang post itu telah berhasil melukai hati Karissa, tapi Karissa tidak sudi masa lalunya mengurung potensi diri; tidak sudi masa lalunya menentukan dirinya yang sekarang dan yang akan datang. Dengan punch line, Karissa tidak akan mengundurkan diri dari Kandidat Ketua OSIS. Fase kedua, Karissa diwawancara untuk menceritakan masa lalunya—ini mungkin menyakitkan buat kamu, Riss.”