[Karissa_XI-B]
“Maaf. Seperti kalian lihat, yang di foto itu memang aku. Masa lalu aku. Aku tidak tahu siapa dan apa niatnya memasang hal pribadi itu di sini, tapi kuucapkan selamat karena telah melukai hatiku. Sungguh aku tidak ingin melihat masa lalu itu, karena bagaimanapun aku akui aku pernah memiliki karakter yang buruk. Namun haruskah masa lalu itu mengurung masa depanku? Merantai potensiku? Menentukan identitasku? Maaf, jika itu tujuan kalian memposting foto itu, aku menolaknya. Aku tidak sudi masa laluku yang buruk menentukan diriku yang sekarang dan diriku di masa depan, karenanya aku akan tetap mencalonkan diri menjadi Ketua OSIS. Kalian mungkin akan memandangku berbeda mulai saat ini, tapi itu tidak mengubah niatku, dan program-program yang akan aku usung bila aku terpilih menjadi Ketua OSIS. Sekali lagi, maaf. Dan terima kasih. –Yang sedang terluka di sini, Karissa Ardhianti Achmad, Kelas XI-B.”
Begitulah pesan yang ditulis Karissa untuk merespon postingan bangsat itu. Jujur, aku tidak terlalu berharap pesan Karissa mendapat respon yang baik dari teman-teman sekolah. Aku sepertinya sudah mencapai aksioma kalau orang-orang di medsos lebih mudah menghakimi ... dan lebih buas. Postingan bangsat semacam itu selalu rentan mengundang perundungan masal. Yah, persetan lah!
Yang mesti diperhatikan sebenarnya Karissa sendiri; seberapa kuat mental Karissa untuk tidak peduli. Tidak peduli dengan tatapan orang ketika pergi ke kantin, misalnya. Atau menghadapi bisik-bisik yang tiba-tiba terdiam saat menyadari kehadirannya. Atau sindiran terselubung ambigu baik online maupun offline. Tapi, jika aku beri Karissa saran untuk tidak peduli terhadap mereka, itu akan menjadi paradoks karena Karissa mencalonkan diri jadi Ketua OSIS, ya, 'kan? Dengan sendirinya, ia mesti peduli! Ia akan otomatis peduli dan itu bisa meracuni dirinya!
Hanya saja, jika kita bungkus saran itu dengan kalimat, “Fokus dengan program yang hendak kamu realisasikan nantinya! Antisipasi argumen lawan kamu di debat nanti! Perhatikan saja lingkaran terdekat kamu yang kamu percaya dan sayang sama kamu!” Maka, tujuan yang sama dengan bersikap tidak peduli akan tercapai, bukan begitu?
Mungkin kamu tidak setuju. Tapi, bagaimanapun, seiring berjalannya waktu, tiap peristiwa akan menyelinap ke balik tirai kenangan. Memang tidak hilang, tapi tidak jarang memudar dan menyaru menjadi latar belakang yang terabaikan ….
Kamu lihat? Betapa tipis batas antara Peduli dan Tidak, 'kan?
Namun, sebelum memudar menjadi kenangan, satu langkah lagi mesti dilakukan : Wawancara.
Tujuannya cukup sederhana. Memaparkan evolusi sosok Karissa dari yang berani berciuman di depan kamera menjadi sosok berhijab yang layak menjadi pemimpin yang mewakili seluruh siswa di sekolah ini. Pada intinya, kita coba mempersembahkan Karissa sebagai manusia biasa yang tak luput dari khilaf dan salah. Kalian juga manusia, 'kan? Atau kamu tidak pernah salah?
Setelah Karissa mengirim pesan balasan itu, aku minta ijin ke Bu Sari untuk meninggalkan kelas menuju loteng sekolah. Sempat Bu Sari mencemaskan perjalanan ke loteng sekolah akan menarik perhatian kelas lain, tapi ketika aku ingatkan tangga menuju loteng sekolah persis di samping pintu kelas kami, Bu Sari menepuk keningnya sendiri, “Tentu saja! How stupid of me!”
Lalu, dengan membawa dua kursi, aku, Alya dan Karissa menuju loteng. Kunci ada di Alya dan setelah dia membuka pintu, aku langsung menyimpan dua kursi itu di dekat jendela berbentuk lingkaran. Aku buka jendela itu, membersihkan dan merapikan seperlunya untuk seting wawancara.
Wawancara direkam menggunakan ponselku. Agar tampilan video stabil, aku tempatkan ponselku di atas meja tua yang ada di loteng. Sementara aku mengatur seting, Alya dan Karissa sempatkan diskusi alur wawancara.
“Sepertinya kita butuh minum, ya?” usul Alya. “Aku ambil dulu. Punya kamu juga, Riss? Mau aku ambilkan?”
Melalui ponselku yang sedang aku tempatkan di meja tua, aku lihat Karissa mengangguk.
“Kamu gimana, Nov?” tanya Alya yang hendak berjalan ke pintu.
“Aku dah bawa,” jawabku. Aku pun baru menyadari kalau selama ini aku masih membawa tasku di punggung; botol air mineral yang tadi kubeli di kantin masih terselip di saku samping ranselku.
Ketika Alya menghilang setelah lewati pintu, aku sempatkan memeriksa memori ponselku. Lalu, aku dengar Karissa berkata kepadaku.