Dua dara istimewa itu duduk saling berhadap-hadapan. Di samping mereka, jendela melingkar dalam keadaan terbuka, memperlihatkan hijau segar puncak batang pohon kerai payung.
Salah satu dara itu mulai merapal puji-pujian dan doa kepada Tuhannya. Sambil merunduk, menatap catatannya.
“Bismillahirahmannirahim. Alhamdulillahirabbil`alamin. Asyhadu ala ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadan abduhuu wa rasuluh. Allahuma shali`ala Muhammad wa `ala ali Muhammad, amma ba`du. Robbisrahlii shadrii, wa yassirlii amri, wahlul`uqdatam milisaani, yafqahu qauili. Aamiin ya rabbal`alamin.”
Lalu Alya berpaling dan tersenyum kepada dara di hadapannya.
“Assalamualaikum, Riss,” sapanya yang kemudian dia condongkan badannya untuk menyentuh lutut dara di depannya sambil bertanya dengan tulus, “Kamu baik-baik saja?”
“Waalaikumsalam. Aku baik-baik saja, Al. Terima kasih .... Yah, mungkin lebih baik dari pada waktu tadi bel masuk,” jawab Karissa sambil menghela napas dan tertawa kecil di akhir kalimatnya.
Alya tersenyum. “Aku bisa mengerti, Riss. Dan jujur, ini benar-benar mengejutkan.”
“Aku juga. Aku cukup shock melihat aibku tersebar seperti ini. Entah siapa dan apa tujuannya, tapi jelas aku sakit hati karenanya. Untung kalian, tim My Fair Rebelle cepat tanggap meraih aku sebelum … sebelum aku melakukan killing frenzy, kalau kamu tahu maksudku.”
Alya tertawa pelan. “My Fair Rebelle belum resmi, Riss. Tapi, yah, ini salah satu tujuan kami dibentuk. Membantu teman-teman secara psikologis. Tapi, jujur, sebenarnya dari sudut pandangku pribadi, yang perlu dibantu adalah orang yang memposting itu, Riss. Jelas banget merasa insecure sama kamu.”
Karissa termenung sesaat. “Sudut pandang yang menarik. Belum sempat terpikir olehku. Mungkin di sisi lain aku mesti mensyukuri kejadian ini, ya? Karena bisa membuat teman-teman dan guru-guru lebih objektif melihat aku.”
“Objektif mungkin bukan kata yang tepat, ya? Utuh, lebih tepat,” koreksi Alya. “Bisa melihatmu utuh sebagai manusia. Jujur sebelum ini aku melihat kamu sebagai karakter tanpa cela, dan itu … agak menakutkan, menurutku."
Karissa tertawa. “Justru aku yang memandang kamu sebagai sosok yang utuh, Al. Aku sempat kecewa ketika tahu kamu mengundurkan diri sebagai Kandidat Ketua OSIS. Kamu lebih pantas dari aku!”
“Tidak. Tidak. Aku cukup tahu diri kalo aku mustahil ngurus yang berskala lebih banyak dari lima orang—lebih dari voli, maksudku," tanggap Alya sambil mengibaskan tangan. “Tapi, sekarang, yang benar-benar membuatku penasaran, ada perbedaan drastis dari sosok kamu yang kami kenal dengan sosok yang dipresentasikan postingan itu. Apa yang terjadi? Tentu ada proses di balik semua itu, bukan?”
Karissa merunduk sejenak, lalu kembali menatap Alya seolah telah memantapkan diri.
“Mungkin kamu mesti tahu dulu kalau aku lahir dari keluarga tentara; bungsu dari dua bersaudara. Ayahku seorang perwira TNI Angkatan Darat, ibuku tenaga medis di PUSKESAD. Meski orang tuaku militer, mereka mendidik kami cukup terbuka—moderat mungkin lebih tepat. Sebagai gambaran, coba tebak, kakakku kerjanya apa?”
“Ummm, penyanyi?” tebak Alya.
Karissa tertawa, “Itu tebakan liar banget! Bukan, tapi arsitek. Meski dari keluarga militer, orang tuaku—terutama Ayah, ya—dia tidak menuntut kami ikuti jejaknya sebagai orang militer. Meski memang disiplin tidak akan jauh dari rutinitas kami, tapi untuk pergaulan, kami dibebaskan, dan …, mungkin ini yang menyebabkan aku agak melenceng waktu masuk SMP. Aku mulai pacaran waktu kelas delapan—yang menghasilkan postingan itu. Putus enam bulan kemudian. Aku ingat waktu itu Ayah mendapat tugas menjadi bagian dari kontingen Garuda untuk pasukan perdamaian PBB ke Lebanon. Lalu, ada saat, kami mendapat berita Ayah hilang di sana. Tidak lama, sebenarnya—hanya miss-informasi, tapi cukup mengguncang aku, kamu tahu itu? Mulai membuka mataku kalau aku … aku mesti mulai serius memandang hidup. Mulai punya visi buat masa depanku sendiri. Mungkin saat itulah trayek jati diriku yang kamu kenal sekarang dimulai.”
Alya terdiam sesaat, mencerna paparan Karissa dan kemudian bertanya, “Jadi kamu punya cita-cita dong? Maksudku yang lebih luas dan lepas dari orang tua kamu yang militer. Boleh tau?”
Karissa tersenyum lebar. “Ya. Aku ingin bekerja di bidang finansial. Jadi Financial Analyst, mungkin. Aku suka hal-hal semacam pergerakan uang, penempatan anggaran, investasi, valuta asing. Ya, gitu deh!”
Alya manggut-manggut.
“Kamu sendiri? Cita-cita kamu apa?” tanya Karissa.
Alya tertawa agak canggung. “Belum terpikir olehku. Masih meraba-raba bakatku. Tapi … kalau cita-cita yang lebih bersifat tantangan … aku ingin ….”
Perkataan Alya memudar dan tampak sorot matanya seolah menjadi kosong. Memancing Karissa mencondongkan badannya untuk menyentuh lutut Alya.