Coba katakan, jika kamu merasa tidak peduli tapi kamu katakan kamu peduli, bukankah itu dusta? Lalu, jika kamu merasa tidak peduli, tapi kamu bertindak yang menunjukkan kalau kamu peduli, apakah itu juga dusta? Jadi pada intinya kamu pembohong besar, ya, kan? Munafik tulen!
Ya, ya, bukan kamu, tapi aku. Aku yang munafik!
Aku tidak peduli dengan hasil dari apa yang kami lakukan. Dari sudut pandangku, aku hanya bereaksi terhadap apa yang terjadi di depanku. Melihat Karissa berdiri di atas meja dan memekik seperti hewan buruan yang terluka, apa aku akan diam saja? Bagaimana dengan kamu? Akan membiarkannya?
Oh, bisa saja aku membiarkannya, tapi … aku rasakan ada bagian dari diriku yang akan terluka jika aku membiarkannya. Ya, sepertinya begitu. Aku bertindak karena keegoisanku saja, yang berusaha menghindari potensi luka batin. Jadi, karena itulah aku tidak peduli dengan hasilnya.
Karena tidak peduli hasilnya, tentu saja aku juga tidak peduli dengan sumber dari masalah ini. Aku tidak peduli siapa yang posting aib Karissa itu. Aku tidak peduli dengan perebutan kursi Ketua OSIS. The hell! Aku tidak peduli dengan Niko Anggadipati Sudjana!
Ya, itu namanya.
Anak pesolek dari kelas X-A. posturnya hampir setara tingginya dengan Alya dan tubuhnya tampak tegap atletis, tertempa fitness center atau semacamnya, meski menurutku agak tidak seimbang—maksudku, sepintas dia punya tubuh yang ideal, tapi, seperti lengan kemeja seragamnya yang digulung untuk menunjukkan bisepnya, sekaligus juga menunjukkan kalau dia tidak melatih otot trisepnya. Dia berolahraga asal-asalan; asal terlihat bagus hasilnya. Aku berasmusi dia aktif di Insta, tapi aku tidak peduli, karenanya aku tidak tertarik stalking medsosnya.
Dia ke sekolah pakai semacam sepeda motor superbike dan punya cukup banyak teman—teman yang bisa ia beli. Konon dia anak dari anggota Dewan Perwakilan, tapi … aku tidak peduli. Mau bilang apalagi? Aku – tidak – peduli!
Dia bukan karakter yang perlu diperhatikan, sebenarnya. Seperti Jim. Kamu ingat dia? Lupa? Nggak apa-apa.
Nama Niko sempat aku perhatikan ketika Andika menyebutkannya saat kami bertiga membereskan loteng sekolah. Dia menuntut update informasi seputar kejadian tadi pagi.
Alih-alih menjawab, aku balik bertanya, “Kamu hapus postingan itu?”
Alih-alih Andika yang menjawab, Alya mengambil alih, “Admin grup udah menghapusnya, kayaknya.”
“Iya,” timpal Andika tanpa mengalihkan perhatiannya dariku. “Terus apa yang kamu lakukan?”
“Yang kami lakukan—aku dan Alya,” koreksiku. “Kamu lihat sendiri wawancara Alya, kan? Itu sudah menjawab!”
Andika cemberut. Tidak puas dan merasa terkucilkan. Alya menahan tawa dan terdengar seperti anak kucing yang bersin-bersin.
“Tapi mau dilihat dari manapun, ini jelas perbuatan Niko,” tandas Andika sambil memindahkan kotak kardus dari rak ke lantai tengah ruangan. “Cuma tidak ada bukti.”
“Kamu bisa perhatikan gerak-gerik dia,” usulku. “Pastinya dia nggak bakal diam saja lihat Karissa masih bisa tersenyum seolah postingan itu tidak ada pengaruhnya. “
“Ya, ide bagus tuh!” timpal Alya yang sedang menyapu lantai dan mengumpulkannya di dekat pintu. “Pastilah ada info yang bakal kamu dengar.”
Andika tampak termenung, sepertinya serius mempertimbangkan usul itu.
Aku mendengkus pelan, menganggap konyol sikap serius Andika. Sempat sudut mataku menangkap Alya melirikku, tapi tidak lama, ia berpaling seolah tidak mau aku tahu kalau dia memerhatikan aku. Yeah, right! Analisa semaumu, Nona! Aku tidak peduli!
Aku rasakan sesuatu yang dingin dan keras terbangun dari dalam diriku …. Oh, aku sudah merasakan sejak tadi pagi sebenarnya, dan … escalated. Sejak kembali ke kelas lepas wawancara Alya dan Karissa, dadaku serasa bergemuruh seperti geram bintang liar—dingin, keras, dan liar …. Subtle, seperti tak terasa, tapi nyata.
Tiba-tiba datang tergopoh-gopoh, seseorang muncul di pintu.