Gadis itu adalah sepupuku. Putri satu-satunya Paman. Itu cukup menjelaskan?
Namanya Anggi. Usianya 15 tahun. SMP, kelas 9.
Aku selalu melihat dia di rumahnya, tidak pernah di luar rumah, apalagi di lingkungan tempat tinggalku—dia belum pernah berkunjung. Karenanya, aku cukup terkejut melihatnya. Untuk mengira alasan di sampai ada di sini, aku hanya bisa menebak satu alasan; dia bertengkar dengan ibunya, Bibi Mel, lalu menemukan alamatku lewat Paman. Melihat tali ransel menggantung di bahu kanannya, aku mendapat gelagat yang kurang baik. Dia berniat menginap? I hope not!
“Alya, ini sepupuku, Anggi. Anggi, ini Alya, bossku,” ucapku memperkenalkan mereka.
Tanpa aku sangka, aku mendapati sikut Alya mengayun ke lengan dan dadaku. Tidak sakit, tapi sempat membuatku membayangkan kalau Alya punya niat, dengan sikutnya dia bisa menciptakan kerusakan yang lumayan. Yah, bisa dimaklumi sebenarnya; mantan kapten tim voli sekolah.
“Ya, aku bossnya dia. Aku Alya,” tanggap Alya sambil mendekati Anggi dan menjulurkan tangan.
Anggi hanya mengangguk dan menjabat tangan Alya--agak sungkan. Saat menjabat tangan itu, sempat tas ranselnya merosot ke lengannya. Tas itu ringan.
“Umm, Nov, aku nginap di tempatmu, ya?” ujar Anggi.
Aku menatapnya datar, tidak menjawabnya. Hanya memberi isyarat dengan gerakan kepala yang terkesan cuek seolah memberi jawaban yang ambigu antara menolak atau mengijinkannya. Tergantung alasannya, Nona.
Aku memutar badan, kembali berjalan, memimpin langkah.
“Kamu sekolah di mana?” tanya Alya, sekedar membuka percakapan. Sepertinya dia berjalan di samping Anggi.
Anggi menjawab dengan menggumam tidak jelas. Aku sendiri tidak tahu dia bersekolah di mana. Yang aku tahu dia masih SMP; mungkin tahun depan akan masuk SMA. Aku bagi perhatianku antara mendengarkan percakapan mereka, dan memimpin jalan menuju gedung kamar sewaku.
Dari cara Alya membuka percakapan, aku merasa ada niat tersembunyi Alya untuk membuat Anggi terbuka padanya sehingga Anggi merasa bisa percaya pada Alya.
“Aku sih dulu pesantren. Setelah negosiasi alot sama ibuku, akhirnya bisa masuk SMA,” ujar Alya, merespon jawaban Anggi soal SMP-nya.
“Ibu kamu nggak mau kamu masuk SMA?” tanya Anggi. Hook, line and sink, dan Anggi pun terpancing umpan Alya.
Alya tidak menjawab, tapi aku bisa bayangkan Alya hanya mengangkat bahu; memberi jawaban yang ambigu sekaligus memberi kesan misterius agar Anggi semakin dalam masuk perangkapnya. Masya Allah, gadis ini benar-benar lihai!
“Kenapa kamu lebih memilih SMA?” tanya Anggi.
“Kamu bisa menjawab pertanyaan itu, Nov?” Alya malah melempar pertanyaan Anggi kepadaku.
Aku hentikan langkah dan memutar bahu; melirik mereka sejenak sebelum kembali berjalan.
“Dia nggak sabaran. Ingin cepat-cepat menerapkan ilmunya dari pesantren ke anak SMA. Meluruskan anak-anak SMA yang tersesat,” jawabku datar, cenderung dingin.
“Jawaban yang dingin, tapi aku aminkan deh. Semoga jadi amal jariah,” tanggap Alya yang ... entah kenapa aku merasa hangat mendengarnya.
“Dan kamu bossnya Nova? Apa maksudnya?” tanya Anggi lagi.
Aku yang segera menjawab, “Aku ikut ekskulnya dia!”
“There you go,” tanggap Alya membenarkan jawabanku. "Dan aku kaptennya."
"Mending Boss," sanggahku, "Lebih kasual."
"Gitu, ya?" ujar Alya.