Aku berjalan di sebelah kanan jalan dan aku melihat empat superbike itu datang dari arah berlawanan. Di ujung jalan, penunggang terdepan menyadari kehadiranku dan segera mendekat. Yang lain mengikutinya.
Aku merapat ke sisi kanan jalan yang berupa tembok rumah tinggal. Melihat mereka tentu saja alarm benakku meraung kencang akan adanya ancaman. Aku kencangkan tali tasku hingga tas itu lebih merapat ke punggungku. Ketika superbike pertama semakin dekat, aku menyangka dia akan merapat, entah hendak menabrak atau penunggang di belakangnya hendak mengayunkan tongkat baseball-nya ke arahku sambil terus memacu superbike-nya.Tapi aku keliru. Keempat superbike itu melambat di dekatku dan berhenti membentuk setengah lingkaran yang mengurungku. Aku menyeringai tersenyum; senyum yang menunjukkan aku tidak merasa terancam oleh mereka. Meski aku sendiri, aku merasa bisa lebih unggul dari mereka.
Mereka semua memakai helm tertutup dan sepertinya dengan niat menyembunyikan identitas. Ah, aku tidak peduli soal itu, tapi aku tersenyum karena melihat corak superbike mereka yang unik, kamu tahu itu artinya apa? Artinya mereka sayang sama superbike mereka, yang artinya juga, perhatian mereka akan teralihkan kalau ada apa-apa sama superbike mereka, yang artinya juga … aku bisa mengendalikan alur pertarungan. Meski memang tidak perlu sampai mencederai superbike tak bersalah itu (tentu saja yang bersalah adalah penunggangnya), tapi ... ada perasaan ringan bila ada semacam jaminan, ya, kan?
Keempat penumpang superbike itu turun sambil secara demonstratif mengayun-ayunkan tongkat baseball mereka, jelas mengancamku. Aku menyeringai pada salah seorang terdekat dan melangkah maju. Sepertinya sikapku cukup mengancam orang itu, karena dari gesturnya mendadak ragu untuk lebih mendekat. Hanya saja, meski aku menatap orang itu, perhatianku terbagi pada semua ancaman tongkat baseball mereka. Dan aku yakin mereka akan mengayunkan tongkat mereka bersamaan, dengan target yang sama; kepalaku—itulah kebodohan mereka. Perhatianku masih seolah memperhatikan orang terdekatku, dan aku maju cepat seolah hendak menerjangnya, membuat dia ragu apakah mesti menyerang atau bertahan dan itu memperlambat geraknya.
Sekarang, coba pause sejenak benak kamu. Kamu ingat, kan, kalau kami berada di jalan yang tidak terlalu besar? Lalu, bayangkan rentangan tangan yang memegang tongkat baseball. Untuk menciptakan daya hancur yang optimal, lingkar ayunan mesti melebar, bukan? Nah, sekarang mereka ayunkan pada target yang sama di ruang yang sangat terbatas. maka selain daya hancurnya berkurang, ancaman ayunan tongkat mereka juga melebar tidak hanya tertuju padaku. Saat aku tekuk lutut kananku untuk merendahkan kepalaku, dua ayunan tongkat melewati kepalaku dan tentu saja mengancam orang yang paling dekat denganku. Satu tongkat lagi berhasil mengenaiku, tapi tidak pada kepala, melainkan pada lengan kiriku yang terangkat saat aku merunduk tadi. Ada rada sakit memang, tapi seperti aku bilang tadi, momentum ayunannya tidak optimal, dan itu tidak membuat lenganku cedera, malah memberi kesempatan tangan kiriku menyambar tongkat itu.
Memang aku berniat merebutnya, tapi instingku sepertinya tidak mengijinkannya, karena tangan kiriku bukan tangan dominan dan aku memegang bagian yang membesar dari tongkat baseball itu, cengkramanku mustahil kuat. Hanya saja, pada saat dua tongkat yang lolos dari kepalaku dan mengenai tongkat teman mereka, tangan kananku telah siap dengan sebuah kepalan tinju yang aku arahkan pada dada salah seorang dari mereka. Telak dan membuat dia terhuyung mundur sambil memegangi dadanya dengan tangan kiri; dia kesulitan bernapas. Pada saat yang sama aku lepas tangan kiriku dan meraih tongkat baseball orang yang terhuyung mundur itu dan merebutnya.
Kini aku bersenjata, hanya saja, orang yang tadi urung aku rebut tongkatnya telah berhasil menguasai diri dan mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, hendak mengayunkannya dari atas ke bawah; sepertinya tidak peduli lagi arah sasarannya, asal kena tubuhku. Ayunan kali ini berbeda, karena terangkat dari atas ke bawah, lingkar ayuanannya sempurna, maka daya hancurnya juga optimal, apalagi dibantu gravitasi. Namun, akurasinya tidak terlalu dia perhatikan. Tongkat yang aku pegang dengan tangan kiri aku ayun ke belakang sambil memutar badan ke samping; tidak hanya menghindar dari pukulan tongkat itu, ayunan tongkatku mengancam orang yang lain yang tampaknya telah menguasai diri tapi ragu menentukan tindakan. Dia tidak menyangka kalau ayunan tongkatku menimpa kaca helmnya hingga pecah. Tampakanya dia mendadak panik; takut ada kaca helm yang masuk ke matanya, dia mundur hingga punggungnya menabrak superbike temannya dan terguling.
“Hey, motorku!” seru penunggang superbike itu sebelum terguling bersama temannya.
Pada saat yang bersamaan dengan tongkatku menimpa kaca helm orang itu, tongkat yang terayun dari atas ke bawah tadi siap menimpa aspal jalan. Tentu saja sebelum membentur jalan, tangan yang memegangnya secara instingtif melambatkan laju ayunannya—pasti tangannya akan sakit kalau laju cepat tongkat itu dibiarkan menghantam jalan. Dan instingnya itu membawa kebinasaan pada dirinya; aku injak tongkat itu sebelum menimpa aspal jalan hingga hentakannya membuat dia melepas tongkatnya. Pada saat yang nyaris beriringan, aku ayun tongkatku hingga menimpa bagian belakang helmnya. Dia terkapar—mungkin pingsan, aku tidak tahu pasti.
Aku alihkan sasaranku pada ancaman lain; orang yang awal tadi urung aku terjang. Aku mendekat sambil mengalihkan tongkat baseball itu ke tangan kanan, dia tampak ketakutan dan lari ke superbike temannya dan langsung menaikinya.
“Kabur! Kabur!” pekiknya.
Temannya langsung menurut dan memacu superbike-nya, meninggalkan yang lain. Yang tadi terguling bersusah payah mengangkat kembali superbike-nya dan juga kabur. Sementara yang dadanya aku pukul tadi masih berusaha mengatur napas sambil berusaha bangkit dan lari ke superbike temannya. Kabur juga.
Satu penunggang superbike yang tidak langsung kabur; ragu karena temanya masih terkapar di aspal jalan.
"Yoga! Bangun!" pekiknya panik.
"Siapa yang menyuruh kalian?" tanyaku dingin sambil mendekat dan menopang tongkat baseball ke bahuku.
Kaca helm yang digunakannya memang gelap, tapi aku bisa merasakan sorot mata ketakutan di baliknya. Dan aku pikir bakal terjewantah pada tindakan pengecut yang memacu superbike-nya, meninggalkan temannya sendiri. Tapi tidak, dia cukuk ksatria untuk memasang standar superbike-nya dan turun sambil mengangkat kedua tangan.