Di halaman gedung, aku melihat seorang pria yang aku kenali sebagai salah satu penghuni kamar sewa sedang memarkirkan sepeda motornya. Seorang pegawai loading dock Pusat Perbelanjaan Elektronik, kalau tidak salah. Dan dia melambaikan sebelah tangannya kepadaku, ala kadarnya dan mengabaikan dua cewek di belakangku. Jelas dia kelelahan dan tak perlu aku sapa selain membalasnya dengan anggukan kepala.
"Berapa sewa kos di sini?" tanya Alya setelah pria itu berlalu menaiki tangga.
"Satu koma dua," jawabku sambil menyiapkan kunci kamarku. Aku berhenti melangkah saat melihat Alya dan Anggi berdiri sambil menengadah menatap gedung bertingkat tiga itu.
"Sebulan? Lumayan juga, ya?" komentar Alya, masih menengadah, masih memperhatikan gedung itu.
"Bisa nego, sih, tergantung siapa dan kondisi siapa yang sewa, tapi itu terselubung. Pernah ada residivis yang baru keluar penjara dan keluarganya gak terima dia lagi. Lewat rekom Kang Arip, dia bisa bekerja di bank sampah dan tinggal di sini dengan uang sewa yang sesuai dengan pendapatannya," jelasku.
"Baik banget!" seru Alya.
"Ummm, kamu gak tau kalau lagi bicara sama pemiliknya?" sela Anggi.
"Eh, apa?!" Alya terkejut dan menatapku.
"Ya, warisan orang tuaku," jawabku. Aku usahakan seringan dan sedatar yang aku bisa.
"Ummm, yang warisan itu perusahaan yang lagi Papa kelola, kan? Bukan kosan ini?" sanggah Anggi.
"Ah, sudah jangan bahas!" tandasku sambil memutar langkah menuju tangga. Agak risih juga tiba-tiba membicarakan masa lalu aku.
"Eish! Aku ingin dengar! Teruskan, Gi! Lalu bagaimana Nova bisa punya kosan ini?"
"Dulu, Nova sering kabur. Gaul sama preman, tapi kemudian lewat teman premannya dia bisa beli gedung ini--dibantu sama Papa, sih. Tapi tetap saja Nova yang mengendalikan," jelas Anggi; memaparkan sekelumit kisahku dari sudut pandang dia.
Aku tidak bisa menyanggahnya, tapi aku juga tidak bisa menerimanya. Aku hanya diam sambil menapaki anak tangga.
"Kang Arip itu, ya?" tanya Alya kepadaku. Langkahnya tidak jauh di belakangku.
"Ya," jawabku tanpa menoleh.
"Jadi, basically kamu independen secara finansial, ya?" komentar Alya yang membuatku seketika mendengkus namun tanpa bisa berkata apa-apa karena Alya melanjutkan, "Sip! Fix deh! Nanti nikah sama aku, ya!"
What the!!!
Aku berhenti dan membalikkan badan. Terbelalak menatap Alya.
Yang kutatap malah tertawa kencang sambil mendekatiku dan menyambar kunci dari tanganku.
"Kamu seharusnya lihat wajahmu sendiri, Nov!" seru Alya sambil berjalan melewatiku, mendahuluiku.