Konyol?!
Benakku seketika menajam dan memberontak.
Apa peduli kita?! Persetan dengan konyol! Kalau konyol, emang kamu mau apa? Biarkan saja dia tertawakan kekonyolan kamu! Perhatikan saja bagaimana dia menertawakan kamu!
Aku berpaling sambil mengangkat bahu.
“Apa lagi yang mesti aku katakan?” kataku datar dan terkesan tidak peduli. “Aku memukulnya karena dia tidak tahu terima kasih. Tentu saja ini bukan pembenaran. Apa yang aku lakukan tetap salah dan akan aku terima hukumannya.”
Di ujung kalimatku, aku melirik Alya dan seketika aku tertegun dan … terpesona. Ia tersenyum lembut dan sedikit memiringkan wajahnya. Ia tersenyum seolah bisa menduga perkataanku. Seolah dia bisa melihat dinamika pikiranku di balik perkataanku. Aku kembali berpaling dan kesulitan untuk tidak tersipu malu.
“Seandainya Bu Sari tidak datang dan menghentikan kamu, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?” tanya Alya.
“Minta maaf, mungkin,” jawabku dan sebisa mungkin menghindari menatapnya. “Bagaimanapun aku menyelamatkan dia dari bullying, tapi malah memukulnya. Itu paradoks.”
“Ah, ya! Tiga Kata Ajaib, ya? Please, Thank You dan Sorry. Kamu mau memancing rasa terima kasihnya dengan kamu meminta maaf. Taktik psikologis, ya?” katanya.
Entah kenapa, perasaan tersipu malu yang tadi aku rasakan mendadak padam dan membuatku seketika menatapnya dan berkata datar dan terkesan dingin, “Ain’t no tactic, Hon! Just the beast in me!”
Kata-kata itu aku kutip dari Elvis Presley—entah bagaimana aku bisa mendapatkan kutipan itu, tapi yang pasti dari Internet. Serpihan informasi biasanya kudapat dari Internet. Aku sambung kutipan itu dengan berkata, “Aku tidak peduli dengan taktik! Lagipula Bu Sari datang dan menghentikanku, ya, `kan?”
Sebenarnya ada perasaan marah dalam dadaku. Tidak besar. Hanya kesal, mungkin. Apa yang Alya katakan ada benarnya. Kamu bisa mengerti, bukan? Aku sempat menyinggung soal Tiga Kata Ajaib itu, `kan? Dan apa yang dia katakan jelas memberiku indikasi kalau dia menganalisa aku, seolah … seolah dia bisa membaca pikiranku, karenanya … aku tidak suka.
“Ya, tapi kamu minta maaf di hadapan Bu Sari, `kan?” tangkis Alya.
“Tapi efeknya teredam oleh kehadiran Bu Sari, seolah aku minta maaf karena tekanan Bu Sari, bukan inisiatifku!” sanggahku.
“Nah!” Ia mengacungkan telunjuk. “Benar, `kan?! Kamu memikirkannya sampai sejauh itu! Benar kata Bu Sari! Kamu karakter yang unik! Aku senang kamu bisa menjadi bagian dari timku!”
“Eh? Apa? Unik?”
Tiba-tiba kami dengar bel berbunyi; tanda waktu istirahat telah berakhir. Alya bangkit dari duduknya.
“Nanti pulang sekolah kita lanjut,” kata Alya. “Sambil beres-beres markas kita.”
Aku terdiam. Benakku masih memproses kata “Unik” saat Alya pergi.
Aku masih duduk. Kantin yang tadinya ramai mulai ditinggalkan pelanggan homogen-nya (maksudnya pelanggan kantin ini murid semua—Dih! Masa kalian nggak tahu arti homogen, sih?). Lalu, ketika keramaian kantin mulai menipis, aku baru menyadari ada orang yang memperhatikan aku. Aku meliriknya.
Kulihat di meja lain, Andika duduk sambil memutar badannya menghadapku. Sepertinya dia mendengar semua percakapan aku dengan Alya sambil duduk membelakangi kami. Dia menatapku dengan tatapan tertegun dan sepertinya dia tidak sepenuhnya sadar kalau aku melihatnya menatapku.
“Apa?” tanyaku dengan nada yang terkesan menantang dan tidak peduli dengan apa yang ada di benaknya.
Dia tersentak dan segera berpaling. Sorot matanya tampak penuh keraguan.
“A-aku … aku …,” katanya tergagap.
“Dih! Kamu semacam tsundere, atau apa?” kataku sambil beranjak berdiri.
Kamu tahu tsundere, `kan? Kategori karakter dalam manga atau anime yang ketus, sinis dan pemarah, namun menyembunyikan sikap hangat dan penuh kasih sayang. Biasanya karakter cewek.