All warfare based on deception ….
Begitu kata Sun Tzu. “Semua perang didasari dengan tipu muslihat ….”
Sebenarnya Sun Tzu juga menjelaskan maksudnya. Jika musuh melihatmu kecil, maka usahakan kamu terlihat besar. Jika kamu hendak bergerak ke barat, usahakan musuh menyangka kamu akan bergerak ke timur. Jika kamu ingin membuat musuhmu lengah, usahakan mereka berpikir seperti yang mereka inginkan … lalu hancurkan!
Feign disorder and crush him!
Kata-kata yang keren, ya? Tapi tidak pada saat eksekusi. Aku tidak merasa keren saat eksekusi.
Aku bangun agak terlambat. Tidak sempat salat Tahajud dan itu sengaja. Tubuhku sepertinya butuh istirahat lebih. Nyeri, pegal dan ngilu. Sakit kepala ikut-ikutan, tapi tidak seberapa. Semua itu membuatku malas mandi. Aku hanya berwudhu, gosok gigi, dan berseragam. Kusiapkan buku yang tidak sempat aku siapkan tadi malam. Tapi, hari ini hari Jumat; pelajaran tidak banyak dan cenderung santai.
Setelah berseragam. Aku pasang plester dan perban di pipi kiriku. Untuk memberi efek dramatis, aku juga pasang plester di dagu dan kening. Wajah seorang yang telah babak belur.
Aku hangatkan sisa masakan Alya semalam untuk sarapan, salat Subuh tanpa pergi ke masjid, lalu berangkat sekolah.
Ketika melewati persimpangan menunju gerbang sekolah, aku mulai melangkah tertatih-tatih, sedikit membungkuk dan sedikit meringis.
Memasuki gerbang, aku lirik pelataran parkir di sebelah kanan, dan tersenyum saat melihat satu-satunya motor yang ada di sana; sebuah superbike. Sekolah masih sepi, tapi sang empunya motor itu rela berpagi-pagi datang ke sekolah. Kenapa, coba? Kamu bisa menebaknya?
Kali ini aku tidak ambil arah Gerbang Sampah. Aku melangkah lurus menuju gerbang utama gedung baru sekolah. Mendekati tangga, aku lihat seseorang muncul dari balik tiang beton penyangga atap teras. Kulihat sosok adik kelas dengan lengan baju seragamnya tergulung, pamer bisep yang tak seberapa. Dia sendirian. Itu artinya dia cukup percaya diri—setelah menerima laporan aku babak belur.
Aku berjalan terus untuk melewatinya, terlihat seperti hendak memasuki gerbang sekolah.
“Jadi kamu yang namanya Nova? Nggak terlalu tangguh ternyata, ya?”
Aku berhenti dan melihatnya sebentar, lalu aku lanjutkan berjalan untuk melewatinya.
“Jadi sok pahlawan ada akibatnya, `kan?”
Aku mengabaikannya.
Ketika langkahku hampir melewati dia, tangannya menggapai bahuku, menahan langkahku. Aku berjalan agak membungkuk, jadi dia mudah mencapai bahuku, juga kepalanya mudah mendekati telingaku.