“Hus! Jangan ngaco!” seru Pak Prasetyo pada istrinya, membuatku segera sadar kalau Bu Sari hanya bercanda, atau sekedar mengutarakan sebuah sarkas.
“Bisa tunjukkan jalannya, Nov?” sambung Pak Prasetyo, mengalihkan perhatianku.
“Mari,” anggukku sambil memutar langkah, urung pada niat awal sebelum dikeroyok Jim dan kawan-kawan; niat mencari makan.
“Dan kamu menganggap Ibu serius?” tanya Bu Sari masih datar--masih tidak mau melepas masalah memarku. Beliau imbangi langkahku, membiarkan Pak Prasetyo berjalan di belakangnya.
Aku diam. Tidak menjawab, tapi tidak juga aku sembunyikan cemberutku.
“Lagipula apa yang sebenarnya telah terjadi tadi?” desak Bu Sari.
Aku mengangkat bahu sebentar, sebelum menceritakan yang sebenarnya terjadi; apa adanya meski tanpa detil yang tak perlu—well, aku tidak perlu menceritakan bagaimana aku menyodok kaca helm teman Jim hingga pecah, 'kan? Aku ceritakan apa adanya, ringan dan santai, meski perhatianku cukup waspada terhadap respon Bu Sari.
Seiring penuturanku, langkah kami mesti melalui rute yang sama sebelum aku datang dan disergap; kembali melewati masjid, lalu melewati gedung kamar sewaku, beralih arah di gang setelah selang satu rumah. Sempat aku mendongak, melihat pintu kamar sewaku di lantai tiga, membayangkan apa yang sedang dilakukan Alya dan Anggi. Ah, paling ngobrol; Alya pandai mengarahkan perbincangan. Gibahin kita, kali? Entahlah.
“Jadi, apa rencanamu sebenarnya? Ibu bisa saja bertindak terhadap mereka, kamu tahu itu?” kata Bu Sari di akhir ceritaku.
“Terserah Ibu, sebenarnya. Saya tidak tahu latar belakang Niko, tapi sepertinya anak dari orang yang cukup penting. Hanya asumsi sih, tapi supaya masalahnya tidak meluas, sebaiknya Ibu atau sekolah tidak terlibat, dan tetap berada di dalam ‘parameter’ interaksi antar siswa,” jelasku dan sempat memberi tanda petik dengan jariku pada kata “parameter”.
Lalu aku dengar Pak Prasetyo tertawa. “Akhirnya aku mengerti kenapa kamu mau melibatkan Nova ke proyekmu, Sar?”
“Proyek?” tanyaku heran. Sempat berpaling ke sosok polisi itu, namun segera beralih ke Bu Sari karena jawaban mesti datang dari beliau.
“MFR,” jawab Bu Sari.
“Bukannya itu proyeknya Alya?” tanyaku lagi.
“Sama saja. Cukup soal itu!" tandas Bu Saei. "Lalu, soal Niko, apa rencanamu?”
“Tadinya mau menekan Niko buat mengundurkan diri dari kandidat Ketua OSIS. Tapi tadi saya gagal babak belur, jadi saya tidak punya perangkat buat mengkonfrontasinya,” jelasku ringan dan santai.
“Kamu bisa akting babak belur?” usul Pak Prasetyo, juga ringan dan santai.
“Hmm, ide yang layak dicoba,” tanggapku saat langkah kami mendekati pertigaan gang, mendekati depan rumah tujuan kami. "Tapi sebelum itu, saya mesti tahu dulu siapa Niko ini? Maksud saya, Niko baru kelas sepuluh, tapi bisa mengendalikan kakak kelas, artinya dia punya background yang tidak bisa disepelekan, benar, ‘kan, Bu?”
Bu Sari termenung sebelum menjawab. “Niko Anggadipati Sudjana. Putra dari seorang anggota dewan. Dari situ saja bisa kamu simpulkan sendiri, ‘kan, Nov? Benar kamu bilang tadi, usahakan persoalan ini jangan sampai meluas, apalagi melibatkan orang tuanya. Tidak akan baik juga buat sekolah. Cukup antar siswa saja, itulah fungsi MFR sebenarnya; guru bisa jadi tidak bisa menyelesaikan masalah antara siswa dengan tuntas. Gap usia juga yang mungkin menjadi sebab kami orang dewasa tidak bisa melihat utuh dinamika kalian. Tapi kamu berbeda, Nov. Kamu bisa, 'kan?"